Sikap Ahli Sunnah Dalam Menjadikan Ahli Bid’ah Sebagai Donatur/Penolong Jihad

Sikap Ahli Sunnah Dalam Menjadikan Ahli Bid’ah Sebagai Donatur/Penolong Jihad

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Masalah ini sangat urgen dan termasuk tugas penting bagi para pemimpin dan aparatur negara serta untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu, kedudukan hukum bisa berubah-ubah sesuai dengan kondisi, terkadang bisa haram, makruh dan terkadang berhukum mubah, tergantung kebutuhan ummat Islam dan kondisi ahli bid’ah.

Sebagian ahli bid’ah sangat baik dan tidak dikenal suka menipu kaum muslimin, baik berangkat dari keyakinan atau perilaku biasa.

Bila terdapat ahlu bid’ah yang baik, terkadang situasi memerlukan bantuan atau tidak memerlukan bantuan untuk jihad, maka dalam keadaan tidak membutuhkan sebagian ulama menyatakan makruh/dibencinya meminta bantuan mereka.

Ibnu Abu Ashim meriwayatkan dari Ali bin Bakkar berkata, Ibnu Aun mengirimkan kepadaku harta untuk bekal jihad di jalan ALLAH. Ia berkata,”Janganlah kamu memberikan kepada Qadariah sedikitpun dari hari itu dan janganlah mereka berperang bersama kamu karena mereka itu tidak akan dimenangkan.” (As Sunnah, Ibnu Abu Ashim, hal 88).

Ibnul Jauzi meriwayatkan, seorang utusan Khalifah datang menghadap Imam Ahmad untuk menanyakan hukum meminta bantuan kepada ahli bid’ah. Beliau menjawab,” Tidak boleh meminta bantuan kepada mereka.” Dia bertanya,”Kenapa boleh meminta bantuan kepada Yahudi dan Nasrani dan tidak boleh meminta bantuan mereka ?. Beliau menjawab,”Karena Yahudi dan Nashari tidak mengajak kepada agama mereka, sementara mereka mengajak kepada kebid’ahan.” (Manaqib Imam Ahmad, Ibnul Jauzi hal. 208).

Imam Ahmad menegaskan,” Tidak layak meminta bantuan kepada ahli bid’ah dalam segala urusan kaum muslim, karena akan mengakibatkan bahaya yang sangat besar bagi agama.” (Manaqib Imam Ahmad , Ibnul Jauzi hal 208).

Ibnu Muflih menukil dari Marwazi bahwa, empat orang utusan Mutawakkil bertanya kepada Imam Ahmad,” Apakah boleh meminta bantuan kepada Jahmiyah atau kepada Yahudi dan Nashrani ?”. Imam Ahmad menjawab,”Tidak boleh meminta bantuan kepada Jahmiyah untuk urusan kaum muslimin, baik masalah besar atau kecil. Adapun meminta bantuan kepada Yahudi dan Nashrani tidak apa-apa dalam beberapa perkara yang tidak membahayakan dan menguasai ummat Islam, seperti dalam meminta bantuan berupa senjata.” Muhammad bin Ahmad Al Maruzi berkata,”Kenapa boleh meminta bantuan kepada Yahudi dan Nashrani, sementara mereka adalah musyrikin dan tidak boleh meminta bantuan kepada Jahmiyah ?” Beliau menjawab,”Ummat Islam bisa terkecoh dengan Jahmiyah dan tidak mungkin terkecoh dengan Yahudi dan Nashrani.” (Al Adab Asy Syari’iyah, Ibnu Muflih vol 1, hal 256).

Beberapa atsar ulama salaf di atas, melarang meminta bantuan kepada ahli bid’ah dalam hal jihad, seperti pernyatan Ibnu Aun dan Imam Ahmad. Larangan ulama Salaf di atas bisa berarti makruh, karena ahli bid’ah tersebut sudah divonis kafir. Namun bila ahli bid’ah memiliki gagasan bagus untuk kaum muslimin, boleh meminta bantuan kepada mereka dalam keadaan terpaksa dan berhukum makruh bila tidak terpaksa.

Diantara dalil yang membolehkan meminta bantuan kepada orang-orang musyrik adalah petunjuk dari hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, ketika beliau meminta bantuan kepada seorang musyrik, Abdullah bin Uraiqith sebagai penunjuk jalan ketika hijrah ke Madinah. Aisyah Radiyallahu ‘anha menceritakan kisah hijrah, bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dan Abu Bakar menyewa seorang penunjuk jalan dari Bani Dail anggota Kabilah Bani Abd bin Ady yang sudah mengikat perjanjian dengan keluarga Ash bin Wail as Sahmi, sementara dia masih beragama kufur. Setelah keduanya percaya, kendaraan diserahkan kepadanya dan berjanji bertemu di gua Tsur tiga malam yang akan datang. Kemudian Amir bin Fuhair, pelayan Abu Bakar dan penunjuk jalan berangkat bersama beliau berdua, lewat jalan pantai. (HR Bukhari, Kitab Manaqib al Anshar, Fathul Bari vol 7 hal 230).

Begitu juga Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah membuat perjanjian dengan Yahudi untuk saling melindungi dan membela, sebagaimana dituturkan Ibnu Hisyam dalam Sirahnya bahwa wajib bagi Yahudi memberi nafkah kaum muslimin dan begitu juga kaum muslimin wajib memberi nafkah kepada mereka serta saling melindungi dan membela untuk melawan setiap musuh. (Sirah Ibnu Hisyam, vol 3 hal 530).

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam juga membuat perjanjian dengan kabilah Khuza’ah ketika perjanjian Hudaibiyyah. Sementara mereka beragama syirik, seperti yang diturutkan oleh Ibnu Hisyam dalam Sirahnya, bahkan mereka membantu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam ketika Fath Makkah. (Sirah Ibnu Hisyam, vol 3 hal 1144).

Ibnul Qayyim menyebutkan beberapa faidah yang bisa diambil dari perjanjian Hudaibiyyah antara lain, boleh meminta bantuan kepada orang musyrik untuk keperluan jihad asal aman dari khianat dan dapat dipercaya.(Zaad al Ma’ad vol 2 hal 127).

Asy Syaukani berkata,”Diantara dalil yang menunjukkan bolehnya meminta bantuan kepada orang musyrik, bahwa Qazman seorang musyrik keluar bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam ketika perang Uhud dan berhasil membunuh tiga orang musyrik dari Bani Abdul Dar, pembawa bendera perang kaum musyrikin. Hingga beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, [yang artinya] ”Sesungguhnya ALLAH menolong agama ini dengan seorang yang jahat.”.

Begitu juga kabilah Khuza’ah membantu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam ketika Fath Makkah. (Nailul Authar, vol 7 hal 224-225).

Al Hafidz Ibnu Katsir menukil dari Az Zuhri, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam ketika Fath Mekkah dan ALLAH memberi kemenangan. Beliau bersama penduduk Mekkah – diantaranya ada yang naik kendaran dan sebagian ada yang berjalan kaki bahkan kaum wanita – sementara mereka belum memeluk Islam berangkat menuju Hawazin berharap mendapat bagian ghanimah dan mereka tidak merasa keberatan sama sekali.

Tentang contoh-contoh tindakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam yang meminta bantuan kepada orang kafir pada saat perang, secara rinci diuraikan dalam kitab Shaddu ‘Udwan al Mulhidin wa Hukm al Isti’anah ‘ala Qitalihim bi Ghair al Muslimin karya syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al Madkhali. (as Sirah An Nabawiyah, Ibnu Katsir vol 3 hal 625).

Adapun hadits Aisyah Radiyallahu ‘anhu bahwa ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam keluar ke arah Badr dan setelah sampai di daerah Wabrah beliau diberitahu oleh seorang lelaki yang sangat pemberani dan suka menolong, sehingga para sahabat gembira melihatnya.Ketika sampai di hadapan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dia berkata,”Saya datang untuk membantu kamu agar mendapat bagian ghanimah.” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bertanya kepadanya,”Apakah kamu beriman kepada ALLAH dan RasulNya ? Ia berkata,”Tidak.” Beliau bersabda, ”Kembalilah, aku tidak akan meminta bantuan kepada orang musyrik.” Aisyah Radiyallahu ‘anha berkata :”Setelah beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam berjalan dan ketika kami berada di bawah pohon, beliau bertemu dengan orang tersebut lalu bertanya kepadanya seperti tadi dan orang tersebut memberi jawaban yang sama. Lalu beliau bersabda, ”Kembalilah, aku tidak akan memnta bantuan kepada orang musyrik.” Kemudian orang tersebut kembali bertemu beliau di daerah Baida’, lalu beliau bertanya seperti pertanyaan tadi, “Apakah kamu beriman kepada ALLAH dan RasulNya ?”, ia menjawab,”Ya.” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,”Ikutlah bersama kami.” (HR Muslim, Kitab al Jihad).

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam melarang seorang musyrik bertujuan agar dia masuk Islam, sehingga para ulama memahami bahwa larangan tersebut hanya sampai tingkat makruh (dibenci). Dengan demikian, tidak ada kontradiksi antara riwayat ini dengan tindakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dalam meminta bantuan kepada orang kafir, dengan syarat orang kafir tersebut memiliki gagasan baik untuk ummat Islam dan dalam keadaan terpaksa. Oleh karena itu, larangan meminta bantuan kepada orang musyrik dalam hadits di atas hanya berhukum makruh, karena situasi tidak memerlukan bantuan orang kafir.

Diantara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Syafi’I dan Imam An Nawawi, sebagaimana penjelasan beliau tentang hadits di atas dalam Syarh Shahih Muslim, “Dalam hadits Shafwan bin Umayyah sebelum dia masuk Islam, sebagian ulama mengambil hadits tersebut secara mutlak.” Sementara Imam asy Syafi’I dan yang lain mengatakan bahwa bila ada orang kafir memiliki ide cemerlang bagi ummat Islam dan situasi sangat membutuhkan , maka meminta bantuan kepada mereka berhukum makruh. Inilah yang bisa dipahami dari penjelasan Imam an Nawawi ketika membuat Bab Makruh Meminta Bantuan Kepada Orang Kafir, kecuali dalam keadaan Terpaksa dan Gagasannya Bagus bagi kaum Muslimin. (Syarh Shahih Muslim, vol 12 hal 198-199).

Syaikh Rabi’ bin Hadi al Madkhali berkata,”Menurut hemat saya, yang terbaik adalah meminta bantuan kepada orang kafir hukumnya makruh atau dilarang ketika tidak terpaksa.” (Shad ‘Udwan al Mulhidin, hal 81).

Jadi, boleh meminta bantuan kepada orang musyrik dalam keadaan terpaksa, asal dia sangat tulus dalam membantu kaum muslimin berdasarkan tindakan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam yang meminta bantuan kepada mereka, dan berhukum makruh bila tidak dalam keadaan terpaksa seperti hadits Aisyah Radiyallahu ‘anha di atas. Dengan demikian, beberapa atsar dari ulama salaf yang melarang meminta bantuan kepada ahli bid’ah sebatas makruh. Karena tingkatan ahli bid’ah yang paling tinggi adalah kafir dan meminta bantuan kepada orang kafir tidak haram. Padahal banyak ahli bid’ah yang belum pasti kafir, bahkan masih banyak yang tetap muslim. Hanya saja ulama Salaf tidak mau meminta bantuan kepada mereka, karena beberapa sebab di bawah ini :
1. Kebid’ahan dan kemaksiatan menjadi penyebab kehinaan & menjauhkan pertolongan ALLAH, seperti pernyataan Ibnu Aun tentang Qadariyah,”Janganlah kalian berperang bersama mereka, karena mereka tidak diberi pertolongan. Oleh sebab itu, para khalifah dan pemimpin Islam dari generasi salaf sangat serius memberi wasiat kepada para pasukan perang mereka, agar bertaqwa kepada ALLAH, sebab itu penyebab kemenangan terbesar.” (Al Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir vol 7 hal 8 & 38).
2. Khawatir kaum muslimin terpedaya dan kagum terhadap ahli bid’ah, apalagi dia seorang propagandis bid’ah, maka akan dengan mudah mempengaruhi orang awam. Hal ini seperti dikatakan Imam Ahmad dan Muhammad bin Ahmad Al Maruzi diatas. Dilarang meminta bantuan kepada propagandis kebid’ahan dalam urusan jihad sebagai bentuk pemberian sanksi, seperti larangan shalat di belakang mereka dan larangan menerima kesaksian dan riwayat mereka. Ini berlaku dalam bila kaum muslimin dalam keadaan normal, meskipun ahli bid’ah sangat tulus memberi bantuan kepada ummat Islam.

Dalam kondisi terpaksa, boleh saja meminta bantuan ahli bid’ah yang bagus gagasannya untuk kepentingan ummat dan tidak dikeal suka menipu, karena meminta bantuan kepada mereka lebih utama daripada meminta bantuan kepada orang musyrik. Bahkan meminta bantuan kpada ahli bid’ah suatu keharusan, bila jihad tidak bisa ditegakkan kecuali dengan bantuan mereka atau ada maslahat yang lebih besar.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,”Jika tidak mampu menegakkan kewajiban penyebaran ilmu dan jihad kecuali harus menggunakan jasa ahli bid’ah dan bahaya lebih ringan daripada meninggalkan kewajiban tersebut, maka boleh meminta bantuan kepada mereka. Namun bila sebaliknya pada para ulama berbeda pendapat.” (Majmu’ Fatawa, vol 28 hal 212).

Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid berkata, “Bila beberapa kewajiban terlantar seperti pendidikan, jihad, kedokteran, arsitek dan semisalnya tidak mampu terpenuhi kecuali dengan menggunakan jasa ahli bid’ah, maka boleh memanfaatkan jasa mereka dengan syarat tetap berhati-hati terhadap pengaruh kebid’ahan mereka.” (Hajr al Mubtadi’ hal 46).
Demikian itu bila ahli bid’ah bagus gagasannya dan tulus dlm memberi bantuan serta dalam keadaan terpaksa. Namun berhukum makruh, bila tidak membutuhkan bantuannya tidak menimbulkan mudharat yang lebih besar. Adapun ahli bid’ah yang dikenal suka menipu kaum muslimin, tidak boleh meminta bantuan secara mutlak baik sikap tersebut muncul dari tingkah laku atau keyakinan madhab seperti Bathiniyah dan Rafidhah, dimana madzab mereka sangat terkenal suka menganggu dan menipu kaum muslimin bahkan menghalalkan darah dan harta mereka (Banyak sekali hizbi seperti JT, Turotsi-Sururi yg berupaya menipu Ulama untuk membelanya, red).

Dalam sebagian kita Rafidhah “Bahaar al Anwar”, al Majlisi meriwayatkan dari Abu Abdullah Ja’far ash Shodiq ditanya ttg membunuh orang Nashibah (selain Syi’ah Rafidhah) ? Ia menjawab,”Darahnya halal dan bila kamu bisa membunuh lebih menambah ketaqwaanmu, jika kamu mampu menghempaskan dia ke tembok, atau menenggelamkan ke dalam air agar tidak menjadi saksi atasmu.” Dia ditanya,”Bagaimana dengan hartanya ?”, Ia berkata,”Hancurkan (kuras) hartanya sebisa mungkin.” (Bahhar al Anwar vol 27 hal 231).

Lebih jelas lagi apa yang dikatakan Khomeini dalam kitab Tahrir al Wasilah, “Yang benar, Nashibah termasuk kelompok yang harus diperangi & harta mereka menjadi ghanimah dan terkena beban pajak seperlima, bahkan boleh diambil dimana saja didapatkan dan wajib membayar seperlima dari hartanya.” (Tahrir Al Wasilah, Khomeini, vol 1 hal 318).

Banyak sekali fakta yang menyatakan bahwa Rafidhah menghalalkan darah kaum muslimin seperti dijelaskan di dalam kitab Badzl Al Majhud fi Istibati Musyabahat ar Rafidhah bi Al Yahud. Siapa yang ingin memperluas wawasan dalam masalah ini, hendaklah membaca kitab tersebut.(Badzl Al Majhud Itsbat Musyabahat ar Rafidhah bi Al Yahud vol 2 hal 568).

Kedua aliran di atas sangat dikenal sebagai penipu dan pengkhianat terhadap kaum muslimin (Pemuka Turotsi berkhianat menyembunyikan fakta ttgnya sampai 8 tahun lebih, berakibat muridnya tidak mengetahui kesesatan at Turots, red), sebagaimana yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,”Kaum Bathinyah selalu bersekongkol dengan Rafidhah untuk melawan kaum muslimin, sebagai bukti ketika Hulako, raja kafir masuk daerah Syam tahun 658 H. (Minhaj as Sunnah vol 6 hal 374).

Beliau berkomentar tentang Nashiriyah,”Daerah pesisir Syam dikuasai oleh kaum Nashrani untuk menghancurkan kaum muslimin. Bahkan musibah paling besar menimpa mereka, ketika kaum muslimin mampu menaklukan daerah pesisir yang merupakn kekalahan Nashrani dan mereka sangat bersedih ketika kaum muslimin mampu mengalahkan bangsa Tartar. Sebaliknya mereka sangat bersuka ria, ketika kaum Nashrani mampu menguasai daerah perbatasan muslimin.” (Majmu’ Fatawa vol 35, hal 150-151)

Jika sikap mereka terhadap muslimin demikian, bagaimana mungkin bisa meminta bantuan kepada mereka dan mempercayai mereka dalam urusan rahasia umat. Oleh karena itu, haram meminta bantuan kepada mereka dan membiarkan mereka berada di tengah pasukan kaum muslimin karena sangat berbahaya.

Syaikhul Islam berfatwa, haramnya meminta bantuan Nashiriyah (kristen, red) dalam jihad dan termasuk dosa besar laksana orang meminjam serigala untuk menjaga kambing. Mengingat, mereka sangat pandai menipu ummat dan para pemimpin Islam sangat berambisi untuk menghancurkan Islam. Mereka lebih jahat daripada komplotan penjahat, sebab komplotan penjahat berpihak pada peimpin perang atau kepada musuh. Sedangkan mereka secara dhahir bersama pasukan kaum muslimin, namun di balik itu mereka berpihak kepada agamanya, nabinya, rajanya, atau ulama panutannya serta para pengikutnya. Mereka bersikeras untuk menyerahkan benteng kepada musuh dan merusak barisan pasukan kaum muslimin.

Wajib bagi pemimpin kaum muslimin mengalihkan mereka dari markas-markas militer dan menjauhkan mereka dari perbatasan kaum muslimin, karena keberadaan mereka di daerah perbatasan sangat berbahaya. Sekaligus menggantikan mereka untuk menjaga daerah tersebut dengan orang muslim yang tulus dan ikhlas untuk ALLAH dan RasulNya dan kaum muslimin serta para pemimpin mereka. Bahkan dilarang memperkerjakan orang yang terkenal penipu meskipun seorang muslim. Tidak boleh menunda-nunda kewajiban ini sementara mampu untuk mengganti mereka. Kapan saja mampu mereka wajib melakukan seketika itu. (Majmu Fatawa vol 35 hal 155-156).

Hukum di atas berlaku untuk semua ahli bid’ah yang dikenal berkhianat terhadap kaum muslimin, dilarang meminta bantuan mereka untuk berjihad dan menjaga perbatasan karena menimbulkan bahaya yang sangat besar.

Oleh karena itu, Abu Bakar dan Umar tidak menggunakan seorangpun orang-orang murtad yang bertaubat dalam urusan kaum muslimin dan melarang mereka berkuda untuk berjihad. Karena taubat dan ketulusan mereka terhadap kaum muslimin masih diragukan. Umar berkata kepada Sa’ad bin Abu Waqqash ketika menjadi Gubernur di Iraq,”Janganlah kamu menggunakan mereka, mengajak bermusyawarah dalam urusan perang. Mereka adalah tokoh-tokoh Thulaihah bin Al Asady, Al Aqra bin Habis, Uyainah bin Hushain, Al Asy’ats bin Qais dan semisalnya. Abu Bakar dn Ustman khawatir kemunafikan muncul kepada mereka dlm mengatur urusan kaum muslimin.” (Majmu Fatawa vol 35, hal 65).

Kesimpulan, hukum memanfaatkan jasa ahli bid’ah dari satu sisi dan kondisi masing-masing dalam urusan jihad terbagi menjadi tiga :
a. Boleh meminta bantuan kepada ahli bid’ah ketika dalam keadaan terpaksa dan sangat membutuhkan dengan syarat mereka memiliki ide cemerlang untuk ummat Islam
b. Berhukum makruh bila tidak dalam keadaan terpaksa
c. Haram meminta bantuan akhli bid’ah secara mutlak, bila dikenal mereka sangat suka menipu dan berkhianat terhadap kaum muslimin (Bahkan berani menipu Ulama, apalagi menipu muridnya, red).

Denga demikian , selesailah pembahasan masalah sikap ahlu sunnah terhdap ahli bid’ah, smeoga ALLAH menjadikan amalan ini ikhlas liwajhillah dan ALLAH Maha Tahu atas segala sesuatu. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita, Muhammad, keluarganya,dan para shahabatnya. Amin.

(Dikutip dari kitab Mauqif Ahlusunnah wal jama’ah min ahlil ahwa wal bida’, Maktabah al Ghura’a Al Atsriyah 1415 H. Edisi Indonesia : Manhaj Ahli Sunnah Menghadapi Ahli Bid’ah. Penulis Dr Ibrahim bin Amir ar Ruhaili)