Renungan ” TANGISAN BERBUAH TANGISAN”

Renungan ” TANGISAN BERBUAH TANGISAN”

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp
Air matanya tertumpah, mengalir membentuk aliran sungai di pipi. Nasihat demi nasihat telah ia usahakan, namun ibunya tetap menolak. Bahkan bujukan yang terakhir lebih menyakitkan. Ibunya tak sekedar menolak, bahkan Rasulullah dihina dan diperolok-olok. Sungguh muslim mana yang rela Rasulullah, idola dan panutannya diolok-olok. Namun siapa yang tak berderai air matanya, ternyata orang yang memperolok-olok adalah ibu kandungnya sendiri, seseorang yang berkorban untuk dirinya sejak masih di rahim hingga detik ini.

Kesedihan Abu Hirairah sangatlah mendalam. Terlalu dalam. Tak ada yang dapat menghapusnya kecuali Rabbul Izzah kemudian mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, manusia paling bersahaja. Abu Hurairah melangkah menemui Rasulullah.

“Rasulullah, aku selalu membujuk ibuku agar berkenan masuk Islam, namun beliau selalu menolak,” kata Abu Hurairah mencurahkan hatinya kepada Rasulullah. Abu Hurairah benar-benar tak kuasa menahan kesedihan sendirian. Ingin secepatnya meluapkan dan mengungkapkan rasa kepada orang yang tepat. Itulah Rasulullah. Dan memang, Rasulullah adalah orang yang tepat. Rasulullah tak merasa berat menerima curhatan Abu Hurairah. Beliau memperhatikan semua luapan rasa Abu Hurairah dengan tatapan bijak. Subhanallah, sungguh mengesankan! Yar Rahman, pertemukanlah kami dengannya di Firdausil A’la.

“Suatu hari, aku mengajak beliau untuk masuk Islam. Namun, justru ibuku mengucapkan kata-kata tentang dirimu yang tidak ku sukai,” sambung Abu Hurairah.

“Kumohon, duhai Rasul, berdoalah kepada Allah agar Dia berkenan membuka pintu hidayah untuk ibuku, bunda Abu Hurairah,” kata penutup dari Abu Hurairah yang masih ditemani isak tangis.

Rasulullah pun berdoa, “Allahumma, berikanlah hidayah untuk ibu Abu Hurairah.”

Seketika, berangsur-angsur kesedihan yang sempat menghempas qalbu Abu Hurairah sirna, terkalahkan oleh kebahagiaan yang dibawa doa Rasulullah. Kini Abu Hurairah menatap rumahnya dengan qalbu yang kembali tegar. Beliau masih bertekad untuk membujuk ibunya. Seolah Abu Hurairah berkata, “Kan ku goreskan ikhtiar dan usaha dalam lembar kehidupanku. Dan ku serahkan penghapusnya kepada Allah. Jika memang baik, Allah tidak akan menghapusnya. Jika buruk, Allah akan menghapusnya dan menggantinya dengan yang lebih baik. Itulah yang telah Allah goreskan di Lauh Mahfudh.”

Begitulah, Akhi. Ikhtiar dan doa bagaikan dua bukit biru samar-samar yang memeluk manusia. Dua bukit itu membentuk konspirasi rahasia kesuksesan manusia di dunia dan akhirat. Dan rahasia konspirasi dua bukit ini telah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ajarkan dalam sabdanya,

“Gelorakanlah semangatmu dalam hal-hal yang bermanfaat bagimu. Pintalah pertolongan kepada Allah. Dan jangan pernah merasa lemah!”

Akhi, ikhtiar tanpa doa hanyalah sebuah kemustahilan. Doa tanpa usaha juga hanya sebuah kedustaan. Dan menghimpun keduanya adalah langkah awal menuju kesuksesan. Tanyakan saja kepada Abu Hirairah akan kebenarannya.

Sesampainya di depan rumah, Abu Hurairah mendapati pintu rumahnya tertutup. Ia berusaha membuka, ternyata terkunci. Ada apa ini?

“Abu Hurairah, jangan kau pergi! Tetaplah di tempatmu!” teriak ibunya dari dalam rumah. Ia juga mendengar gemercik air dari sana. Abu Hurairah terheran-heran. Ada apa ini?

Tiba-tiba ibunya keluar,

“Asy-hadu alla ilaha illallah. Wa asyhadu anna muhammadar rasulullah,”

Syahdan, tanggul air matanya kembali tak kuasa membendung untaian kalimah thayyibah tersebut. Hatinya gegap gempita, bahagia luar biasa. Tak bisa ia melukiskannya kecuali dengan air mata.

Abu Hurairah segera mengayunkan langkah cepat. Berlari dan mencari Rasulullah. Ia terus berlari dengan tetesan-tetesan air mata titisan doa Nabi.

“Rasulullah!” tak sabar Abu Hurairah mengungkapkan rasanya.

“Berbahagialah, Rasulullah! Sungguh, Allah telah mengabulkan doamu! Allah telah membukakan pintu hidayah untuk ibuku.”

Manusia paling bersahaja pun bertahmid dan memuji Allah subhanahu wa taala.

Memang, terkadang tangisan berbuah tangisan. Dari sini kita belajar bahwa setiap muslim, seburuk apapun kondisinya, berhak mendapatkan kebahagiaan. Asalkan ada ikhtiar yang kuat dan tidak hanya berputar-putar dalam labirin “nggak mau”, dihiasi pula dengan doa tulus kepada Allah pasti kebahagiaan itu tercapai. Bahkan ikhtiar dan doa itu juga akan memunculkan kemampuan-kemampuan yang tersembunyi dan keajaiban-keajaiban yang tak pernah diduga.

Akhi, mari bergandengan tangan, menggenggam erat dan saling bertaawun membangun kebahagian kita bersama, kebahagiaan hakiki. Jika teman kita berasa di atas, ibaratkan dia sebagai jembatan dan kita sebagai penopangnya. Jembatan itu pun akan menghubungkan manusia dengan kebahagiaan dari Allah. Dan jika aku terhempas ke bawah, ulurkanlah tanganmu agar jembatan yang telah kau buat, aku bisa ikut menopangnya. Bukankah sebuah jembatan semakin kokoh jika banyak penopangnya!? Uhibbukum fillah, Akhi.

Wallahu a’lam.

Sakan Qadim, Daarul Hadits, Fuyusy
Abu Thalha Yahya Alwindany

WhatsApp Thullab Fuyusy