BANTAHAN TERHADAP ARTIKEL BERJUDUL: “INILAH SEJARAH YANG BENAR TENTANG AWAL PERAYAAN MAULID NABI” (bag.1)

BANTAHAN TERHADAP ARTIKEL BERJUDUL: “INILAH SEJARAH YANG BENAR TENTANG AWAL PERAYAAN MAULID NABI” (bag.1)

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Di tulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

Pendahuluan
Para Ulama telah sepakat bahwa peringatan Maulid Nabi shollallahu alaihi wasallam tidak pernah dilakukan di masa Nabi, para Sahabat, Tabi’in, maupun Atbaaut Tabi’in.
Berikut ini akan disebutkan nukilan ucapan Ulama Syafiiyyah yang menunjukkan hal itu:
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaaniy rahimahullah menyatakan:

أصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن أحد من السلف الصالح من القرون الثلاثة…

Asal perbuatan (memperingati) Maulid (Nabi) adalah bid’ah yang tidak pernah ternukil dari Salafus Sholih seorangpun dari 3 kurun generasi (awal)…(al-Haawiy lil Fataawa lis-suyuuthiy (1/282)).
Al-Imam as-Sakhowiy rahimahullah menyatakan:

أصل عمل المولد الشريف لم ينقل عن أحد من السلف الصالح في القرون الثلاثة الفاضلة، وإنما حدث بعدها بالمقاصد الحسنة…

Asal perbuatan (memperingati) Maulid yang mulia tidaklah ternukil dari Salafus Sholih seorangpun pada 3 kurun generasi yang utama. (Peringatan Maulid itu) hanyalah dilaksanakan setelah (3 kurun itu) dengan tujuan yang baik … (al-Maulidur Rowiy fil Maulidin Nabawiy karya Mula Ali Qoriy halaman 12)

Kami kutipkan di sini sesuai substansi pembahasan inti bahwa kedua Ulama Syafiiyyah itu sepakat bahwa peringatan Maulid Nabi tidak pernah dilaksanakan pada 3 generasi terbaik (Sahabat Nabi, Tabi’in, dan Atbaut Tabi’in). Generasi Atbaut Tabi’in adalah hingga tahun 220 Hijriyah. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaany rahimahullah menyatakan:

واتفقوا على أن آخر من كان من أتباع التابعين ممن يقبل قوله من عاش إلى حدود العشرين ومئتين

Para Ulama sepakat bahwa akhir Atbaaut Tabiin yang bisa diterima ucapannya adalah yang masa kehidupannya hingga batasan tahun 220 (Hiriyah)(Fathul Baari karya Ibnu Hajar al-Asqolaany (7/6)).

Sebagian Ahli sejarah menyatakan bahwa Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam meninggal di tahun 11 Hijriyah. Sebagian lagi menyatakan: 12 Hijriyah. Anggaplah kita ambil tahun 12 Hijriyah, berarti selama 208 tahun tidak pernah ada dan tidak pernah terpikir oleh 3 generasi terbaik umat ini untuk mengadakan peringatan Maulid Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam. Benar, tidak pernah terpikir oleh mereka, padahal berbagai kejadian dan pertempuran-pertempuran (jihad) banyak terjadi di masa itu, tapi tidak pernah ada yang berinisiatif untuk memperingati hari kelahiran Nabi dengan alasan membangkitkan kembali semangat juang kaum muslimin. Padahal mereka adalah orang-orang yang kecintaannya kepada Nabi melebihi kecintaan orang-orang setelahnya.

Pada kesempatan ini, sekedar kita ingat kembali keutamaan 3 generasi tersebut, untuk menyadarkan kita bahwa seharusnya mereka menjadi patokan dan teladan kita dalam beragama:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ

Sebaik-baik manusia adalah generasiku (Nabi dan para Sahabatnya) kemudian yang setelahnya (tabiin) kemudian yang setelahnya (Atbaut Tabiin) kemudian akan datang suatu kaum yang persaksiannya mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya (orang-orang yang banyak berdusta dan tidak bisa dipercaya) (H.R al-Bukhari dan Muslim)

لاَ تَزَالُونَ بِخَيْرٍ مَا دَامَ فِيكُمْ مَنْ رَآنِي وَصَاحَبَنِي , وَاللهِ لاَ تَزَالُونَ بِخَيْرٍ , مَا دَامَ فِيكُمْ مَنْ رَأَى مَنْ رَآنِي , وَصَاحَبَ مَنْ صَاحَبَنِي , وَاللهِ لاَ تَزَالُونَ بِخَيْرٍ , مَا دَامَ فِيكُمْ مَنْ رَأَى مَنْ رَأَى مَنْ رَآنِي , وَصَاحَبَ مَنْ صَاحَبَ مَنْ صَاحَبَنِي

Kalian senantiasa dalam kebaikan selama di antara kalian ada orang yang melihatku dan menjadi sahabatku (Sahabat Nabi). Demi Allah kalian senantiasa dalam kebaikan selama di antara kalian ada orang yang melihat orang yang melihatku dan menjadi Sahabat dari Sahabatku (Tabi’in). Demi Allah, kalian senantiasa dalam kebaikan selama di antara kalian ada orang yang melihat orang yang melihat orang yang melihatku dan menjadi Sahabat dari Sahabat para Sahabatku (Atbaaut Tabi’in) (H.R Ibnu Abi Syaibah dan al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan sanadnya hasan dalam Fathul Bari).

Setiap perbuatan kebaikan terkait ibadah yang sangat memungkinkan dilakukan di masa para Sahabat Nabi ridhwaanullahi ‘alaihim ‘ajmaiin namun itu tidak dilakukan –bahkan tidak terpikirkan oleh mereka untuk mengerjakannya-, maka sesungguhnya itu bukanlah bagian dari Dienul Islam ini.

Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman :

…لَوْ كَانَ خَيْرًا مَا سَبَقُونَا إِلَيْهِ…

…Kalau seandainya itu adalah kebaikan, niscaya mereka tidak akan mendahului kita dalam hal itu…(Q.S al-Ahqoof ayat 11)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan dalam tafsirnya:

وأما أهل السنة والجماعة فيقولون في كل فعل وقول لم يثبت عن الصحابة: هو بدعة؛ لأنه لو كان خيرا لسبقونا إليه، لأنهم لم يتركوا خصلة من خصال الخير إلا وقد بادروا إليها

Adapun Ahlussunnah wal Jama’ah mereka mengatakan pada setiap perbuatan dan ucapan yang tidak ada dari para Sahabat Nabi, maka itu adalah bid’ah. Karena jika hal itu (ucapan atau perbuatan itu) baik, niscaya mereka (para Sahabat Nabi) akan mendahului kita dalam hal itu. Karena mereka (para Sahabat Nabi) tidaklah meninggalkan satu saja perilaku kebaikan kecuali mereka adalah yang terdepan dalam mengerjakannya (Tafsir Ibn Katsir dalam menafsirkan surat al-Ahqoof ayat 11).

Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:

>…وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ…

…dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan…(Q.S al-An’aam ayat 153)
Mujahid rahimahullah (seorang Tabi’i) menafsirkan makna “jalan-jalan” itu adalah kebid’ahan dan syubuhat (lihat Tafsir atThobariy). Sehingga makna ayat itu adalah Allah melarang kita mengikuti jalan kebid’ahan dan syubuhat. Perlu diingat bahwa penafsiran dari Mujahid sering dijadikan acuan oleh al-Imam asy-Syafi’i, Ahmad, bahkan al-Bukhari dalam Shahihnya.

Sahabat Nabi Hudzaifah bin al-Yaman –semoga Allah meridlainya- berkata:

كُلُّ عِبَادَةٍ لَمْ يَتَعَبَّدْ بِهَا أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فلاَ تَتَعَبَّدُوْا بِهَا ؛ فَإِنَّ الأَوَّلَ لَمْ يَدَعْ لِلآخِرِ مَقَالاً ؛ فَاتَّقُوا اللهَ يَا مَعْشَرَ القُرَّاءِ ، خُذُوْا طَرِيْقَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ

“Setiap ibadah yang tidak pernah diamalkan oleh para Sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, janganlah kalian beribadah dengannya. Karena generasi pertama tak menyisakan peluang berbicara (dalam Dien) bagi orang yang belakangan. Maka bertakwalah kalian kepada Allah wahai para pembaca al-Qur’an (orang-orang alim dan yang suka beribadah) dan ikutilah jalan orang-orang sebelummu” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al Ibanah).

Umar bin Abdil Aziz rahimahullah menyatakan:

أوصيك بتقوى الله , والإقتصاد في أمره , واتباع سنة رسوله وترك ما أحدث المحدثون بعده مما قد جرت سنته وكفوا مؤونته. واعلم أنه لم يبتدع إنسان قط بدعة إلا قد مضى قبلها ما هو دليل عليها وعبرة فيها. فعليك بلزوم السنة, فإنها لك بإذن الله عصمة. واعلم أن من سن سنة قد علم ما في خلافها من الخطأ والزلل والتعمق والحمق. فإن السابقين الماضين على علم توقفوا. وببصر ناقد كفوا

Aku wasiatkan kepadamu untuk bertaqwa kepada Allah, sederhana dalam menjalankan perintahNya, mengikuti Sunnah RasulNya dan meninggalkan hal-hal yang diada-adakan oleh orang-orang setelahnya. Padahal telah berjalan Sunnah beliau dan mereka telah tercukupi kebutuhannya. Ketahuilah, bahwa tidaklah seseorang melakukan suatu kebid’ahan apapun kecuali telah berlalu sebelumnya (Sunnah) yang menjadi dalil yang menentangnya dan ibroh (pelajaran) di dalamnya. Wajib bagimu berpegangteguh dengan Sunnah. Karena (Sunnah) itu dengan idzin Allah adalah sebagai penjagaan. Ketahuilah bahwa barangsiapa yang mencontohkan suatu Sunnah, ia telah mengetahui bahwa yang menyelisihi Sunnah itu adalah kesalahan, ketergelinciran, terlalu masuk (dalam hal yang tidak perlu, pent), dan kebodohan. Karena (para Sahabat Nabi) terdahulu, mereka berhenti di atas ilmu dan menahan diri (untuk tidak berbuat sesuatu) berdasarkan pandangan yang tajam (riwayat Ibnul Jauziy dalam kitab Siiroh wa Manaaqib Umar bin Abdil Aziz al-Kholifah az-Zaahid halaman 84)

Sesungguhnya menjelaskan al-haq dan memerangi kebid’ahan adalah jihad dan bagian dari keimanan. Kebid’ahan adalah mengerjakan (ibadah) yang tidak diperintahkan. Berjihad memerangi kebid’ahan sesuai kemampuan adalah bagian keimanan. Minimal, jika tidak mampu dengan tangan atau lisan, kita membencinya dalam hati. Itu adalah selemah-lemahnya iman. Inilah yang diwasiatkan oleh teladan kita yang mulya Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam dalam haditsnya:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ

Dari Abdullah bin Mas’ud –semoga Allah meridhainya- bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Tidaklah ada seorang Nabipun yang Allah utus kepada umatnya sebelumku kecuali dari umatnya ada Hawawiyyun (para penolong) dan Sahabat-Sahabat (Nabi tersebut) yang mengambil (ajaran) Sunnahnya dan mengikuti perintahnya. Kemudian akan datang setelahnya generasi yang mengucapkan hal yang tidak diperbuat dan mengerjakan hal yang tidak diperintahkan (mengerjakan bid’ah, pent). Barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya maka ia adalah orang yang beriman. Barangsiapa yang berjihad dengan lisannya maka ia adalah orang yang beriman. Barangsiapa yang berjihad dengan hatinya maka itu adalah orang yang beriman. Tidak ada keimanan lagi (yang sempurna) di belakang itu meski sebesar biji sawi (H.R Muslim dalam Kitabul Iman Bab ke-20 hadits no 80)

Jika kita tidak mampu untuk mengingkari kebid’ahan dengan lisan dan tulisan kita. Minimal kita membencinya dalam hati. Jangan justru menjadi pembela dan pendukungnya. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala senantiasa memberikan taufiq kepada kaum muslimin..