Ditulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman
Tidak Mengapa Seseorang Masih Dalam Keadaan Junub atau Suci Haid Pada Saat Fajar dan Kemudian Mandi Setelah Itu
Jika seseorang berhubungan dengan istrinya pada malam hari bulan puasa, maka ia dalam keadaan junub. Segala hal yang membatalkan puasa sudah harus dihentikan pada saat masuk waktu fajar.
Mungkin saja ia masih dalam keadaan junub pada saat sudah masuk waktu fajar dan belum sempat mandi wajib. Hal itu tidak mengapa dan tidak membatalkan puasa, karena Nabi shollallahu alaihi wasallam juga pernah mengalami hal itu.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ
Sesungguhnya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam pernah mendapati (waktu) fajar dalam keadaan junub (akibat berhubungan) dengan istrinya. Kemudian beliau mandi dan berpuasa (H.R alBukhari dari Aisyah dan Ummu Salamah)
Demikian juga dengan seorang wanita yang baru suci dari haid dan belum sempat mandi pada saat masuknya fajar Subuh. Dia kemudian bisa mandi, sholat Subuh dan berpuasa (Syarh Umdatil Ahkam, transkrip ceramah Syaikh Bin Baz).
Istri adalah Pakaian Suami dan Suami adalah Pakaian Istri
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
Mereka (para istri) adalah pakaian kalian, dan kalian adalah pakaian mereka…(Q.S al-Baqoroh:187)
Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini:
هُنَّ سَكَنٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ سَكَنٌ لَهُنَّ
Mereka adalah ketenangan bagi kalian dan kalian adalah ketenangan bagi mereka (riwayat al-Hakim dan disepakati keshahihannya oleh adz-Dzahaby)
Istri adalah pakaian bagi suami, demikian juga suami pakaian bagi istri. Menunjukkan demikian butuhnya seorang suami terhadap istri dan istri terhadap suaminya. Bagaikan kebutuhan seseorang terhadap pakaian. Sebagaimana pakaian yang memiliki manfaat menutup aurat dan sebagai pelindung.
Nabi juga memberikan bimbingan menikah bagi para pemuda yang mampu karena menikah itu (jika dilakukan dengan berpedoman pada syariat) bisa membuat seseorang menundukkan pandangan dari yang haram dan bisa menjaga kemaluan.
Perumpamaan ‘pakaian’ itu juga menunjukkan demikian dekatnya hubungan seseorang dengan istrinya. Bagaikan pakaian yang langsung bersentuhan dengan kulitnya (disarikan dari penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam tafsir surat al-Baqoroh)
Didahululan penyebutan : mereka (para istri) adalah pakaian kalian, karena demikian butuhnya seorang lelaki kepada wanita dan kekurangsabaran mereka dalam (nafsu) terhadap wanita, dan biasanya para lelakilah yang terlebih dahulu menyampaikan kebutuhannya, sedangkan para wanita lebih banyak malu dalam urusan itu (disarikan dari al-Bahrul Muhiith karya Abu Hayyan al-Andalusy)
Sebagai pakaian yang berfungsi untuk menutup aurat, seharusnya masing-masing suami dan istri menutupi cela dan aib pasangannya, tidak diumbar pada orang lain.
Allah Maha Mengetahui Kebutuhan Manusia dan Memaafkan Mereka
Allah adalah Sang Pencipta, sehingga sangat mengetahui secara detail seluruh sisi manusia. Sang Pencipta pastilah mengetahui tentang ciptaannya.
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Tidakkah yang menciptakan mengetahui? Dan Dia adalah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui secara detail (Q.S al-Mulk:14)
Awalnya, puasa disyariatkan boleh berbuka hanya pada rentang waktu sejak masuk Maghrib hingga sebelum sholat Isya atau sebelum tidur di waktu malam. Selama masa Ramadhan itu pula, awalnya para Sahabat Nabi tidak ada yang berhubungan dengan istrinya di malam hari.
Sahabat Nabi Al-Bara’ bin Azib radhiyallahu anhu berkata:
لَمَّا نَزَلَ صَوْمُ رَمَضَانَ كَانُوا لَا يَقْرَبُونَ النِّسَاءَ رَمَضَانَ كُلَّهُ وَكَانَ رِجَالٌ يَخُونُونَ أَنْفُسَهُمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ { عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ }
Ketika turun ayat tentang puasa Ramadhan, para Sahabat Nabi tidaklah mendekati istri-istri mereka pada Ramadhan seluruhnya, sehingga para laki-laki mengkhianati diri mereka (tidak kuat menahan nafsu), kemudian Allah turunkan ayat:
عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ
Allah mengetahui bahwa kalian mengkhianati diri-diri kalian (tidak kuat menahan nafsu), maka Allah memberi taubat kepada kalian dan memaafkan kalian (Q.S al-Baqoroh:187)(H.R al-Bukhari)
Carilah dari Hubungan Suami Istri itu Sesuatu yang Telah Allah Tetapkan bagi Kalian
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ
Maka saat ini (sejak diturunkan ayat tersebut), berhubunganlah dengan mereka (istri-istri kalian) dan carilah apa yang telah Allah tetapkan untuk kalian (Q.S al-Baqoroh:187)
Potongan ayat ini merupakan pembolehan dari Allah untuk berhubungan suami istri di malam Ramadhan. Allah memberikan bimbingan bahwa hendaknya dalam hubungan itu diniatkan sesuatu yang telah Allah tetapkan.
Para Sahabat berbeda-beda dalam menafsirkan makna ‘apa yang telah Allah tetapkan bagi kalian’. Namun, perbedaan penafsiran tersebut tidaklah bertolak belakang dan semuanya adalah penafsiran yang benar.
Sebagian Sahabat ada yang menafsirkannya sebagai anak (keturunan). Artinya, harapkanlah mendapatkan keturunan dengan sebab perbuatan itu. Ini pendapat dari Ibnu Abbas (riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim).
Sebagian Sahabat yang lain menafsirkannya sebagai Lailatul Qodr. Artinya, janganlah hal itu menjadikan kalian terlalaikan dari mendapatkan keutamaan Lailatul Qodr. Ini adalah pendapat dari Anas bin Malik (riwayat al-Bukhari dalam Tarikh-nya).
Bagaimanapun, seseorang harus meniatkan ibadah dalam perbuatan itu. Itu adalah ibadah dan shodaqoh. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا
…dan pada kemaluan kalian terdapat shodaqoh. Para Sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kami mendatangi syahwatnya tapi justru mendapat pahala? Nabi menjawab: Bagaimana pendapatmu, jika ia meletakkannya pada yang haram, bukankah ia mendapatkan dosa? Maka demikianlah, jika ia letakkan pada yang halal, maka itu baginya adalah pahala (H.R Muslim)
Kesalahpahaman Sebagian Sahabat dalam Mengartikan ‘Benang putih’ dan ‘Benang hitam’
Pada saat turunnya ayat:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ
Makan dan minumlah, hingga nampak jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam…
Sebagian Sahabat memahami makna ‘benang’ pada ayat itu adalah benar-benar benang yang digunakan untuk menjahit. Sebagian mereka, ada yang meletakkan benang putih dan benang hitam di bawah bantal mereka, menunggu perubahan. Namun tak jua ada perubahan (warnanya tetap). Hingga esoknya bertanya kepada Nabi dan Nabi menjelaskan bahwa maksudnya adalah hitamnya malam dan putihnya siang.
Ada juga yang mengikatkan benang putih dan benang hitam pada kakinya. Ia terus makan sampai melihat adanya perubahan. Ternyata tidak ada perubahan. Hingga turunlah potongan ayat yang menjelaskan bahwa maksudnya adalah fajar. Artinya, tetap makan dan minumlah hingga datangnya fajar. Bukan artinya makan dan minum hingga warna benang yang digunakan menjahit berubah.
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ أُنْزِلَتْ{ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ } وَلَمْ يَنْزِلْ { مِنْ الْفَجْرِ }
فَكَانَ رِجَالٌ إِذَا أَرَادُوا الصَّوْمَ رَبَطَ أَحَدُهُمْ فِي رِجْلِهِ الْخَيْطَ الْأَبْيَضَ وَالْخَيْطَ الْأَسْوَدَ وَلَمْ يَزَلْ يَأْكُلُ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ رُؤْيَتُهُمَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ بَعْدُ { مِنْ الْفَجْرِ } فَعَلِمُوا أَنَّهُ إِنَّمَا يَعْنِي اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
Dari Sahl bin Sa’d –radhiyallahu anhu- beliau berkata: Diturunkan ayat: << dan makan dan minumlah sampai nampak jelas benang putih dari benang hitam>> dan belum diturunkan (potongan ayat): << …dari fajar…>>. Maka laki-laki dari para Sahabat Nabi jika ingin berpuasa mereka mengikatkan benang putih dan benang hitam pada kakinya. Mereka terus makan sampai (akan berhenti) jika telah jelas melihat (perubahannya). Kemudian Allah turunkan (potongan ayat) : <>, maka jadilah mereka tahu bahwa maksudnya adalah malam dan siang (H.R alBukhari no 1784).
Pelajaran penting dari peristiwa-peristiwa tersebut:
1. Memahami al-Quran tidak cukup hanya berdasarkan kaidah bahasa saja, namun juga perlu berdasarkan riwayat hadits dari Nabi. Nabi menjelaskan makna al-Quran dengan hadits-haditsnya. Nampak bahwa sebagian Sahabat yang orang Arab asli dan paham dengan bahasa Arab sempat salah dalam memahami makna ayat alQuran.
2. Jika ada kesalahpahaman dari sebagian Sahabat, Nabi pasti akan menjelaskannya. Karena itu, tidak mungkin para Sahabat akan bersepakat dalam pemahaman yang salah tentang al-Quran.
Potongan ayat ini merupakan dalil bahwa semua hal-hal yang membatalkan puasa di siang hari boleh dilakukan selama masih waktu malam. Waktu malam adalah dari terbenamnya matahari (Maghrib) hingga menjelang terbit fajar. Jika telah terbit fajar shadiq, maka tidak boleh seseorang melakukan hal-hal yang membatalkan puasa seperti makan, minum, dan berhubungan suami istri.
Potongan ayat ini juga sebagai dalil yang menunjukkan bahwa berhentinya makan dan minum adalah saat telah yakin (yatabayyana) akan masuknya fajar. Jika seseorang salah sangka, awalnya mengira belum masuk waktu fajar, karena tidak ada hal-hal yang menunjukkan hal itu, seperti cuaca mendung, jam dinding yang biasa dijadikan patokan pas mati, dan tidak terdengar adzan, kemudian nampak jelas setelah itu bahwa tadi ia makan dan minum di waktu fajar, maka tidak mengapa ia lanjutkan puasanya. Tidak ada kewajiban mengganti di waktu lain. Hal itu berlaku jika ia memang benar-benar tidak tahu, bukan pura-pura lupa atau menikmati keterlambatannya.
Larangan Berhubungan Badan dengan Istri pada Saat I’tikaf
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Janganlah kalian menggauli mereka (istri-istri kalian) pada saat kalian I’tikaf di masjid (Q.S al-Baqoroh:187)
Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Allah jelaskan hal ini agar jangan sampai ada yang menyangka bahwa hal itu (berhubungan dengan istri) boleh pada malam Ramadhan, termasuk bagi orang yang sedang I’tikaf (Tafsir alBaqoroh)
Ayat ini juga mengisyaratkan disyariatkannya I’tikaf. Juga dijelaskan pada ayat ini bahwa tempat I’tikaf adalah di masjid. Sehingga, tidaklah disebut I’tikaf seseorang yang melakukannya di rumah-rumah. InsyaAllah akan dibahas lebih lengkap tentang I’tikaf pada bab tersendiri…..selesai
(dinukil dari Buku Ramadhan Bertabur Berkah hal 32-92 karya Abu Utsman Kharisman)