Faedah – Faedah Fiqhiyah Dari Kitab ‘Umdatul Ahkam

Faedah – Faedah Fiqhiyah Dari Kitab ‘Umdatul Ahkam

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

HADITS KEENAM

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ : « إذَا شَرِبَ الْكَلْبُ فِي إنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعاً».
وَلِمُسْلِمٍ : « أُولاهُنَّ بِالتُّرَابِ ».
وَلَهُ فِي حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ : « إذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي الإِناءِ فَاغْسِلُوهُ سَبْعاً وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَةَ بِالتُّرَابِ ».

“Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila seekor anjing minum pada bejana salah seorang dari kalian, maka hendaklah dia mencucinya tujuh kali.” [HR. Al Bukhary dan Muslim]

Dalam riwayat muslim: “yang pertama dengan tanah.”

Diriwayatkan oleh Al Imam Muslim dari Abdullah bin Mughaffal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila seekor anjing menjilat pada suatu bejana, maka kalian cucilah ia tujuh kali, dan gosoklah dengan tanah pada pencucian yang kedelapan.”

✏ Faedah yang terdapat dalam Hadits:
1. Anjing yang dimaksud dalam hadits diatas mencakup semua jenis anjing, dengan dalil keumuman hadits tersebut. Huruf (ال) alif dan lam pada kalimat (الكلب) memberikan faedah umum. Ini adalah pendapat jumhur ulama dan dipilih oleh Syaikh Al ‘Utsaimin dan Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeny.

2. Hukum tubuh atau bulu anjing dan air liurnya:
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi tiga pendapat:
Pendapat pertama: Air liur anjng najis, adapun tubuhnya suci. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya, dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Diantara dalil mereka:
▪Hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَنْ
« طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ »

“Sucinya bejana kalian apabila ia dijilat oleh anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali, yang pertama dengan tanah.” [HR. Muslim]

Mereka berkata: Kalimat (طَهُورُ) pada hakikatnya tidaklah dipakai dalam syari’at melainkan yang diinginkan darinya bermakna mengangkat hadats atau najis.

Berkata Ibnu Hajar: “Apabila ada lafadz syar’i yang berputar padanya makna secara bahasa dan hakikat syar’i, maka wajib dibawa ke hakikat syar’i, kecuali jika ada dalil lain (yang membawa kepada makna secara bahasa).

▪Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mencuci sebanyak tujuh kali. Perintah mencuci dari hal tersebut menunjukan kenajisannya. Berkata Syaikh Al ‘Utsaimin: “Kenajisannya lebih berat daripada najis-najis lainnya. Sesungguhnya najis anjing tidak bisa suci kecuali dengan tujuh kali basuhan, salah satunya dengan tanah.”

▪Berkata Ibnu Hajar: “Telah datang dari Ibnu ‘Abbas, menjelaskan bahwa (perintah) mencuci dari air liur anjing dikarenakan dia najis. Atsar ini diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr Al Marwazy dengan sanad yang shahih, dan tidak ada satupun dari para shahabat yang menyelisihinya.” [Fathul Bari no hadits 172]

Pendapat Kedua: Air liur anjing dan tubuhnya najis, ini adalah pendapat jumhur ulama. Mereka mengkiyaskan tubuh anjing dengan air liurnya. Karena air liur bagian dari anggota tubuh, sehingga jika dia najis maka tubuhnya pun ikut najis.

Namun pendalilan ini dijawab oleh Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa [21/618]: “Adapun pengkiyasan bulu anjing kedalam hukum air liurnya, maka hal ini tidaklah mungkin. Karena air liur keluar dari dalam tubuh anjing, sedangkan bulu tumbuh dari bagian luar tubuhnya.”

Diantara syarat dalam pengkiyasan; sesuatu yang dikiyaskan serupa sifatnya dengan yang dikiyaskan. Bulu tumbuh dari bagian luar tubuh, sedangkan air liur dari dalam tubuh, demikian pula bulu adalah benda padat, sedangkan air liur benda cair. Maka dari dua perbedaan sifat ini tidak mungkin bisa dikiyaskan, Wallahu a’lam.

Pendapat Ketiga: Air liur anjing, bulunya dan seluruh bagian tubuhnya suci. Ini adalah pendapat Imam Malik, Dawud, Az Zuhry, Ats Tsaury, Ibnul Mundzir, Ibnu Abdul Bar, dan Imam Al Bukhary. Dalil-dalil mereka:
Hadits Abu Hurairah,

عَنْ
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنْ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِي كَانَ بَلَغَ بِي فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ

“Pada suatu ketika ada seorang laki-laki sedang berjalan melalui suatu jalan, lalu dia merasa sangat kehausan. Kebetulan dia menemukan sebuah sumur, maka dia turun ke sumur itu untuk minum. Setelah keluar dari sumur, dia melihat seekor anjing menjulurkan lidahnya menjilat-jilat tanah karena kehausan. Orang itu berkata dalam hatinya; ‘Alangkah hausnya anjing itu, seperti yang baru ku alami.’ Lalu dia turun kembali ke sumur, kemudian dia menciduk air dengan sepatunya, dibawanya ke atas dan diminumkannya kepada anjing itu. Maka Allah berterima kasih kepada orang itu (diterima-Nya amalnya) dan diampuni-Nya dosanya.” [Muttafqun ‘Alaihi]