Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dipahami oleh seorang da’i. Karena dari pemahaman tersebutlah dakwahnya kepada Allah akan berjalan, di mana sesungguhnya Allah yang menjamin keberhasilannya dan mencapai sasarannya, tanpa sikap ifrath (melampaui batas, ekstrim) dan tafriith (meremehkan).
Maka wajib atas setiap da’I memahami akan adanya perbedaan yang tegas antara zaman permulaan islam dan zaman sesudahnya. Terutama pada zaman ini. Karena semakin jauh suatu masa dari masa-masa nubuwwah, semakin tersebar penyimpangan dan kebid’ahan. Oleh sebab itu, da’I manapin pada zaman ini, yang ingin memperlakukan masyarakatnya seperti masyarakat pada awal-awal datangnya islam, adalah salah dan keliru dalam berpikir atau memilih jalan.
Berikut ini ada sejumlah nash syari’at nabawiyah yang menerangkan perubahan kondisi setiap zaman, sehingga da’I dapat menempatkan segala sesuatunya pada kedudukannya. Juga mengutamakan kemaslahatan syar’I yang dicintai Allah dan Rasul-Nya:
Diriwayatkan dalam hadits yang shahih bahwa Nabi bersabda:
“Sesungguhnya tidak ada seorang Nabi pun sebelumku melainkan wajib atasnya untuk menunjuki ummatnya kepada kebaikan yang diketahuinya dan memperingatkan mereka dari kejahatan yang diketahuinya. Dan ummat ini telah dijadikan kebaikannya pada (generasi) awalnya. Adapun (generasi) akhirnya akan ditimpa bala’ (ujian) dan persoalan-persoalan yang kalian ingkari. Dan fitnah akan muncul, sehingga sebagian memperbudak sebagian yang lain.”
Hadits ini dengan jelas menggambarkan kepada kita bagaimana perbedaan antara generasi awal dan akhir ummat ini. Seiring dengan perubahan situasi dan kondisi zaman, semakin sulit pula ditemukan kebaikan pada ummat ini, tapi sebaliknya, kejahatan semakin luas. Tentunya hal seperti ini mendorong seorang da’I untuk betul-betul senantiasa menempatkan hadits ini di depan matanya.
Juga diriwayatkan dalam hadits yang shahih, Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya akan terjadi fitnah dan perkara-perkara baru (bid’ah). Maka barangsiapa yang ingin memecah belah urusan ummat ini padahal dia satu, maka tebaslah dengan pedang siapapun adanya dia.” (HR. Muslim Kitabul Imarah 12/335 no 1825)
Diriwayatkan juga bahwa Nabi bersabda:
“Hampir-hampir ummat lain menyerbu kalian, seperti orang-orang yang menyerbu hidangannya.” Ada yang berkata: “Apakah karena sedikitnya jumlah kita ketika itu, ya Rasulullah?” Beliau berkata: “Bahkan kalian pada waktu itu sangat banyak. Tetapi kalian bagaikan buih (di permukaan air). Dan sungguh Allah cabut dari dada musuh-musuh kalian rasa gentar terhadap kalian, serta melemparkan wahan ke dalm hati-hati kalian.” Ada yang berkata pula: “Ya Rasulullah, apakah wahan itu?” Kata beliau: “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Daud dari Tsauban)
Kedua hadits ini dengan tegas menerangkan kepada kita perubahan kondisi ummat Islam yang jauh berbeda dari generasi awalnya. Di mana akan terjadi fitnah dan perpecahan, sehingga seorang da’I harus betul-betul memperhatikan hal ini. Dengan pengertian, dia bersikap adil dalam mencapai sasaran dan berdakwah. Tidak melampaui batas yang telah ditentukan. Yakni, dia menuntut suatu hal yang mustahil untuk terjadi, misalnya menginginkan kondisi masyarakatnya sebagaimana di zaman Abu Bakr dan ‘Umar.
Terkadang pula dalam pengertian hadits-hadits tadi, sabda Rasulullah:
“Sesungguhnya akan terjadi sepeninggalku sikap atsarah dan hal-hal yang kalian ingkari.” Para sahabat bertanya: “Ya Rasululllah, apa perintahmu kepada siapa saja dari kami yang mendapati keadaan demikian?” Beliau bersabda: “Kalian tunaikan hak yang wajib atas kalian dan meminta kepada Allah apa yang menjadi hak kalian.” (HR. Muslim 12/321 no 8843)
Semakna dengan hadits ini –yang menunjukkan adanya perubahan situasi dan kondisi ummat- adalah apa yang diriwayatkan ‘Ubadah bin Ash Shamit:
“Kami membai’at Rasulullah untuk mendengar dan taat dalam keadaan sulit maupun senang, dalam setiap perkara yang kami suka maupun tidak suka dan walaupun adanya sikap atsarah terhadap kami.” (HR. Muslim Kitabul Imarah 10/316 no 1709)
Hadits-hadits ini menggambarkan kepada para da’I dengan jelas tentang adanya perubahan situasi dan kondisi suatu zaman. Juga adanya perbedaan yang nyata dalam hal keimanan pada suatu masa dengan masa sebelumnya. Bahkan perbedaan dalam penerapan petunjuk-petunjuk syari’at pada masing-masing zaman.
Jadi jelas tidak mungkin dalam keadaan bagaimanapun membandingkan zaman Rasulullah dengan zaman yang lain khususnya pada masa-masa sesudah beliau.
Zaman sepeninggal beliau penuh dengan perselisihan dan kemunkaran. Bid’ah tersebar. Petunjuk-petunjuk As sunnah tertutup.
Maka apabila da’I tidak memperhatikan masalah ini, niscaya dia akan hidup dalam kondisi yang membahayakan dakwahnya. Apabila jika da’I tidak memahami permasalahan ini, maka dia akan ditimpa kegagalan, kumunduran dalam hal kejiwaan maupun tindakan. Dia akan selalu dalam keadaan gelap mata terhadap masyarakatnya, sehingga ini menyebabkan dakwahnya dihinggapi penyimpangan.
Oleh sebab itu, wajib atas setiap da’I untuk menjaga agar dakwahnya tetap berjalan di atas jalan yang benar dengan cara-cara yang tepat sesuai dengan keadaan manusia yang menjadi lahan dakwahnya. Sehingga, tidak sepantasnya dia menuntut masyarakatnya untuk sesuatu yang mustahil diwujudkan. Tapi hendaknya dia mengajak mereka menuju perbaikan dengan hal-hal yang memungkinkan tanpa disertai ifrath dan tafriith.
Berkaitan dengan masalah ini Ath Thahawi menerangkan:
“Atsar-atsar ini mendukung atsar yang ada pada bab sebelumnya. Dan semuanya saling membenarkan. Atsar-atsar ini menjelaskan bahwa kondisi setiap zaman sangat berbeda satu sama lain. Masing-masing zaman mempunyai hokum sebagaimana yang telah diterangkan Rasulullah kepada ummatnya. Bahkan beliau telah mengajarkan kepada ummatnya apa yang harus mereka lakukan pada masa-masa tersebut. Maka wajib atas setiap orang untuk tetap berpegang teguh dengan wasiat beliau itu dan meletakkan semua urusan itu pada tempat yang telah Rasulullah perintahkan, serta jangan sampai mereka menyimpang dan mencari hal-hal selain itu.”
( Dikutip dari buku Manhaj Dakwah Salafiyah, Pustaka Al HAURA)