You are currently viewing KAJIAN ILMU MUSTHOLAH HADITS (bag.IV)

KAJIAN ILMU MUSTHOLAH HADITS (bag.IV)

  • Post author:
  • Post category:Hadist

Kriteria Hadits Shahih (Bag ke-4)

Pada bagian yang pertama terdahulu telah disampaikan bahwa kriteria atau persyaratan hadits shahih ada 5, yaitu:

  1. Sanadnya bersambung.
  2. Para perawinya adil.
  3. Para perawinya kokoh dalam periwayatan (dhobth).
  4. Tidak syadz
  5. Tidak memiliki illat (penyakit/ cacat) yang tercela

Tulisan pada bagian ini akan membahas kriteria hadits shahih yang ke-4, yaitu: hadits tersebut tidak syadz. Berikut ini penjelasannya, semoga Allah Ta’ala memberikan taufiq dan pertolongan:

✅Tidak Syadz

Salah satu kriteria agar suatu hadits disebut sebagai hadits yang shahih dan bisa diterima adalah tidak syadz. Artinya, riwayat itu tidak menyelisihi riwayat lain yang perawinya lebih tsiqoh atau lebih banyak.

Al-Imam al-Baiquniy rahimahullah menyatakan tentang kriteria hadits shahih:

أَوَّلُهَا الصَّحِيحُ وَهْوَ مَا اتَّصَلْ … إسْنَادُهُ وَلَمْ يَشُذَّ أَوْ يُعَلْ

Yang pertama adalah shahih, yaitu yang bersambung…sanadnya dan tidak syadz atau mengandung illat (penyakit)(Mandzhumah al-Baiquniyyah)

Kita ambil contoh periwayatan dalam penyampaian berita pada kejadian sehari-hari. Seorang guru menyampaikan informasi pada murid-muridnya. Ada sepuluh siswa yang mendengar informasi langsung dari gurunya. Gurunya berharap, sepuluh siswa itu nanti meneruskan informasi itu kepada rekan-rekannya sesama siswa yang lain.

Kesepuluh siswa ini adalah tsiqoh. Informasi yang disampaikan oleh guru adalah: besok kita akan melakukan rihlah (perjalanan) ke pantai. Namun, satu siswa yang bernama Ahmad mengaku bahwa guru menyampaikan informasi bahwa besok kita akan melakukan rihlah (perjalanan) ke gunung. Informasi yang ditangkap dan disampaikan Ahmad itu berbeda dengan kesembilan rekannya yang lain. Informasi yang disampaikan oleh Ahmad itu lemah, meski Ahmad adalah perawi yang tsiqoh, karena periwayatannya dalam berita itu syadz, menyelisihi periwayatan dari para perawi lain yang lebih tsiqoh atau lebih banyak jumlahnya, yang juga tsiqoh.

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan:

إِنَّمَا الشَّاذُ مِنَ الْحَدِيْثِ : أَنْ يَرْوِيَ الثِّقَاتُ حَدِيْثاً ، فَيَشُذَّ عَنْهُمْ وَاحِدٌ ، فَيُخَالِفَهُمْ

Riwayat syadz dalam hadits adalah jika para perawi yang tsiqoh meriwayatkan hadits. Namun ada satu yang menyelisihi riwayat mereka (al-Kifaayah fii ilmir Riwaayah karya al-Khothib (1/141))

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaaniy berkata:

الشَّاذُ: مَا رَوَاهُ الْمَقْبُوْلُ مُخَالِفاً لِمَنْ هُوَ أَوْلَى مِنْهُ

Syadz adalah apa yang diriwayatkan oleh orang yang diterima periwayatannya namun menyelisihi periwayatan dari orang yang lebih utama dibandingkan dia (Nuzhatun Nadzhor fii taudhiih Nukhbatil Fikar (1/213))

✅Contoh Hadits Syadz

Berikut ini akan disebutkan sebuah contoh hadits syadz. Hadits itu tentang sholat Isya yang dilakukan oleh Nabi shollallahu alaihi wasallam.
Ada 4 jalur periwayatan. Tiga jalur periwayatan menjelaskan bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam sholat Isya menjelang tengah malam. Sedangkan 1 jalur periwayatan menjelaskan bahwa beliau melakukannya setelah lewat tengah malam. Satu jalur periwayatan ini syadz, sehingga lemah.

Hadits tersebut ada dalam musnad atThoyaalisi, sebagai berikut:

حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ ، قَالَ : حَدَّثَنَا قُرَّةُ ، عَنْ قَتَادَةَ ، عَنْ أَنَسٍ ، قَالَ : نَظَرْنَا النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِي الْعِشَاءِ حَتَّى مَضَى شَطْرُ اللَّيْلِ ، ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى بِنَا كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى وَبِيصِ خَاتِمِهِ مِنْ فِضَّةٍ فِي يَدِهِ

Telah menceritakan kepada kami Abu Dawud (atThoyaalisiy) ia berkata: telah menceritakan kepada kami Qurrah dari Qotadah dari Anas ia berkata: Kami melihat Nabi shollallahu alaihi wasallam di waktu Isya hingga telah berlalu setengah malam. Kemudian beliau keluar sholat bersama kami. Seakan-akan aku melihat pada kilauan cincin beliau yang terbuat dari perak pada tangan beliau (H.R Abu Dawud atThoyaalisiy dalam Musnadnya)

Sekalipun jalur riwayat ini para perawinya tsiqoh semua dan sanadnya bersambung, namun riwayat ini menyelisihi riwayat lain yang juga tsiqoh dengan sanad bersambung. Setidaknya ada 3 jalur periwayatan yang berbeda dengan 1 riwayat itu.

Riwayat pertama:

Jalur riwayat dari Said bin arRobi’ dari Qurrah dari Qotadah dari Anas bin Malik:

حَتَّى كَانَ قَرِيبٌ مِنْ نِصْفِ اللَّيْلِ

Hingga mendekati setengah malam (H.R Muslim)

Riwayat kedua:

Jalur riwayat dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas bin Malik:

إِلَى شَطْرِ اللَّيْلِ أَوْ كَادَ يَذْهَبُ شَطْرُ اللَّيْلِ

Menuju pertengahan malam atau hampir berlalu setengah malam (H.R Muslim)

Riwayat ketiga:

Jalur riwayat dari Kholid bin al-Harits dari Humaid dari Anas bin Malik:

إِلَى قَرِيبٍ مِنْ شَطْرِ اللَّيْلِ

Hingga mendekati pertengahan malam (H.R anNasaai dan Ibnu Majah)

Hal ini menunjukkan bahwasanya riwayat Abu Dawud atThoyaalisiy tersebut lemah karena syadz, menyelisihi setidaknya 3 jalur lain yang sanadnya shahih.
Perlu diketahui bahwasanya Abu Dawud atThoyaalisiy adalah Ulama yang berbeda dengan Abu Dawud as-Sijistaaniy penyusun Sunan Abi Dawud.

Dari pemaparan tersebut kita mengetahui bahwasanya untuk menilai suatu hadits itu shahih atau tidak, kita tidak bisa berpatokan pada satu jalur riwayat saja. Jangan terburu-buru menilai suatu hadits shahih, sampai terkumpul semua riwayat yang berkaitan dengan itu. Mungkin saja suatu jalur riwayat sanadnya shahih, namun periwayatan itu menyelisihi jalur lain yang lebih shahih sehingga hukumnya adalah hadits syadz, yang masuk kategori lemah. Karena itu, penilaian shahih tidaknya suatu hadits semestinya dilakukan oleh Ulama pakar hadits.

Terkait pelaksanaan sholat Isya, waktu terakhir adalah pada tengah malam. Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda:

وَوَقْتُ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الْأَوْسَطِ

Waktu sholat Isya hingga tengah malam (H.R Muslim)

Sebagai contoh, jika Maghrib adalah jam 18.00 WIB dan Subuh pada 04.00 WIB, maka rentang waktu malam adalah 10 jam. Jadi, waktu Isya berakhir pada 5 jam setelah Maghrib, yaitu jam 23.00 WIB.

Umar bin al-Khoththob radhiyallahu anhu pernah mengirim surat kepada Abu Musa al-Asy’ari untuk tidak lalai dari sholat Isya’ jangan sampai melakukannya hingga lewat tengah malam:

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَتَبَ إِلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ…وَأَنْ صَلِّ الْعِشَاءَ مَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ ثُلُثِ اللَّيْلِ فَإِنْ أَخَّرْتَ فَإِلَى شَطْرِ اللَّيْلِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِين

Bahwa Umar bin al-Khoththob menulis kepada Abu Musa al-Asy’ariy:…Sholatlah Isya’ pada sepertiga malam (pertama). Jika engkau mau mengakhirkan, silakan lakukan hingga pertengahan malam, jangan termasuk orang yang lalai (H.R Malik, Abdurrozzaq, al-Baihaqy, Syaikh al-Albaniy menyatakan sanad riwayat ini shahih dalam Tamaamul Minnah)

(dikutip dari naskah buku “Mudah Memahami Ilmu Mustholah Hadits (Syarh Mandzhumah al-Baiquniyyah), Abu Utsman Kharisman)