Koreksi atas hadits terkait bulan Ramadhan (2)

Koreksi atas hadits terkait bulan Ramadhan (2)

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

3. Hadits ketiga

“Segala sesuatu punya zakat dan zakat tubuh adalah puasa”

Hadits ini datang dari dua jalan :
Pertama : Dari jalan Musa bin ‘Ubaidah Ar-Rabadzy dari Jamham dari Abu Hurairah dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf 3/7, Ibnu Majah no.1745, Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fii Du’afa`i Ar-Rijal 6/2336, dan Al-Qodho’iy dalam Musnadnya 1/162 no.229, Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman no. 3577.

Terdapat beberapa illat (cacat) dalam hadits ini :
Satu : Musa bin ‘Ubaidah Ar-Rabadzy, berkata Al-Bushiry dalam Mishbah Az-Zujajah : “Para ulama sepakat tentang lemahnya ia”.
Dua : Musa bin ‘Ubaidah telah mudhthorib (goncang) dalam meriwayatkan hadits ini, kadang-kadang ia meriwayatkannya secara marfu’ (bersambung kepada Nabi) seperti riwayat di atas, dan kadang-kadang ia meriwayatkannya secara mauquf (hanya sampai kepada shahabat) sebagaimana dalam riwayat Waqi’ bin Al-Jarrah dalam Az-Zuhd. Lihat : Silsilah Ahadits Adh-Dho’ifah 3/497.
Dan kadang-kadang Musa bin ‘Ubaidah meriwayatkannya bukan dari Jamhan dari Abi Hurairah tapi dari Zaid bin Aslam dari Jamhan dari Abi Hurairah sebagaimana dalam Syu’abul Iman karya Al-Baihaqy 3/292 no.3578.
Ketiga : Jamhan adalah seorang rawi majhul (tidak dikenal).

Adapun riwayat Yahya bin Abdul Hamid dalam Muntakhab Musnad Abdu bin Humaid no.1447, itu adalah riwayat yang mungkar sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Albany dalam Silsilah Ahadits Adh-Dho’ifah 3/497.

Maka jalan pertama ini adalah lemah, karena itu berkata Al-‘Iraqy : “Sanadnya lemah”. Lihat : Fathul Qodir karya Imam Al Manawy 5\285.

Jalan kedua : Dari jalan Hammad bin Walid dari Sufyan Ats-Tsaury dan ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa’ad dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.

Diriwayatkan oleh : Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fii Dua’fai Ar-Rijal 2/657-658, Ath-Thabarany 6/193 no.5973, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 7/136, Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman 3/292-293, Al-Khatib Al-Baghdady dalam Tarikhnya 8/153 dan Ibnul Jauzy dalam Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah 2/49 no.885.

Di dalam sanadnya ada Hammad bin Walid dan ia ini Matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya) bahkan Ibnu Hibban berkata : ”Ia mencuri hadits dan melengketkan pada orang-orang tsiqoh (terpercaya) apa yang bukan hadits mereka”. Maka jalan kedua ini sangat lemah.

Kesimpulan :
Bisa disimpulkan bahwa sanad hadits ini lemah.
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24&page_order=4)

4. Hadits keempat

“Apabila salah seorang dari kalian mendengar adzan dan bejana berada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya dari bejana tersebut”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud no.2350, Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 2/181, Ahmad 2/423,510, Al-Hakim 1/320,323,588, Al-Baihaqy 4/218 dan Ad-Daraquthny 2/165. Semuanya dari jalan Hammad bin Salamah dari Muhammad bin Amr bin ‘Alqomah dari Abu Salamah dari Abu Hurairah dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.

Dan diriwayatkan juga oleh Ahmad 2/510, Ibnu Jarir 2/181, Al-Hakim 1/320,323 dan Al-Baihaqy 4/218, dari jalan Hammad bin Salamah dari ‘Ammar bin Abi ‘Ammar dari Abi Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.

Saya berkata : Kalau kita memperhatikan dua jalan di atas, zhohir sanad jalan pertama hasan dan jalan kedua shohih, tapi kaidah yang sudah dimaklumi dikalangan ahli hadits bahwa walaupun zhohir sanad suatu hadits diterima, belum tentu sanad tersebut lepas dari cacat yang tersembunyi. Dan ternyata di dalam sanad hadits ini ada cacat yang tersembunyi sebagaimana dijelaskan oleh Imam Besar, pakar ‘ilalul hadits (cacat-cacat hadits) Abu Hatim sebagaimana dalam Al-‘Ilal 1/123-124 no.340, 1/256-257 no.257 beliau berkata : “Dua hadits ini (dua jalan di atas) tidak shohih, adapun hadits ‘Ammar itu dari Abi Hurairah secara Mauquf (dari perkataan Abu Hurairah) dan ‘Ammar Tsiqoh dan hadits yang lainnya tidak shohih”.

Demikianlah perkataan Abu Hatim rahimahullah yang harus kita terima walaupun zhohir sanad tersebut adalah shohih atau hasan, karena Abu Hatim dan para Imam yang setingkat dengan beliau adalah orang yang paling tahu tentang cacat-cacat yang tersembunyi dalam hadits karena mereka menghafal seluruh riwayat-riwayat para rawi dan mengetahui tingkatan, kedudukan dan kesalahan-kesalahan setiap rawi yang mana menyebabkan kita harus menerima anggapan (kesimpulan) mereka tentang lemahnya suatu hadits. Dan hal ini dinyatakan oleh banyak ‘ulama seperti Imam Ibnu Rajab, Ibnu Hajar dan lain-lainnya. Wallahu A’lam.

Sebagian para ‘ulama menyebutkan bahwa hadits ini mempunyai pendukung (penguat), dan saya akan menyebutkan pendukung-pendukung tersebut kemudian kita lihat apakah memang pantas dijadikan pendukung atau tidak :

Pertama : Dari jalan Ghassan bin Rabi’ dari Hammad bin Salamah dari Yunus dari Hasan Al-Bashry dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam secara mursal.
Diriwayatkan oleh Ahmad 2/423.

Saya berkata : Ini adalah hadits yang mursal dan Ghassan bin Rabi’ yang berada dalam sanadnya adalah dho’if (lemah). Maka ini menyebabkan hadits ini tidak bisa dijadikan pendukung karena hadits mursal bisa dijadikan pendukung kalau sanadnya shohih sedang hadits ini sanad lemah. Wallahu A’lam.

Kedua : Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 2/181 dari jalan Husain bin Waqid dari Abu Gholib dari Abu Umamah beliau berkata :

“Iqomat telah dikumandangkan dan ditangan ‘Umar ada bejana, ia berkata apakah saya boleh minum wahai Rasulullah ? beliau bersabda : “iya”. Maka minumlah ‘Umar”.

Di dalam sanad hadits ini ada Abu Gholib. Kebanyakan para ‘ulama melemahkannya, karena itu Ibnu Hajar berkata shoduqun yukhti` (jujur tetapi banyak salah), ibarat ini digunakan oleh Ibnu Hajar untuk orang yang lemah haditsnya tapi bisa dijadikan sebagai pendukung.

Ketiga : Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 3/348 dari jalan Ibnu Lahi’ah dari Abi Zubair ia berkata :

“Saya bertanya kepada Jabir tentang seseorang hendak berpuasa dan bejana di tangannya untuk ia minum kemudian ia mendengar adzan. Berkata Jabir kami diceritakan bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata : “iya minumlah”.
Saya berkata Ibnu Lahi’ah dho’iful hadits.

Keempat : Hadits Bilal, beliau berkata :

“Saya datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam memanggil beliau untuk shalat shubuh dan (ketika itu) beliau hendak berpuasa, maka ia meminta bejana lalu minum kemudian beliau memberikan bejana itu kepadaku kemudian saya minum lalu kami keluar untuk shalat”.

Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad 6/12, Ibnu Jarir 2/181, Ath-Thabarany 1/355 no.1082-1083, Asy-Syasyi dalam Musnadnya 2/368 no.972-974 dan Adz-Dzahaby dalam Mizanul I’tidal 4/483 Semua dari jalan Abu Ishaq dari ‘Abdillah bin Ma’qil dari Bilal.

Saya berkata : Abu Ishaq As-Sabi’iy seorang mudallis dan meriwayatkan hadits ini dengan kata ‘an (dari), maka haditsnya tidak boleh diterima apalagi ada keanehan (asing) dalam sanadnya, sehingga Adz-Dzahaby berkata “ghoribun jiddan (aneh sekali)” maka ucapan beliau ini menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak bisa dijadikan pendukung. Wallahu A’lam.

Kelima : Diriwayatkan oleh Imam Al-Bazzar sebagaimana dalam Kasyful Astar no.993 dari jalan Muthi’ bin Rasyid dari Taubah Al-‘Anbary dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

“Lihatlah siapa yang ada di mesjid kemudian panggillah ia, maka saya (Anas bin Malik) masuk (mesjid) ternyata ada Abu Bakr dan ‘Umar maka saya pun memanggil mereka berdua, kemudian saya membawakan sesuatu kepada Nabi lalu saya letakkan di depannya lalu beliau makan dan merekapun makan, kemudian mereka keluar lalu Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam shalat mengimami mereka shalat Shubuh”.

Hadits ini dikeluarkan juga dengan matan yang lebih ringkas oleh Ibnu Abi Syaibah dalan Musnadnya sebagaimana dalam Al-Matholib Al-‘Aliyah 3/248-249 no.1104 dan sanadnya hasan sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Haitsamy dalam Majma’ Az-Zawaid 3/152. Lihat juga Silsilah Ahadits Ash-Shohihah 3/383.

Tapi hadits ini tidak bisa dijadikan syahid (pendukung) untuk hadits di atas karena tidak tegas menunjukkan bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam makan sahur dalam keadaan telah adzan sementara bejana masih berada ditangan beliau, tetapi hadits ini hanya menunjukkan bahwa beliau kalau makan sahur, beliau akhirkan sehingga mendekati waktu shubuh. Dan hadits yang menunjukkan disunnahkannya mengakhirkan sahur itu sangat banyak dan kita tidaklah terlalu sulit untuk mendapatkan hadits-hadits seperti ini, diantaranya seperti hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim :

“Kami bersahur bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam kemudian kami berdiri untuk shalat, saya berkata (Anas bin Malik) : “Berapa jarak antara keduanya (antara sahur dan adzan)”. Ia menjawab : “Lima puluh ayat””.

Keenam : Diriwayatkan oleh Abu Daud Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no.1898 beliau berkata menceritakan kepada kami Qois bin Ar-Robi’ dari Zuhair bin Abi Tsabit Al-A’maa dari Tamim bin ‘Iyadh dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu :

“Adalah ‘Alqomah bin ‘Ulatsah berada di sisi Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam maka datanglah Bilal memberitahukan tentang adzan shalat maka beliau bersabda : “Pelan-pelan wahai Bilal, ‘Alqomah sedang makan sahur”, berkata Ibnu ‘Umar : “Ia makan sahur dengan kepala”.

Saya berkata : Qois bin Ar-Robi’ yang terdapat di dalam sanadnya adalah rawi yang lemah haditsnya, hal ini bisa disimpulkan oleh orang yang membaca biografinya. Dan Tamim bin ‘Iyadh saya tidak ketemukan biografinya. Wallahu A’lam.

Kesimpulan :
Lafazh hadits di atas menurut kaidah ilmu hadits bisa dianggap sebagai hadits hasan lighairihi tapi masih ada keraguan tentang hadits ini karena menyelisihi beberapa nash dalil yang jelas diantaranya : Firman Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan dalam surah Al-Baqarah : 187 :

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”.

Dan juga hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

“Sesungguhnya Bilal adzan pada malam hari maka makanlah dan minumlah kalian sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum”. Muttafaqun ‘alaih.

Maksud hadits ini bahwa adzan itu dalam syari’at Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dua kali ; adzan pertama dan adzan kedua. Ketika adzan pertama masih boleh makan sahur disitu dan batasan terakhirnya sampai adzan kedua yaitu adzan yang dikumandangkan untuk shalat shubuh.

Dan andaikata hadits ini shohih maka maknanya tidak bisa dipahami secara zhohir tapi dipahami sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Baihaqy dalam Sunanul Kubra 4/218 bahwa yang diinginkan adalah ia boleh minum apabila diketahui bahwa muadzdzin ini adzan sebelum terbitnya fajar shubuh, demikianlah menurut kebanyakan para ‘ulama. Wallahu A’lam.
Al-ustadz Abu ‘Abdirrahman Luqman Jamal
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24&page_order=5)

5. Hadits kelima

“Siapa yang berbuka satu hari dalam ramadhan tanpa rukhshoh (keringanan) yang Allah jadikan sebagai rukhsoh dalam satu riwayat tanpa udzur maka dia tidak mampu menggantinya walaupun berpuasa sepanjang masa”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no.2540, Ahmad 2/386, 442, 458, 470, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya 1/296-297 no.273-275 dan 1/361 no.367, Abu Daud no.2396, Tirmidzy no.723, Ibnu Majah no.1672, An-Nasa`i dalam Al-Kubra 2/244-245 no.3278-3283, Ad-Darimy dalam Sunannya no.1713-1715, Ibnu Khuzaimah 3/238 no.1987, Ad-Daruquthny 2/211 no.29 dan dalam ‘Ilalnya 8269-274, Al-Baihaqy 4/228 dan dalam Syu’abul Iman 3/318, Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin 3/157, Al-Khotib dalam Tarikhnya 8/462 dan Ibnu Hajar dalam Taghliq At-Ta’liq 3/170. Semuanya dari jalan Abul Muthowwis dari ayahnya dari Abi Hurairah dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.

Dan di dalam sanadnya terdapat empat cacat :

Pertama : Ada idhthirob (kegoncangan) pada Habib bin Abi Tsabit dalam menyebutkan nama gurunya kadang ia mengatakan Abul Muthowwis dari ayahnya, kadang ia katakan Ibnul Muthowwis dari ayahnya, kadang ia katakan Ibnul Muthowwis dari Al-Muthowwis dan kadang ia katakan dari Ibnu Abil Muthowwis dari ayahnya. Lihat ‘Ilal Ad-Daruquthny 8/266-269 dan Hasyiah Al-Jarh Wat-Ta’dil 5/167-168 oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimy rahimahullah.

Tidak diragukan bahwa hal yang seperti ini merupakan idhthirob dalam sanad yang akan mengakibatkan lemahnya suatu hadits menurut para ‘ulama ahli hadits.

Adapun riwayat Habib bin Abi Tsabit yang kadang meriwayatkan dari Abul Muthowwis secara langsung dan kadang dengan perantara ‘Umarah bin ‘Umair, hal tersebut tidaklah disebut idhthirob bahkan keduanya adalah shohih sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Hatim dalam Al-‘Ilal 1/231-232 no.674 dan lihat juga ‘Ilal Ad-Daruquthny 8/266-269.

Cacat kedua : Tidak dikenalnya keadaan Abul Muthowwis.

Berkata Imam Abu ‘Isa (At-Tirmidzy) dalam Sunannya setelah menyebutkan hadits di atas : “Saya mendengar Muhammad (yakni Imam Al-Bukhary) berkata : Abul Muthowwis namanya Yazid bin Muthowwis dan saya tidak mengetahuinya kecuali dalam hadits ini.

Berkata Imam Ahmad : “Saya tidak mengenalnya dan saya tidak mengenal haditsnya dari selain ini”.

Berkata Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya : “Sesungguhnya saya tidak mengenal Ibnu Muthowwis dan tidak pula bapaknya selain dari Habib bin Abi Tsabit yang telah menyebutkan bahwasanya dia bertemu dengan Abul Muthowwis”.

Berkata Imam Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin 3/157 : “(Dia adalah) seorang dari ahli Kufah meriwayatkan dari bapaknya, tidak ada yang mengikutinya, tidak boleh berhujjah dengannya jika dia bersendirian”.

Dan tidak ada Imam yang menganggapnya terpercaya kecuali Imam Ibnu Ma’in dalam salah satu riwayat, yaitu riwayat Abu Bakar bin Abi Haitsamah : “Saya bertanya kepada Yahya Ibnu Ma’in tentang Abul Muthowwis yang meriwayatkan darinya Habib bin Abi Tsabit”, beliau menjawab : “Namanya ‘Abdullah bin Muthowwis : Dia itu Kufy Tsiqoh (terpercaya)”. Lihat : Al-Jarh Wat-Ta’dil 5/773 dan ‘Ilal Ad-Daruquthny 8/273.

Tapi yang nampak -Wallahu A’lam- Abul Muthowwis yang disebutkan oleh Ibnu Ma’in bukan Abul Muthowwis yang tersebut di dalam sanad hadits ini, mungkin karena itu Imam Adz-Dzahaby dalam Al-Kasyif memberikan isyarat dengan ucapannya wutstsiq (ada yang menganggapnya tsiqoh). Dan kata wutstsiq digunakan oleh Imam Adz-Dzahaby bagi orang yang hanya ditsiqohkan oleh Ibnu Hibban khususnya dalam kitabnya Ats-Tsiqot sementara Abul Muthowwis ini justru beliau sebutkan dalam Al-Majruhin. Maka ini menunjukkan beliau tidak menganggap (mengakui) perkataan Imam Ibnu Ma’in tersebut.

Demikian pula Ibnu Hajar dalam Taqribut Tahdzib beliau berkata : “Abul Muthowwis (namanya) adalah Yazid dan ada yang menyatakan (namanya) ‘Abdullah bin Muthowwis, Layyinul hadits (lembek haditsnya)”. Disini Ibnu Hajar menggunakan qila (ada yang mengatakan) menunjukkan bahwa pendapat yang mengatakan nama Abul Muthowwis adalah ‘Abdullah bin Muthowwis, merupakan pendapat yang lemah. Wallahu A’lam.

Cacat ketiga : Ayah Abul Muthowwis ini adalah majhul (tidak dikenal).

Cacat keempat : Ada Inqitho’ (keterputusan) antara ayah Abul Muthowwis dengan Abu Hurairah. Berkata Imam Al-Bukhary dalam At-Tarikh Al-Kabir : “Abul Muthowwis bersendirian meriwayatkan hadits ini dan saya tidak mengetahui apakah bapaknya mendengar dari Abi Hurairah atau tidak. Lihat Fathul Bari 4/161 dan At-Tahdzib.

Maka sebagai kesimpulan hadits ini adalah hadits yang lemah. Wallahu A’lam.

Demikianlah jawaban kami atas pertanyaan tentang hadits-hadits tersebut. Wallahu Ta’ala A’lam.

Peringatan :
Banyak orang menyebar luaskan hadits ini bahwa hadits ini adalah riwayat Bukhary dalam shohihnya. Ini adalah kesalahan yang sangat nyata karena Imam Al-Bukhary hanya meriwayatkannya secara mu’allaq (tidak menyebutkan sanadnya kepada rawi yang ia sandarkan hadits tersebut kepadanya) dan para ‘ulama tidak menghitung apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary secara mu’allaq sebagai bagian dari Shohih Al-Bukhary. Apalagi Imam Al-Bukhary meriwayatkan hadits ini dengan shighoh tamridh menunjukkan lemahnya riwayat tersebut menurut Imam Bukhary. Wallahu A’lam.

(Dikutip dari tulisan Al-ustadz Abu ‘Abdirrahman Luqman Jamal, judul asli “Koreksi Atas beberapa hadits yang tersebar di Bulan Ramadhan”. Url sumber : http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24&page_order=4, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24&page_order=5, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24&page_order=6)