Syarh Kitab al-Janaiz Min Bulughil Maram (Bag ke-4)

Syarh Kitab al-Janaiz Min Bulughil Maram (Bag ke-4)

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Di Tulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

MELEPASKAN PAKAIAN PADA MAYIT

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( لَمَّا أَرَادُوا غَسْلَ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالُوا: وَاَللَّهِ مَا نَدْرِي, نُجَرِّدُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَمَا نُجَرِّدُ مَوْتَانَا, أَمْ لَا؟ ) اَلْحَدِيثَ، رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ

Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu bahwa ketika mereka akan memandikan jenazah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, mereka bertanya-tanya: Demi Allah kami tidak mengerti, apakah kami harus melucuti pakaian Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam sebagaimana kami melucuti pakaian mayit kami atau tidak? Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud << dihasankan Syaikh al-Albany>>

PENJELASAN:

Sudah menjadi kebiasaan di masa Nabi masih hidup bahwa semua pakaian untuk mayit dilepaskan sebelum dimandikan dan  kemudian diselimuti dengan kain. Namun ketika Rasulullah shollallahu alaihi wasallam meninggal dunia, para Sahabat yang akan memandikan Nabi kebingungan. Apakah mereka akan melepaskan pakaian Nabi atau membiarkan memandikannya dengan tetap berpakaian lengkap.

Disebutkan dalam kelanjutan hadits tersebut:

فَلَمَّا اخْتَلَفُوا أَلْقَى اللَّهُ عَلَيْهِمُ النَّوْمَ حَتَّى مَا مِنْهُمْ رَجُلٌ إِلَّا وَذَقْنُهُ فِي صَدْرِهِ ثُمَّ كَلَّمَهُمْ مُكَلِّمٌ مِنْ نَاحِيَةِ الْبَيْتِ لَا يَدْرُونَ مَنْ هُوَ أَنِ اغْسِلُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ ثِيَابُهُ فَقَامُوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَسَلُوهُ وَعَلَيْهِ قَمِيصُهُ يَصُبُّونَ الْمَاءَ فَوْقَ الْقَمِيصِ وَيُدَلِّكُونَهُ بِالْقَمِيصِ دُونَ أَيْدِيهِمْ

Ketika mereka berbeda pendapat, Allah menidurkan mereka, sehingga mereka tertidur dan dagunya menempel pada dadanya. Kemudian ada yang berbicara di pojok rumah, tidak diketahui siapa dia, menyatakan: Mandikanlah Nabi shollallahu alaihi wasallam dalam keadaan masih berpakaian. Maka para Sahabat kemudian memandikan Nabi dalam keadaan beliau masih menggunakan gamis. Mereka menuangkan air di atas gamis tersebut dan menggerakkan (mengusapnya) dengan tangan mereka (H.R Abu Dawud no 2733)

Sahabat yang terlibat dalam proses memandikan Nabi shollallaahu alaihi wasallam adalah Ali bin Abi Tholib, Abbas (paman Nabi) beserta dua anaknya: al-Fadhl dan Qutsam, Usamah bin Zaid serta Syaqran maula (bekas budak) Rasulullah (Taudhiihul Ahkam min Bulughil Maram karya Aalu Bassam (2/398) dan al-Fushuul fii siirotir Rosuul karya Ibnu Katsir(1/94)).

Hadits ini menunjukkan bahwa kekhususan Nabi shollallahu alaihi wasallam dimandikan dengan memakai pakaian, sedangkan kaum muslimin yang lain, pakaiannya dilepas. Pada saat dimandikan, jenazah harus tetap tertutup auratnya dengan kain yang diletakkan di atas bagian aurat. Orang yang memandikan juga tidak boleh menyentuh atau mengusap bagian aurat secara langsung, namun menggunakan kaos tangan atau kain. Itu jika yang memandikan adalah selain suami/ istrinya. Sedangkan untuk suami/ istri boleh melihat aurat masing-masing.

احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ

Jagalah auratmu, kecuali terhadap istri atau budak sahayamu (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, anNasaai, Ibnu Majah, al-Hakim, dishahihkan oleh adz-Dzahaby).

Kekhususan Nabi yang lain terkait penyelenggaran jenazah beliau:

  1. Orang-orang yang mensholatkan jenazah Nabi sholat sendiri-sendiri secara bergantian. Tidak ada yang menjadi Imam. Itu menunjukkan bahwa Nabi adalah Imam mereka semasa hidup maupun setelah meninggal.
  2. Beliau dikuburkan di rumah beliau. Tidak boleh bagi orang setelahnya untuk berwasiat agar dikubur di dalam rumahnya atau di dalam suatu bangunan.
  3. Di bawah lahad beliau diletakkan semacam permadani merah.

Empat kekhususan Nabi tersebut (termasuk kekhususan dimandikan dengan pakaiannya) disebutkan oleh al-Imam adz-Dzahaby ketika menjelaskan biografi Abdullah bin Lahi’ah.

(Syarh Sunan Abi Dawud li Abdil Muhsin al-Abbad (16/471).

 

MEMANDIKAN JENAZAH

 

وَعَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( دَخَلَ عَلَيْنَا اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَنَحْنُ نُغَسِّلُ ابْنَتَهُ، فَقَالَ: “اغْسِلْنَهَا ثَلَاثًا, أَوْ خَمْسًا, أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ، إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ, بِمَاءٍ وَسِدْرٍ, وَاجْعَلْنَ فِي الْآخِرَةِ كَافُورًا, أَوْ شَيْئًا مِنْ كَافُورٍ”، فَلَمَّا فَرَغْنَا آذَنَّاهُ, فَأَلْقَى إِلَيْنَا حِقْوَهُ.فَقَالَ: “أَشْعِرْنَهَا إِيَّاهُ” ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَفِي رِوَايَةٍ: ( ابْدَأْنَ بِمَيَامِنِهَا وَمَوَاضِعِ اَلْوُضُوءِ مِنْهَا ). وَفِي لَفْظٍ ِللْبُخَارِيِّ: ( فَضَفَّرْنَا شَعْرَهَا ثَلَاثَةَ قُرُونٍ, فَأَلْقَيْنَاهُ خَلْفَهَا )

Ummu Athiyyah radliyallaahu ‘anha berkata: Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam masuk ketika kami sedang memandikan jenazah puterinya, lalu beliau bersabda: “Mandikanlah tiga kali, lima kali, atau lebih dari itu. Jika kamu pandang perlu pakailah air dan bidara, dan pada yang terakhir kali dengan kapur barus :kamfer) atau campuran dari kapur barus.” Ketika kami telah selesai, kami beritahukan beliau, lalu beliau memberikan kainnya pada kami seraya bersabda: “Pakaikanlah ia dengan kain ini (pakaian yang langsung bersentuhan dengan kulit, pent).” (Muttafaq Alaihi). Dalam suatu riwayat: “Dahulukan bagian-bagian yang kanan dan tempat-tempat wudlu.” Dalam suatu lafadz menurut al-Bukhari: Lalu kami pintal rambutnya tiga pintalan dan kami letakkan di belakangnya.

PENJELASAN:

Beberapa pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini adalah:

  1. Perintah Nabi : mandikanlah ia, menunjukkan wajibnya memandikan jenazah. Secara asal perintah Nabi hukumnya adalah wajib. Kewajiban di sini adalah fardlu kifayah, sebagaimana penjelasan para Ulama’
  2. Seorang wanita yang meninggal dunia, jasadnya boleh dimandikan oleh para wanita muslimah yang lain, sebagaimana jasad putri Nabi dalam hadits ini dimandikan oleh Ummu Athiyyah dan para Sahabat wanita yang lain.
  3. Boleh memandikan sebanyak 3 kali, 5 kali, atau 7 kali dengan jumlah ganjil jika dipandang perlu.

Ibnu Abdil Bar menyatakan: Saya tidak mengetahui ada seorangpun (dari kalangan Ulama) yang membolehkan memandikan dengan jumlah lebih dari 7 (Ta’siisul Ahkam juz 3 halaman 98).

Para Ulama’ berbeda pendapat tentang batas minimal memandikan jenazah adalah sekali atau 3 kali. Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin berpendapat 1 kali, sedangkan Syaikh Ahmad bin Yahya anNajmi berpendapat 3 kali, sebagaimana juga pendapat al-Muzani.

  1. Memandikan jenazah dengan air dicampur dengan daun bidara.
  2. Cucian terakhir diberi kapur (barus/ kamfer).

Pemberian kapur di akhir cucian tersebut berfungsi untuk menjaga jasad mayit agar tidak cepat rusak, menghasilkan aroma yang harum, sekaligus mengusir hewan-hewan kecil seperti semut, serangga dan semisalnya (asy-Syarhul Mukhtashar ala Bulughil Maram libni Utsaimin (4/23))

Pemberian kapur dilakukan pada anggota-anggota sujud (dahi, hidung, telapak tangan, lutut, dan ujung jari kaki), sebagaimana ucapan Sahabat Nabi Ibnu Mas’ud:

الْكَافُورُ يُوضَعُ عَلَى مَوَاضِعِ السُّجُودِ

Kapur diletakkan pada tempat-tempat anggota sujud (riwayat al-Baihaqy dalam as-Sunanul Kubra no 6952 dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf).

  1. Bolehnya mengkafani jenazah wanita dengan pakaian laki-laki (Syarh anNawawy ala Shahih Muslim (7/3)),  sebagaimana Nabi shollallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk memakaikan sarung beliau pada jasad putrinya.

Namun, hal itu sebagai bentuk tabarruk (mengharap berkah) terhadap pakaian yang pernah dipakai oleh Nabi. Sedangkan untuk orang lain selain Nabi, tidak boleh diniatkan sebagai bentuk tabarruk, karena tidak pernah hal itu dilakukan terhadap para Sahabat sepeninggal Nabi, padahal mereka adalah manusia terbaik setelah Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam (Lihat Ta’siisul Ahkaam syarh Umdatil Ahkam karya Syaikh Ahmad bin Yahya anNajmi).

Abu Bakr dan Umar radhiyallahu anhuma adalah manusia terbaik setelah para Nabi dan para Rasul, dibandingkan dengan seluruh manusia dari Nabi Adam hingga akhir zaman nanti :

أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ سَيِّدَا كُهُولِ أَهْلِ الْجَنَّةِ مِنْ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ إِلَّا النَّبِيِّينَ وَالْمُرْسَلِين

Abu Bakr dan Umar adalah dua pemuka orang-orang dewasa penduduk surga dari awal sampai akhir kecuali para Nabi dan Rasul (H.R Ahmad, atTirmidzi, Ibnu Majah, dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan al-Albany)

Namun, tidak pernah dinukil dalam riwayat-riwayat yang shahih bahwa para Sahabat setelahnya ada yang bertabarruk dengan bekas pakaian, keringat, bekas air wudhu’, yang pernah dipakai keduanya.

  1. Mendahulukan mencuci anggota wudhu’ (wajah, tangan hingga siku, kepala termasuk telinga, telapak kaki hingga mata kaki) dan mendahulukan anggota tubuh yang kanan.

Untuk mulut dan hidung, tidak boleh mamasukkan air ke dalamnya, namun cukup membasahi kain yang akan digunakan untuk mencuci, kemudian membersihkan gigi, mulut, dan lidahnya. Hal itu sebagai pengganti berkumur (madhmadhah). Demikian juga untuk hidung, kain dibasahi kemudian digunakan untuk membersihkan rongga hidungnya (asy-Syarhul Mukhtashar ala Bulughil Maram libni Utsaimin (4/23))

  1. Untuk jenazah wanita, jika rambutnya panjang dikepang dengan 3 kepang di belakang kepalanya, seperti yang dilakukan para Sahabat wanita yang memandikan putri Nabi.
  2. Hadits ini juga dijadikan dalil oleh sebagian Ulama’ tentang larangan memandikan jenazah oleh orang yang berlainan jenis, meski mahramnya sendiri, kecuali suami istri. Nabi dalam hadits tersebut tidak memandikan jenazah putrinya, tapi menyerahkan pelaksanaannya pada para Sahabat wanita, dan beliau memberikan bimbingan tentang cara memandikan jenazah dari jarak jauh. Larangan tersebut hanya berlaku untuk jenazah orang dewasa atau yang berusia di atas 7 tahun. Adapun di bawah 7 tahun, boleh dimandikan lawan jenis. Sebagaimana jenazah putra Nabi Muhammad yang masih kecil bernama  Ibrahim, dimandikan oleh para Sahabat wanita.

Jika seorang wanita meninggal di tengah-tengah kaum pria yang bukan suaminya, maka jenazahnya ditayammumkan. Orang yang mentayammumkan menepuk tangan pada tanah kemudian mengusapkan ke wajah dan kedua telapak tangan jenazah tersebut (asy-Syarhul Mukhtashar ala Bulughil Maram libni Utsaimin (4/23)). Demikian juga jika seorang laki-laki meninggal di tengah-tengah wanita yang bukan istrinya.

Jenazah juga tidak dimandikan namun ditayammumkan jika jasadnya rusak seperti terbakar mayoritas bagian tubuhnya sehingga menyulitkan untuk dimandikan.

MENGKAFANI DENGAN 3 LAPIS KAIN

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( كُفِّنَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي ثَلَاثَةِ أَثْوَابٍ بِيضٍ سَحُولِيَّةٍ مِنْ كُرْسُفٍ, لَيْسَ فِيهَا قَمِيصٌ وَلَا عِمَامَةٌ. ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Aisyah Radliyallaahu ‘anha berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dikafani dengan tiga pakaian putih Suhuliyyah (jenis kain berasal dari suatu tempat di Yaman) dari kapas, tanpa ada gamis dan surban padanya. Muttafaq Alaihi.

PENJELASAN:

Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam dikafani dengan 3 kain putih dari kapas dengan jenis kain yang berasal dari daerah Suhul di Yaman.

Pada pakaian tersebut tidak dipakaikan gamis maupun surban. Gamis dalam istilah hadits tersebut maksudnya adalah kain yang berjahit kedua ujungnya (Syarh Bulughil Maram li Athiyyah Muhammad Salim (116/4)

Kain kafan tidak boleh berupa jenis yang haram, berasal dari ghoshob (meminjam tanpa pemberitahuan) atau transaksi haram lainnya, tidak boleh berhiaskan emas dan perak. Kain yang terbaik untuk kafan adalah berasal dari kapas, seperti yang dipakaikan untuk Nabi shollallaahu alaihi wasallam. Kadar wajib untuk pengkafanan adalah 1 kain yang menutup seluruh tubuh. Namun, yang utama adalah 3 lapis kain. Ini berlaku sama untuk laki-laki dan perempuan. Riwayat hadits yang menyatakan bahwa wanita dikafani dengan 5 kain kafan (sarung, kerudung, gamis, dan 2 lapis kain) adalah lemah. (asy-Syarhul Mukhtashar ala Bulughil Maram (4/26)).

Sebagian Ulama’ menganggap boleh atau bahkan disukai mengkafani jenazah wanita dengan 5 lapis kafan, lebih banyak dibandingkan jumlah kain kafan pada laki-laki karena wanita harus lebih tertutup pakaiannya dalam keadaan hidup maupun mati.

 

BOLEHNYA MENGGUNAKAN GAMIS SEBAGAI KAFAN

وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: ( لَمَّا تُوُفِّيَ عَبْدُ اَللَّهِ بْنِ أُبَيٍّ جَاءَ ابْنُهُ إِلَى رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم . فَقَالَ: أَعْطِنِي قَمِيصَكَ أُكَفِّنْهُ فِيهِ, فَأَعْطَاه ُ]إِيَّاهُ] ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhuma bahwa ketika Abdullah bin Ubay wafat, puteranya datang kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan berkata: Berikan gamis Anda padaku untuk mengkafaninya. Lalu beliau memberikan kepadanya. Muttafaq Alaihi.

PENJELASAN:

Abdullah bin Ubay adalah tokoh munafiq yang banyak menyakiti kaum muslimin semasa hidupnya. Anak Abdullah bin Ubay yang disebutkan dalam hadits ini adalah juga bernama Abdullah. Putra Abdullah bin Ubay ini adalah salah seorang Sahabat Nabi yang sangat baik akhlak dan keislamannya. Sangat jauh berbeda dengan ayahnya. Namun, meski ayahnya adalah tokoh munafiq, ia adalah anak yang sangat berbakti pada ayahnya.

Pada saat Abdullah bin Ubay meninggal dunia, anaknya tersebut datang kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam untuk meminta gamis yang dipakai Nabi untuk dipakaikan sebagai kafan. Nabi tidak menolak, dan segera menyerahkan. Hal ini adalah salah satu bentuk keluhuran akhlak beliau yang tidak pernah menolak permintaan, sekaligus sebagai bentuk perhatian tinggi dan kasih sayang terhadap putra Abdullah bin Ubay.

Hadits ini adalah sebagai dalil yang menunjukkan bolehnya memakaikan gamis sebagai kafan. Jika gamis dipakai dalam salah satu pengkafanan, maka kain yang lain adalah sebagai sarung dan satu lapis kain yang lain adalah penutup keseluruhan tubuh (Taudhiihul Ahkam karya Syaikh Alu Bassam 2/512-513)).

 

KAIN PUTIH UNTUK KAFAN

 

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ, فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ, وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ

Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Pakailah pakaianmu yang putih karena ia adalah pakaianmu yang terbaik, dan jadikan ia sebagai kain kafan mayit-mayitmu.” Riwayat Imam Lima kecuali Nasa’i dan dinilai shahih oleh atTirmidzi<< dishahihkan al-Hakim dan Syaikh al-Albany>>

PENJELASAN:

Hadits ini menunjukkan bahwa disunnahkan kain kafan berwarna putih. Pakaian berwarna putih adalah pakaian yang terbaik juga untuk dipakai orang yang masih hidup.

Bukan berarti keharusan menggunakan pakaian putih, karena Nabi juga pernah mengenakan pakaian-pakaian berwarna lain. Beliau pernah menggunakan surban berwarna hitam (asy-Syarhul Mukhtashar ala Bulughil Maram libni Utsaimin (4/28))

CATATAN:

Sebagian Ulama’ menyatakan bahwa jika ada kelapangan dan kemudahan sebaiknya salah satu dari kain kafan itu tidak berwarna putih polos, namun bergaris. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

إِذَا تُوُفِّيَ أَحَدُكُمْ فَوَجَدَ شَيْئًا فَلْيُكَفَّنْ فِي ثَوْبٍ حِبَرَةٍ

Jika salah seorang dari kalian meninggal dunia kemudian bisa didapati sesuatu (kelapangan), hendaknya dikafani dengan pakaian hibaroh (bergaris)(H.R Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh al-Albany)