عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْحَارِثِ بْنِ رِبْعِيٍّ الْأَنْصَارِيِّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «لَا يُمْسِكَنَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ وَهُوَ يَبُولُ وَلَا يَتَمَسَّحْ مِنْ الْخَلَاءِ بِيَمِينِهِ وَلَا يَتَنَفَّسْ فِي الْإِنَاءِ»
“Dari Abu Qatadah Al Harits bin Rib’iy Al Anshari_radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian memegang kelaminnya dengan tangan kanan pada waktu kencing. Janganlah mengusap dengan tangan kanan saat buang hajat, dan jangan bernafas di dalam bejana.” [HR. Al Bukhari – Muslim]
Faedah yang terdapat dalam Hadits:
1. Dilarang memegang kemaluan dengan tangan kanan pada waktu kencing dan demikian pula beristinja’ dengan tangan kanan. Dalil yang lain yang menunjukan larangan ini adalah hadits Salman_radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang beristinja’ dengan tangan kanan. [HR. Muslim]
Masalah: Apakah larangan tersebut bersifat haram atau makruh?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini dalam dua pendapat;
Pendapat pertama; mengatakan haram, ini adalah pendapat Zhahiriyah dan sebagian ulama syafi’iyah dan ulama hanabilah. Dalil mereka adalah hadits Abu Qotadah dan hadits Salman diatas, yang mana dua hadits tersebut zhahirnya menunjukan keharamannya. Hukum asal sebuah larangan dalam Al Quran dan sunnah adalah bersifat haram, sampai ada dalil yang memalingkan kepada hukum makruh. Berkata Ibnu Daqiqil ‘Ied: Zhahir larangan pada hadits tersebut adalah haram.
Pendapat kedua; mengatakan makruh, ini adalah pendapat jumhur ulama. Mereka berkata: “larangan ini hanya dalam rangka adab saja, yaitu adab yang dituntunkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Pendapat yang kuat dan terpilih adalah pendapat pertama, yaitu haram bagi seseorang pada waktu kencing memegang kemaluannya dengan tangan kanan, demikian pula disaat beristinja’, karena tidak ada dalil yang memalingkan kepada hukum makruh. Pendapat ini dipilih Ash Shan’ani dan Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeni.
Masalah: Apabila beristinja’ dengan tangan kanan, apakah sah atau tidak?
Madzhab Zhahiriyah dan sebagian ulama hanabilah berpendapat tidak sah. Namun pendapat yang benar adalah tetap sah, karena tidak ada dalil yang menyatakan bahwa hal tersebut tidak sah, hanya saja dia berdosa atas perbuatannya tersebut. Ini adalah pendapat yang dipilih Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeni.
Peringatan:
Apabila terpaksa dia menggunakan tangan kanannya untuk beristinja’ karena suatu udzur (alasan) syar’i, seperti tangan kirinya buntung atau ada luka padanya, maka tidak mengapa dia beristinja’ dengan tangan kanan. Allah Ta’ala berfirman:
{وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ}
“Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” [QS. Al An’am: 119]
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” [QS. Ath Thaghabun: 16]
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” [QS. Al Baqarah: 286]
Dalam hadits Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ، فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ»
“Apa yang aku larang kalian dari sesuatu maka jauhilah, dan apa yang aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian.” [HR. Al Bukhari – Muslim]
2. Menghindari segala sesuatu yang kotor atau najis dengan tangan. Karena tangan kanan digunakan untuk sesuatu yang bersih dan mulya, seperti makan, minum, berjabat tangan, memberi, memerima dan yang lainnya.
3. Berkata Ash Shan’ani_rahimahullah: Larangan bernafas didalam bejana (air minum) agar tidak membuat jijik orang lain, atau akan jatuh dari mulutnya atau hidungnya sesuatu yang mengotorinya. Zhahir hadits mengandung keharaman. Sedangkan jumhur membawa larangan ini dalam bab adab (makruh). [Subulus Salam: 1/123]
Petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika minum adalah bernafas diluar bejana (air minum), sebagaimana yang ditunjukan dalam hadits Anas_radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
«أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَنَفَّسُ فِي الْإِنَاءِ ثَلَاثًا»
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bernafas (ketika minum) di bejana sebanyak tiga kali.” [HR. Al Bukhari-Muslim]
Diterangkan oleh jumhur ulama, bahwa yang dimaksud adalah bernafas diluar bejana, bukan didalamnya, karena hal ini dilarang.
4. Tinggi dan mulyanya syariat Islam, yang mana memerintahkan segala sesuatu yang bermanfaat dan memperingatkan dari segala sesuatu yang bermadharat.
{الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا}
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” [QS. Al Maidah: 3]
{وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ}
“Dan (Allah) menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” [QS. Al A’raf: 157]
Wallahu a’lam wal muwaffiq ila ash shawab.
[ ditulis oleh Abu ‘Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy_20 Shafar 1435/23 Des. 2013_di Daarul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah
WhatsAap Salafiyyin Jogja