Memilih Hewan Qurban

  • Post author:
  • Post category:Fiqih

Perlu dipahami bahwa berqurban tidaklah sah kecuali dengan hewan ternak yaitu unta, sapi, atau kambing. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لِّيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۖ

“Supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rizki yang telah Allah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (Al-Hajj: 28)
Juga firman-Nya:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكًا لِّيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah kepada mereka.” (Al-Hajj: 34)
Dan yang paling afdhal menurut jumhur ulama adalah unta (untuk satu orang), kemudian sapi (untuk satu orang), lalu kambing (domba lebih utama daripada kambing jawa), lalu berserikat pada seekor unta, lalu berserikat pada seekor sapi. Alasan mereka adalah:
1. Unta lebih besar daripada sapi, dan sapi lebih besar daripada kambing. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (Al-Hajj: 32)
2. Unta dan sapi menyamai 7 ekor kambing.
3. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

“Barangsiapa yang mandi Jum’at seperti mandi janabat kemudian berangkat, maka seolah dia mempersembahkan unta. Barangsiapa yang berangkat pada waktu kedua, seolah mempersembahkan sapi, yang berangkat pada waktu ketiga seakan mempersembahkan kambing bertanduk, yang berangkat pada waktu keempat seakan mempersembahkan ayam, dan yang berangkat pada waktu kelima seakan mempersembahkan sebutir telur.” (HR. Al-Bukhari no. 881 dan Muslim no. 850)
Adapun hadits yang menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban dengan kambing kibasy, yang berarti dinilai lebih afdhal karena merupakan pilihan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dijawab:
a. Hal tersebut menunjukkan kebolehan berqurban dengan kambing.
b. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuat demikian agar tidak memberatkan umatnya.
(Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 11/398-399, no. fatwa 1149, Adhwa`ul Bayan, 3/382-384, cet. Darul Ihya`it Turats Al-‘Arabi)

Faedah
Al-Imam Muhammad Amin Asy-Syinqithi rahimahullahu dalam tafsirnya, Adhwa`ul Bayan (3/485), menukil kesepakatan ulama tentang bolehnya menyembelih hewan qurban secara umum, baik yang jantan maupun betina. Dalilnya adalah keumuman ayat yang menjelaskan masalah hewan qurban, tidak ada perincian harus jantan atau betina, seperti ayat 28, 34, dan 36 dari surat Al-Hajj.
Para ulama hanya berbeda pendapat tentang mana yang lebih afdhal. Yang rajih adalah bahwa kambing domba jantan lebih utama daripada yang betina. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih kambing kibasy (jantan) bukan na’jah (betina). Wallahu a’lam bish-shawab.

Ketentuan Hewan Qurban
a. Kambing domba atau jawa
Tidak ada khilaf di kalangan ulama, bahwa seekor kambing cukup untuk satu orang. Demikian yang dinyatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullahu dalam Syarhul Kabir (5/168-169).
Seekor kambing juga mencukupi untuk satu orang dan keluarganya, walaupun mereka banyak jumlahnya. Ini menurut pendapat yang rajih, dengan dalil hadits Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

“Dahulu di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seseorang menyembelih qurban seekor kambing untuknya dan keluarganya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1510, Ibnu Majah no. 3147. At-Tirmidzi rahimahullahu berkata: “Hadits ini hasan shahih.”)
Juga datang hadits yang semakna dari sahabat Abu Sarihah radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan oleh Ibnu Majah rahimahullahu (no. 3148). Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Shahihul Musnad (2/295) berkata: “Hadits ini shahih sesuai syarat Syaikhain.”

b. Unta
Menurut jumhur ulama, diperbolehkan 7 orang atau 7 orang beserta keluarganya berserikat pada seekor unta atau sapi. Dalilnya adalah hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

“Kami pernah menyembelih bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu Hudaibiyyah seekor unta untuk 7 orang dan seekor sapi untuk 7 orang.” (HR. Muslim no. 1318, Abu Dawud no. 2809, At-Tirmidzi no. 1507)
Demikianlah ketentuan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masyhur di kalangan kaum muslimin, dahulu maupun sekarang.
Atas dasar itu, maka apa yang sedang marak di kalangan kaum muslimin masa kini yang mereka istilahkan dengan ‘qurban sekolah’ atau ‘qurban lembaga/yayasan’1 adalah amalan yang salah dan qurban mereka tidak sah. Karena tidak sesuai dengan bimbingan As-Sunnah yang telah dipaparkan di atas. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan tanpa contoh dari kami maka dia tertolak.” (HR. Muslim no. 1718 dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Al-Imam Asy-Syinqithi rahimahullahu dalam tafsirnya Adhwa`ul Bayan (3/484) menegaskan: “Para ulama sepakat2, tidak diperbolehkan adanya dua orang yang berserikat pada seekor kambing.”
Penulis juga pernah bertanya secara langsung via telepon kepada Syaikhuna Abdurrahman Al-‘Adni hafizhahullah, terkhusus masalah ini. Jawaban beliau seperti apa yang telah diuraikan di atas, qurban tersebut tidak sah dan dinilai sebagai shadaqah biasa. Walhamdulillah.

Umur Hewan Qurban
Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Janganlah kalian menyembelih (hewan qurban) kecuali musinnah. Kecuali bila kalian sulit mendapatkannya, maka silakan kalian menyembelih jadza’ah dari kambing domba.” (HR. Muslim no. 1963)
Dalam hadits ini, Rasulullan Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ketentuan tentang umur hewan qurban yaitu musinnah.
Musinnah pada unta adalah yang genap berumur 5 tahun dan masuk pada tahun ke-6. Demikian yang dijelaskan oleh Al-Ashmu’i, Abu Ziyad Al-Kilabi, dan Abu Zaid Al-Anshari.
Musinnah pada sapi adalah yang genap berumur 2 tahun dan masuk pada tahun ke-3. Inilah pendapat yang masyhur sebagaimana penegasan Ibnu Abi Musa. Ada juga yang berpendapat genap berumur 3 tahun masuk pada tahun ke-4.
Musinnah pada ma’iz (kambing jawa) adalah yang genap berumur setahun. Begitu pula musinnah pada dha`n (kambing domba). Demikian penjelasan Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarh Bulughil Maram (6/84). Lihat pula Syarhul Kabir (5/167-168) karya Ibnu Qudamah rahimahullahu.

Apakah disyaratkan harus musinnah?
a. Unta, sapi, dan kambing jawa (ma’iz)
Mayoritas besar ulama mensyaratkan umur musinnah pada unta, sapi, dan ma’iz, dan tidak sah bila kurang daripada itu. Dasarnya adalah hadits Jabir di atas.
Adapun hadits Mujasyi’ radhiyallahu ‘anhu:

“Sesungguhnya jadza’ (hewan yang belum genap umur musinnah, pen) mencukupi dari apa yang dicukupi oleh tsaniyah (hewan yang genap umur musinnah, pen.).” (HR. Abu Dawud no. 2799, Ibnu Majah no. 3140, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud. Saya katakan: Sanadnya hasan, karena dalam sanadnya ada ‘Ashim bin Kulaib dan ayahnya. Keduanya shaduq (jujur).)
khusus berlaku untuk jadza’ah dari kambing domba saja (kambing domba yang berumur 6 bulan). Demikian dijelaskan oleh Ibnu Qudamah rahimahullahu dengan dasar hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu di atas. Wallahu a’lam.
b. Kambing domba (dha`n)
Yang afdhal pada dha`n adalah umur musinnah (1 tahun) dengan dasar hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu di atas. Tetapi apakah hal itu termasuk syarat3? Ataukah diperbolehkan menyembelih jadza’ah (umur 6 bulan) secara mutlak?
Pendapat yang rajih adalah pendapat jumhur –bahkan Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu menukilkan kesepakatan4– bahwa jadza’ah dari dha`n tidak sah kecuali bila kesulitan mendapatkan musinnah, dengan dasar hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu di atas.
Adapun hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

“Sebaik-baik hewan qurban adalah jadza’ah dari dha`n.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullahu (2/445) dan At-Tirmidzi rahimahullahu. Sanadnya dhaif, karena di dalamnya ada Kidam bin Abdurrahman As-Sulami dan Abu Kibasy, keduanya majhul. (Lihat Adh-Dha’ifah no. 64)
Juga hadits Ummu Bilal bintu Hilal (dalam sebagian riwayat: dari ayahnya; pada riwayat lain langsung dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam):

“Jadza’ah dari dha`n diperbolehkan sebagai hewan qurban.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah rahimahullahu (3/39), Al-Baihaqi rahimahullahu dalam Al-Ma’rifah (5650-5651), dan yang lainnya. Sanadnya dhaif, padanya ada Ummu Muhammad Al-Aslamiyyah, dia majhulah. (Lihat Adh-Dha’ifah no. 65)
Adapun hadits Mujasyi’ yang telah dipaparkan sebelumnya (pada hal. 18), maka dijawab dengan ucapan Ash-Shan’ani rahimahullahu dalam Subulus Salam (4/174): “Kemungkinan hal itu semua ketika kesulitan mendapatkan musinnah.”
Saya katakan: Hal ini dikuatkan oleh sebab wurud hadits Mujasyi’ ini. Kulaib bin Syihab mengisahkan: Kami dahulu pernah bersama salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Mujasyi’ dari Bani Sulaim. Waktu itu, kambing sangat sulit dicari. Maka dia memerintahkan seseorang untuk berseru: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Sesungguhnya jadza’ah itu mencukupi dari apa yang dicukupi oleh musinnah.” (Lihat Abu Dawud no. 2799, Ibnu Majah no. 3140)
Adapun hadits ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu mengisahkan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membagikan hewan qurban kepada para sahabatnya. ‘Uqbah mendapatkan jatah bagian jadza’ah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:
ÖóÍøö ÈöåóÇ
“Hendaklah engkau berqurban dengannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5547 dan Muslim no. 1965)
maka jawabannya adalah sebagai berikut:
1. Yang dimaksud dengan jadza’ah di sini bukanlah jadza’ah dari dha`n, tetapi jadza’ah dari ma’iz (kambing jawa). Sebagaimana hal ini disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari (no. 5555) dengan lafadz: ÚóÊõæÏñ. Dalam Fathul Bari (11/126) disebutkan: “’Atud adalah anak kambing ma’iz yang telah kuat dan berusia satu tahun.” Ibnu Baththal menegaskan: “’Atud adalah jadza’ah dari ma’iz.” Kata Al-Hafizh Ibnu Hajar setelah itu: “Lafadz ini menjelaskan maksud kata ‘jadza’ah’ yang terdapat dalam riwayat lain hadits ‘Uqbah, bahwasanya ‘jadza’ah’ di sini adalah dari ma’iz.”
2. Adapun jawaban hadits ini yang membolehkan jadza’ah dari ma’iz adalah sebagai berikut:
a. Kebolehan tersebut khusus sebagai rukhshah untuk ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu. Sebab, dalam riwayat Al-Baihaqi ada tambahan lafadz:

“Dan tidak ada rukhshah (keringanan) untuk siapapun setelah itu.”
Sebagaimana pula rukhshah ini juga diberikan kepada Abu Burdah radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat Al-Bukhari rahimahullahu (no. 5556, 5557) dan yang lainnya. (Lihat Fathul Bari, 11/129)
b. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Fathul Bari (11/130) menegaskan: “Kemungkinan hal tersebut terjadi pada awal Islam, kemudian syariat menetapkan bahwa jadza’ah dari ma’iz tidak cukup. Dan Abu Burdah dan Uqbah khusus mendapatkan rukhshah itu.”
Wallahul muwaffiq.

1 Qurban sekolah atau yayasan yang dimaksud adalah masing-masing murid/santri atau anggota sebuah lembaga/yayasan diminta untuk menyerahkan uang sejumlah Rp. 10.000,- misalnya. Dari uang yang terkumpul tersebut diberikan beberapa ekor kambing atau sapi sebagai hewan qurban.
2 Kesepakatan ini juga dinukil oleh Ibnu Khawwaz Bindad sebagaimana yang dicantumkan oleh Ibnu Abdil Barr rahimahullahu dalam kitabnya At-Tamhid (10/307-308, cetakan terbaru, dengan tartib bab fiqih). Dan pada halaman 315 beliau sendiri yang
menukilkan kesepakatan tersebut.
3 Yakni tidak sah menyembelih jadza’ah kecuali bila kesulitan mendapatkan musinnah sebagaimana dalam hadits Jabir di atas.
4 Kesepakatan tersebut tidak benar, karena dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan fuqaha.

Kriteria Ideal Hewan Qurban

Ada beberapa kriteria ideal yang harus diperhatikan untuk mencapai keafdhalan prima dalam beribadah qurban. Di antaranya:
1. Berwarna putih bercampur hitam dan bertanduk. Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Beliau berqurban dengan dua kambing kibasy yang berwarna putih bercampur hitam lagi bertanduk.” (HR. Al-Bukhari no. 5565 dan Muslim no. 1966)
2. Berwarna hitam pada kaki, perut dan kedua matanya. Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mendatangkan kambing kibasy bertanduk, menginjak pada hitam, menderum pada hitam, dan memandang pada hitam, untuk dijadikan hewan qurban.” (HR. Muslim no. 1967)
3. Gemuk dan mahal. Dalilnya adalah hadits Anas yang telah lewat, riwayat Abu ‘Awanah (no. 7796) dengan lafadz: (gemuk). Dalam lafadz lain (mahal).

Faedah: Mana yang lebih afdhal, kualitas hewan qurban atau kuantitasnya?
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu menjawab:
“Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Pendapat yang shahih adalah dengan perincian:
– Bila taraf kehidupan masyarakatnya makmur dan lapang, maka kualitas hewan lebih afdhal.
– Bila mereka dalam kesempitan hidup, maka semakin banyak kuantitasnya semakin afdhal, supaya kemanfaatan hewan qurban merata untuk seluruh masyarakat.” (Syarh Bulughil Maram, 6/73-74)

Cacat yang Menghalangi Keabsahan Hewan Qurban

Cacat yang menghalangi keabsahan hewan qurban dibagi menjadi dua:
1. Yang disepakati oleh para ulama
Diriwayatkan dari Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di depan kami, beliau bersabda:

“Empat hal yang tidak diperbolehkan pada hewan qurban: yang rusak matanya dan jelas kerusakannya, yang sakit dan jelas sakitnya, yang pincang dan jelas pincangnya, dan yang kurus dan tidak bersumsum.” (HR. Abu Dawud no. 2802, At-Tirmidzi no. 1502, Ibnu Majah no. 3144 dengan sanad yang dishahihkan oleh An-Nawawi rahimahullahu dalam Al-Majmu’, 8/227)
Dalam hadits ini ada empat perkara yang dilarang pada hewan qurban menurut kesepakatan ulama, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Qudamah rahimahullahu dalam Syarhul Kabir (5/175) dan An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (8/231, cet. Dar Ihya`ut Turats Al-‘Arabi). Keempat perkara tersebut adalah:
a. yaitu hewan yang telah rusak dan memutih matanya, dengan kerusakan yang jelas.
b. yaitu hewan yang nampak sakitnya, dan dapat diketahui dengan dua cara:
– keadaan penyakitnya yang dinilai sangat nampak, seperti tha’un, kudis, dan semisalnya.
– pengaruh penyakit yang nampak pada hewan tersebut, seperti kehilangan nafsu makan, cepat lelah, dan semisalnya.
c. yaitu hewan yang pincang dan nampak kepincangannya. Ketentuannya adalah dia tidak bisa berjalan bersama dengan hewan-hewan yang sehat sehingga selalu tertinggal. Adapun hewan yang pincang namun masih dapat berjalan normal bersama kawanannya maka tidak mengapa.
d. dalam riwayat lain yaitu hewan yang telah tua usianya, pada saat yang bersamaan dia tidak memiliki sumsum. Ada dua persyaratan yang disebutkan dalam hadits ini:
– yaitu yang kurus
– yaitu yang tidak bersumsum.

2. Menurut pendapat yang rajih
Ada beberapa cacat yang masih diperbincangkan para ulama, namun yang rajih adalah tidak boleh ada pada hewan qurban. Di antaranya adalah (lihat Asy-Syarhul Mumti’, 3/394-397):
a. yaitu hewan yang sudah buta kedua matanya, walaupun tidak jelas kebutaannya. Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (8/231) bahkan menukilkan kesepakatan ulama tentang masalah ini.
b. yaitu hewan yang jatuh dari atas lalu pingsan. Selama dia dalam kondisi pingsan maka tidak sah, sebab dia termasuk hewan yang jelas sakitnya.
c. yaitu kambing yang membesar perutnya karena banyak makan kurma. Dia tidak bisa buang angin dan tidak diketahui keselamatannya dari kematian kecuali bila dia buang air besar. Maka dia termasuk hewan yang jelas sakitnya selama belum buang air besar.
d. yaitu hewan yang terputus salah satu tangan/kakinya atau bahkan seluruhnya. Sebab kondisinya lebih parah daripada hewan yang pincang (ÇáúÚóÑúÌóÇÁõ).
e. yaitu hewan yang tidak bisa berjalan sama sekali.

Cacat yang tidak memengaruhi keabsahan hewan qurban
Di antaranya ada yang tidak berpengaruh sama sekali karena sangat sedikit atau ringan sehingga dimaafkan. Ada pula yang mengurangi keafdhalannya namun masih sah untuk dijadikan hewan qurban. Di antaranya:
a. yaitu hewan yang telah ompong giginya.
b. yaitu hewan yang telah kering kantong susunya, yakni tidak bisa lagi mengeluarkan air susu.
c. yaitu hewan yang hilang mayoritas telinga atau tanduknya, baik itu memanjang atau melebar.
Adapun hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu:

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berqurban dengan hewan yang hilang mayoritas tanduk dan telinganya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2805), At-Tirmidzi (no. 1509), Ibnu Majah (no. 3145), dan yang lainnya, dan didhaifkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Tahqiq Al-Mustadrak (4/350) karena dalam sanadnya ada Jurai bin Kulaib As-Sadusi. Ibnul Madini berkata: “Dia majhul.” Abu Hatim berkata: “(Seorang) syaikh, haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah.”
d. yaitu hewan yang tidak berekor, baik itu karena asal penciptaannya (memang asalnya seperti itu) atau karena dipotong.
e. yaitu hewan yang memang asalnya tidak bertanduk.
f. yaitu hewan yang dikebiri.
g. yaitu hewan yang terputus ujung telinganya.
h. yaitu hewan yang terputus bagian belakang telinganya.
i. yaitu hewan yang pecah telinganya.
j. yaitu hewan yang telinganya berlubang.
Adapun hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang berisikan larangan dari al-muqabalah, al-mudabarah, asy-syarqa`, dan al-kharqa`, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 1503), Abu Dawud (no. 2804), Ibnu Majah (no. 3142), adalah hadits yang dhaif. Didhaifkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Tahqiq Al-Mustadrak (4/350), karena dalam sanadnya ada Syuraih bin Nu’man. Abu Hatim berkata: “Mirip orang majhul, haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah.” Al-Bukhari berkata tentang hadits ini: “Tidak shahih secara marfu’.”
Cacat yang disebutkan di atas dan yang semisalnya dinilai tidak berpengaruh karena dua alasan:
1. Tidak ada dalil shahih yang melarangnya. Sedangkan hukum asal pada hewan qurban adalah sah hingga ada dalil shahih yang melarangnya.
2. Dalil yang melarangnya adalah dhaif.
Wallahul muwaffiq.

(Sumber http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=574)