Jima’ Saat Puasa Ramadhan

  • Post author:
  • Post category:Fiqih

Datang seseorang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah binasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Apa yang membinasakanmu?” Orang itu menjawab: “Aku telah menggauli (berjima’-pen) istriku di siang Ramadhan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian menyatakan: “Mampukah engkau untuk memerdekakan budak?” Ia menjawab: “Tidak.” Kemudian kata beliau: “Mampukah engkau berpuasa selama dua bulan berturut-turut?” Ia menjawab: “Tidak.” Kemudian kata beliau: “Mampukah engkau memberi makan enampuluh orang miskin?” Ia menjawab: “Tidak.” Kemudian iapun duduk dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi satu wadah kurma (sebanyak enampuluh mudd-pen) dan beliau berkata: “Shadaqahkan ini.” Orang itu bertanya: “Kepada yang lebih fakir dari kami? Sungguh di kota Madinah ini tiada yang lebih membutuhkan kurma ini dari kami.” Mendengar itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa hingga terlihat gigi taringnya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Pulanglah dan berikan ini kepada keluargamu.”

Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam Kutubus Sittah selain An-Nasai (Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah) dari jalan Az-Zuhri Muhamad bin Muslim dari Humaid bin Abdurrahman dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu.

Dari Az-Zuhri diriwayatkan dari sembilan jalan:

1. Ibrahim bin Sa’d dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari jalan Musa bin Ismail (lihat Fathul Bari, 10/519) dan Ahmad bin Yunus (Al-Fath, 9/423).

2. Sufyan bin ‘Uyainah dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari jalan Ali bin Abdullah (Al-Fath, 11/604) dan Al-Qa’nabi (Al-Fath, 11/605), sementara Muslim dari jalan Yahya bin Yahya dan Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb dan Ibnu Numair (7/224), sementara Abu Dawud dari jalan Musaddad dan Muhamad bin ‘Isa (‘Aunul Ma’bud, 7/15), sementara At-Tirmidzi dari jalan Nasr bin ‘Ali dan Abu ‘Ammar Al-Husain bin Huraits dan beliau menyatakan: hasan shahih (Al-‘Aridhah, 3/198). Juga Ibnu Majah dari jalan Abu Bakr Ibnu Abi Syaibah (2/312).

3. Syu’aib bin Abi Hamzah dikeluarkan Al-Bukhari dari jalan Abul Yaman (Al-Fath, 4/193).

4. Manshur dikeluarkan Al-Bukhari dari jalan ‘Utsman dari Jarir (Al-Fath, 4/204), sementara Muslim dari jalan Ishaq bin Ibrahim dari Jarir (7/226).

5. Al-Laits dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari jalan Qutaibah (Al-Fath, 5/264), sementara Muslim dari jalan Yahya bin Yahya, Qutaibah dan Muhamad bin Rumh (7/226).

6. Ma’mar dikeluarkan Al-Bukhari dari jalan Muhamad bin Mahbub dari Abdul Wahid (11/604), sementara Muslim dari jalan ‘Abd bin Humaid dari Abdurrazzaq (7/227), sementara Abu Dawud dari jalan Al-Hasan bin ‘Ali dari Abdurrazzaq (‘Aunul Ma’bud, 7/16)

7. Al-Auza’i dikeluarkan Al-Bukhari dari jalan Muhamad bin Muqatil dari Abdullah (10/568).

8. Ibnu Juraij dikeluarkan Muslim dari jalan Muhamad bin Rafi’ dari Abdurrazzaq (7/227).

9. Malik dikeluarkan Abu Dawud dari jalan Al-Qa’nabi (‘Aunul Ma’bud, 7/18).

Hadits ‘Aisyah Ummul Mukminin radiyallahu ‘anha:

Hadits ‘Aisyah radiyallahu ‘anhuma semakna dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas dan dalam Kutubus Sittah selain An-Nasai, diriwayatkan dari jalan Muhammad bin Ja’far bin Az-Zubair dari ‘Abad bin Abdullah bin Az-Zubair dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha.

Dari Muhammad bin Ja’far bin Az-Zubair diriwayatkan dari dua jalan:

1. Abdurrahman bin Harits dikeluarkan oleh Abu Dawud dari jalan Muhamad bin Auf dari Sa’id bin Abi Maryam dari Abdurrahman bin Abi Zinad dari Abdurrahman bin Al-Harits.

(Al-‘Aun, 7/20).

2. Abdurrahman bin Qasim dan darinya diriwayatkan dari dua jalan:

1). ‘Amr bin Harits dikeluarkan Al-Bukhari secara mu’allaq dari Al-Laits (Al-Fath, 12/134) dan disebutkan secara maushul oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Taghliqut Ta’liq (5/237). Sementara Muslim dari jalan Abu Thahir bin Sarh dari Ibn Wahb (7/229), dan Abu Dawud dari jalan Sulaiman bin Dawud Al-Mahri dari Ibn Wahb (Al-‘Aun, 7/20)

2). Yahya bin Sa’id dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari jalan Abdullah bin Numair dari Yazid bin Harun (Al-Fath, 4/190), sementara Muslim dari jalan Muhammad bin Rumh dari Al-Laits (7/228) dan dari Muhammad bin Mutsanna dari Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi (7/228).

Fiqhul (kandungan) Hadits:

1. Orang yang disebut dalam riwayat di atas adalah Salamah bin Shakhr Al-Bayadhi, sebagaimana dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah, juga oleh Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid dan Ibnu Mulaqqin dalam Al-I’lam.

2. Hadits ‘Aisyah radiyallahu ‘anha di atas dikeluarkan Al-Bukhari dalam Shahih-nya pada bab:

Menurut Al-Hafidz, yang dimaksud adalah orang tersebut telah melakukan jima’ di siang hari pada bulan Ramadhan dengan sengaja dan ia tahu keharamannya sehingga ia wajib membayar kaffarah.

Al-Imam Al-Bukhari dalam bab yang sama juga membawakan riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan sighah tamridh:

Disebutkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:

“Barangsiapa yang berbuka di bulan Ramadhan tanpa sebab dan bukan karena sakit maka ia tidak bisa membayarnya dengan puasa selamanya kalaupun ia lakukan.”

Al-Hafidz berkata: “Riwayat di atas disebutkan secara maushul oleh Abu Dawud, An-Nasai, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dalam Sunan mereka dan dishahihkan Ibnu Hazm dari jalan Sufyan Ats-Tsauri dan Syu’bah, keduanya dari Habib bin Abi Tsabit dari ‘Ammarah bin Umair dari Abul Muthawwas dari ayahnya dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, mirip dengan riwayat di atas. Dalam riwayat Syu’bah dengan lafadz:

“… Tanpa rukhshah yang Allah berikan baginya maka ia tidak akan bisa membayarnya walaupun ia puasa sepanjang masa.”

3. Lafadz

åóáóßúÊõ

yang dimaksud adalah “Aku terjatuh pada dosa”, karena melakukan hal terlarang yang diharamkan ketika puasa yaitu jima’. Dalam riwayat Muslim dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha dengan lafadz

ÇÍúÊóÑóÞúÊõ

: “Aku telah terbakar”, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya: “Mengapa?” Jawabnya: “Karena aku menggauli istriku di siang hari bulan Ramadhan.”

4. Hadits ini menunjukkan wajibnya bertanya tentang hukum syariat dari yang dilakukan orang ketika menyelisihi syariat dan kekhawatiran dari dampak bahayanya dosa.

5. Juga menunjukkan bolehnya mengungkap maksiat bagi orang yang ingin membersihkan dirinya dari dosa dan akibat dosa itu.

6. Pelajaran adab agar seseorang menggunakan kata kiasan dalam hal-hal yang tidak pantas disampaikan seperti penggunaan kata muwaqa’ah atau ishabah sebagai isyarat dari jima’.

7. Hadits ini pula menunjukkan wajibnya membayar kaffarah bagi orang yang berjima’ dengan sengaja, dan ini merupakan madzhab seluruh ulama kecuali yang menyelisihinya dengan pernyataannya tidak wajib membayar kaffarah demikian. Diriwayatkan dari Asy-Sya’bi dan beberapa ulama lainnya, hal ini mereka kiaskan dengan shalat karena tidak ada kaffarah bagi yang merusaknya. Namun kias ini tidak berguna dengan adanya nash, selain juga karena perbedaan yang jelas dimana tidak ada jalan bagi harta untuk mengganti shalat. Berbeda dengan puasa, buktinya orang tua yang lemah dan lainnya yang tidak mampu puasa (menggantinya dengan harta, -red).

Mungkin mereka akan mengatakan, bila kaffarah itu memang wajib maka tidak akan gugur karena ketidakmampuan. Pernyataan inipun lemah karena justru gugurnya kewajiban membayar kaffarah menunjukkan bahwa kaffarah itu wajib, karena kalau tidak demikian (yaitu tidak wajib -red) tidak akan dinyatakan gugur hukumnya.

8. Jika seseorang melakukan jima’ di siang hari Ramadhan karena lupa, apakah puasanya batal sekaligus berkewajiban bayar kaffarah? Dalam masalah ini ada tiga pendapat para ulama dan yang benar adalah dalam madzhab Asy-Syafi’i bahwa puasanya tidak batal dan tidak wajib pula membayar kaffarah.

9. Susunan pembayaran kaffarah dalam hadits yaitu memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan enam puluh orang miskin. Susunan ini dilakukan secara berurutan dan tidak dengan pilihan secara bebas, demikian menurut pendapat mayoritas ulama.

10. Hadits ini juga menunjukkan bahwa jima’ antara suami istri hanya terkena satu kaffarah, dimana tidak disebutkan dalam riwayat di atas kewajiban kaffarah atas si istri. Demikian pendapat terbenar bagi Al-Imam Asy-Syafi’i juga madzhab Dawud dan madzhab Dzahiri. Sementara ulama lain membedakan antara istri yang dipaksa melakukan jima’ -baginya tidak berkewajiban bayar kaffarah- dengan istri yang melakukan jima’ dengan kesadaran -wajib membayar kaffarah-. Demikian madzhab Malik, Al-Imam Ahmad dan Hanafiyyah. Adapula di kalangan ulama yang menyamakan antara istri yang dipaksa maupun tidak tetap berkewajiban bayar kaffarah, yaitu Al-Imam Al-Auza’i.

11. Madzhab jumhur ulama menyebutkan bahwa puasa kaffarah ini dilakukan dua bulan dengan syarat berturut-turut.

12. Sabda Rasulullah n:

“Pergi dan berikan ini pada keluargamu”

Artinya yang paling benar menurut Ibnul ‘Arabi, Al-Baghawi, Ibnu Abdil Bar dan Ibnu Daqiqil ‘Ied adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan shadaqah itu kepada orang tersebut untuk dibagikan kepada keluarganya karena kefakirannya, sementara kewajiban kaffarah tetap dalam tanggungannya dan harus ia bayar ketika mampu. Ini adalah madzhab Malik bin Anas.

Oleh sebab itu Al-Bukhari memberi judul bab:

Jika berjima’ dan tidak memiliki sesuatu kemudian mendapat shadaqah maka hendaknya ia membayar kaffarah.

Kata Al-Hafidz, ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan seseorang tidaklah menggugurkan kewajiban membayar kaffarah, namun hal itu tetap menjadi tanggungannya.(Al-Fath, 4/204)

13. Hadits di atas juga mengajarkan berlemah lembut pada orang yang belajar dan memberi pengajaran dengan cara lunak. Juga mengambil simpati orang dalam agama.

14. Hadits itu juga mengajarkan penyesalan dari perbuatan maksiat dan merasa takut dari akibat buruknya.

15. Bolehnya duduk di masjid untuk selain shalat tapi untuk kemaslahatan lainnya seperti belajar dan mengajar.

16. Bolehnya tertawa ketika ada sebabnya.

17. Diterimanya berita dari seseorang berkaitan dengan hal pribadinya yang tidak diketahui kecuali dari dirinya.

18. Ta’awun dalam ibadah dan membantu seorang muslim dalam hajatnya.

19. Orang yang mudhthar (sangat butuh pada apa yang ia miliki) tidak berkewajiban untuk memberikan itu atau sebagiannya pada orang mudhthar lainnya.

20. Jumhur ulama berpendapat wajibnya membayar puasa (meng-qodho) bagi yang merusak puasanya dengan jima’ dengan alasan puasa yang diwajibkan kepadanya belum ia laksanakan (karena batal disebabkan jima’), maka (puasa itu masih) menjadi tanggungannya. Sama dengan shalat dan lainnya ketika belum ia lakukan dengan syarat-syaratnya.

Walaupun sebagian ulama menyatakan tidak wajib lagi puasa atasnya karena telah tertutupi dengan kaffarah. Juga karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam dan tidak memerintahkan puasa kepadanya.

Ada pula yang menyatakan bila dia tunaikan kaffarah dengan puasa maka telah terbayar hutang puasanya. Tetapi bila tidak, maka tetap harus dia bayar karena jenis amalannya berbeda, demikian pendapat Al-Auza’i.

Termasuk yang menguatkan pendapat yang mewajibkan membayar puasa bersama dengan kaffarah adalah lafadz

: “Dan puasalah sehari sebagai gantinya.” Dari riwayat Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, juga tersebut pada hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari jalan Abu Uwais, Abdul Jabbar dan Hisyam bin Sa’d, semuanya dari Az-Zuhri, juga dalam mursal Sa’id bin Musayyib, Nafi bin Jubair, Hasan dan Muhamad bin Ka’b. Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar, dari keseluruhan jalan di atas diketahui bahwa tambahan perintah untuk bayar puasa memiliki asal (ada benarnya) (Al-Fath: 4/204)

21. Hadits dan atsar ini menurut Ibnu Hajar sengaja dibawakan oleh Al-Imam Al-Bukhari untuk menunjukkan bahwa kewajiban membayar kaffarah diperselisihkan oleh salaf, dan bahwa yang membatalkan puasa dengan jima’ maka wajib membayar kaffarah, sementara hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau mengisyaratkan kelemahannya dengan sighah tamridh (bentuk pasif). Kalaupun shahih, maka isinya menguatkan pendapat yang tidak mewajibkan qadha (membayar puasa) bagi yang membatalkan puasanya dengan makan, tetapi tetap hal itu menjadi tanggungannya sebagai tambahan balasan baginya. Hal ini karena dengan diqadha berarti terhapus dosa darinya, namun bukan berarti dengan tidak bisa diqadha berarti gugur pula kewajiban membayar kaffarah pada sebab yang disebutkan yaitu jima’, dan pembatalan karena jima’ berbeda jelas dengan pembatalan karena makan.

22. Hadits ini juga menunjukkan bahwa orang yang menyampaikan udzur yang dengannya gugur suatu hukum darinya atau berhak dengannya mengambil sesuatu, maka keterangannya diterima dan tidak dibebani untuk mendatangkan bukti, karena orang ini mengaku bahwa dirinya fakir dan mengaku telah merusak puasanya.

23. Hadits ini ditulis sebagai sebuah karya secara tersendiri tentang penjelasan dan keterangannya oleh Al-Imam Abdurrahim bin Hussain Al-‘Iraqi, dimana beliau membahas dan meng-istimbath tentang 1001 masalah dalam satu hadits ini. Dan ini cukup sebagai bantahan terhadap ahlul bid’ah yang menyatakan bahwa ulama hadits hanya tersibukkan dengan periwayatan, pembicaraan tentang sanad, al-jarh wat-ta’dil dan sejenisnya, dan tidak mengerti tentang fiqh hadits.

Sumber Bacaan:

1. Al-I’lam bi Fawa ‘id ‘Umdatil Ahkam, Ibnul Mulaqqin

2. Tuhfatul Ahwadzi, Muhammad bin Abdurrahman Al-Mubarakfury

3. Sunan Ibnu Majah

4. ‘Aridhotul Ahwadzi, Ibnul ‘Arabi Al-Maliki

5. ‘Aunul Ma’bud, Muhammad Syamsul Haq Al-Adzimi Abadi

6. Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-’Asqalani

7. Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi

(Dikutip dari tulisan al Ustadz Usamah Mahri, Lc, judul asli Jima’ Saat Puasa Ramadhan. URL Sumber http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=299)