You are currently viewing hukum menguji dan menilai seseorang dengan seorang ulama’, atau dengan seorang tokoh kebid’ahan

hukum menguji dan menilai seseorang dengan seorang ulama’, atau dengan seorang tokoh kebid’ahan

asy-Syaikh al-Allamah Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah ditanya:

Apa hukum menguji dan menilai seseorang dengan seorang ulama’, atau dengan seorang tokoh kebid’ahan?

Apakah hal itu dapat diterapkan pada zaman ini?

Berilah faedah kepada kami semoga Allah membalas anda dengan kebaikan.

 ✒ Jawab:

Tidak diragukan lagi wahai saudaraku, sesungguhnya salaf dahulu menguji dan menilai manusia dengan ulama’ yang dikenal dengan kekokohan di atas sunnah dan keselamatan akidah dan manhaj, dikenal dengan sikap tegas terhadap pengusung hawa nafsu dan kebid’ahan.

Telah didapati belasan nash dari salaf, pada setiap nash terdapat contoh yang menjelaskan tentang menguji dan menilai manusia dengan ahlus sunnah,

Barang siapa yang mengakui keutamaan mereka dan mencintai mereka serta menyebutkan kebaikan mereka maka berarti dia adalah pengikut sunnah. Sebaliknya, barang siapa yang mencela mereka dan menodai kehormatan mereka maka dia adalah penganut kejelekan dan bid’ah.

Berikut sedikit contoh dari nash para salaf yang banyak jumlahnya:

al-Imam al-Barbahari rahimahullah berkata :”Jika kamu melihat seseorang mencintai Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan Usaid bin Hudair maka ketahuilah bahwa dia adalah pengikut sunnah insya Allah”.

Beliau juga berkata: “Jika engkau melihat seseorang mencintai Ayyub, Ibnu ‘Aun, Ibnu Idris al-Audi, asy-Sya’bi dan -beliau menyebutkan sederetan orang-orang mulia lainnya – kemudian beliau berkata: -maka ketahuilah bahwa dia adalah pengikut sunnah”.

Sebagaimana ucapan beliau pula: “jika engkau melihat seseorang mencintai Ahmad bin Hanbal, al-Hajjaj bin Minhal dan Ahmad bin Nashr serta menyebutkan kebaikan mereka dan berpendapat dengan pendapat mereka maka ketahuilah bahwa dia adalah pengikut sunnah”. Selesai.

 (syarhus sunnah: 117 – 118)

Dalam pertanyaan kamu katakan :

Apakah hal ini dapat diterapkan pada orang-orang di zaman kita ini?

Jawabannya adalah: Ya. Manusia diuji dan dinilai pada setiap zaman dan setiap tempat dengan ahlus sunnah dari sisi aqidah dan syari’ah, yaitu orang-orang yang menyibukkan diri dengan menjaga sunnah, memahami makna nash-nashnya, beramal dengannya dan membelanya.

Dan menguji dan menilai manusia dengan ahlus sunnah tidak terbatas pada orang tertentu atau beberapa orang tertentu, bahkan manusia diuji dengan pengikut sunnah di setiap zaman dan setiap tempat sebagaimana yang kalian sebutkan.

 Demikian pula manusia diuji dan dinilai dengan ahlul bid’ah yang aktif mengajak kepada bid’ahnya

☑ Dari Uqbah bin Alqomah beliau berkata: “dahulu aku berada di sisi Artho’ah bin al-Mundzir, berkata sebagian orang yang duduk di majlis tersebut: “apa pendapatmu tentang orang yang duduk bersama ahlus sunnah dan berbaur dengan mereka, akan tetapi jika disebutkan kejelekan ahlul bid’ah dia berkata: biarkan kami dari menyebutkan mereka, jangan kalian menyebutkan kejelekan mereka!”

Berkata Artho’ah: dia termasuk dari golongan mereka (ahlul bidah), jangan sampai dia menyamarkan atas kalian jati dirinya, dia berkata (Uqbah bin Alqomah): aku mengingkari hal itu dari ucapan Artho’ah, dia berkata ( Uqbah): akupun mendatangi al-Auza’i dan dia adalah seorang yang mampu menyingkap hakekat permasalahan ini jika sampai kepadanya, maka dia berkata: telah benar Artho’ah, dan yang benar adalah apa yang dia ucapkan.

…………..

Tarikh Dimasq (VIII/15)

 Dan berkata al-Auza’i rahimahullah: “barang siapa yang tersembunyi atas kita kebid’ahanya maka tidak akan tersembunyi  kedekatanya (pertemanan dan pergaulannya) “.

al-Ibanah karya Ibnu baththoh: II/479

 Berkata al-‘Ukbari -Ibnu Baththoh-: ketika Sufyan ats-Tsauri datang ke bashroh dia meneliti tentang jati diri ar-Robi’ -Ibnu Shubaih- dan kedudukannya di mata masyarakat, dia bertanya apa madzhabnya? Mereka menjawab madzhabnya tidak lain kecuali sunnah, kemudian bertanya lagi: siapa orang dekatnya?  mereka menjawab: pengingkar taqdir. beliau berkata: berarti dia juga pengingkar taqdir”. Selesai.

 Sumber: al-Ajwibah al-Atsariyah ‘anil masa’il al-Manhajiah halaman 27-29

—————————-

 WA Miratsul Anbiya Indonesia