Apabila orang memperhatikan ayat-ayat Alqur’an yang berbicara tentang khalifah syar’i, tentu ia akan mengetahui bahwa Allah (Subhanahu wa Ta’ala) tidak pernah menyebutkan seorang khalifah tanpa menyebutkan sifat-sifatnya sebagai orang yang menguasai berbagai ilmu syari’ah.
Misalnya, Adam ‘alaihis salam yang merupakan politikus (pengatur kepentingan manusia) yang pertama sebagai orang yang dilebihkan dari malaikat karena ilmunya, sehingga dia berhak menjadi khalifah.
Sekalipun ahli tafsir berbeda pendapat tentang pengertian kata khalifah yang terdapat pada awal surat Al-Baqarah, tetapi semuanya sepakat adanya pengertian sulthan (kekuasaan) pada kata tersebut. Pengertian inilah yang dimaksud oleh Ibnu Taimiyah dalam kalimatnya: “Tentang khilafah dan Sulthan, dan fungsinya sebagai naungan Allah (Subhanahu wa Ta’ala) di muka bumi.
Allah (Subhanahu wa Ta’ala) berfirman (yang artinya):
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman (yang artinya) kepada malaikat: Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang khalifah di muka bumi.”(Qs. Al-Baqarah:30)
Allah (Subhanahu wa Ta’ala) juga berfirman (yang artinya):
“Wahai Daud, sesungguhnya kami jadikan engkau sebagai seorang khalifah di muka bumi; oleh karena itu lakukanlah hukum yang benar diantara manusia, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu supaya kamu tidak tersesat dari jalan Allah (Subhanahu wa Ta’ala).” (Qs. Shad:26)
Tentang firman-Nya (yang artinya) “Sesungguhnya Kuciptakan khalifah di muka bumi, kata “khalifah” di sini tidak hanya menyangkut Adam, tetapi juga mencakup seluruh anak keturunannya. Akan tetapi, istilah khalifah di sini secara langsung menyangkut Adam, sama halnya dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (Qs. At-Tiin:4)
Imam Al-Qurthubi menafsirkan ayat ini menetapkan prinsip bahwa imam dan khalifah itu mempunyai hak didengar dan ditaati.1)
Pendapat saya, bahwa Allah (Subhanahu wa Ta’ala) memilih Adam menjadi khalifah Allah (Subhanahu wa Ta’ala) di muka bumi, bukan memilih malaikat, dikarenakan Adam tidak sekedar memiliki pengetahuan tentang hal tertentu, tetapi benar-benar menguasai semua yang Allah (Subhanahu wa Ta’ala) ungkapkan dengan kata-kata-Nya sendiri dalam firman-Nya (yang artinya):
“Dan Dia telah mengajarkan semua nama kepada Adam.” ( Qs. Al-Baqarah: 31)
Dalam ayat ini digunakan kata-kata semua nama, bukan sekedar nama-nama. Sejalan dengan ayat ini adalah firman-Nya:
“Dan Kami telah memberikan ilmu pengetahuan kepada Daud dan Sulaiman dan mereka berkata:’Segala puji bagi Allah (Subhanahu wa Ta’ala) yang telah melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hamba-Nya yang beriman.’ Dan Sulaiman mewarisi Daud, serta ia berkata: ‘Wahai manusia, kami diajari bahasa burung, dan kami diberi segala macam hal. Sesungguhnya ini adalah karunia yang utama .” (Qs. An- Naml: 15)
Kata ilmu pengetahuan dalam ayat ini, oleh Ibnu Badhis dikatakan sebagai suatu jenis ilmu yang agung lagi istimewa, yaitu ilmu yang dapat memadukan antara kekuasaan dan kenabian serta dapat menegakkan hukum dan hidayah.
Ayat di atas lebih dulu menyebut ilmu sebelum menyebut kekuasaan, dan lebih dulu menyebut ilmu sebagai nikmat sebelum nikmat-nikmat lainnya. Maksudnya adalah untuk menekankan pentingnya posisi ilmu serta menunjukkan bahwa ilmu adalah pangkal tolak untuk membangun kebahagiaan dunia dan akhirat.
Ilmulah yang merupakan prinsip segala urusan agama maupun dunia, sedangkan kekuasaan hanya merupakan bangunan yang berdiri di atasnya. Jadi, kekuasaan hanya boleh ditata dan dibangun serta diatur berdasarkan ilmu. Apapun yang dibangun di luar landasan ilmu akan meluncur ke dalam kehancuran. Ilmu menjadi pagar kekuasaan, senjata yang sebenarnya, dan penompangnya. Bilamana suatu kekuasaan tidak dilindungi oleh ilmu, dia akan menghadapi kemerosotan dan kehancuran.2)
Sejalan dengan uraian di atas adalah firman Allah (Subhanahu wa Ta’ala):
“Meraka bertanya kepadamu tentang Dzulqurnain, katakanlah: ‘Akan kami bacakan kepada cerita tentang dirinya sebagai peringatan.’ Sungguh Kami telah menjadikan dia berkuasa di muka bumi, dan Kami karuniakan kepadanya jalan tentang semuanya.” (Qs. Al-Kahfi: 83-84)
Yang dimaksud dengan jalan pada ayat di atas, menurut Ibnu Abbas, Sa’id bin Jubair, Suddi, dan lain-lain, adalah ilmu. Jadi maksudnya adalah: “Kami karuniakan kepadanya ilmu tentang segala sesuatu.” Dengan begitu, ilmunya mencakup cabang berbagai masalah.
Tentang ilmu yang dikaruniakan oleh Allah (Subhanahu wa Ta’ala) kepada para politisi, Abu Hazm meriwayatkan, ujarnya:”Saya tinggal bersama Abu Hurairah selama lima tahun. Saya mendengar dia pernah menceritakan hadits berikut:
Dari Nabi (Shalallahu ‘alaihi wassalam), sabdanya:”Bani isra’il dahulu dipimpin oleh para nabinya. Setiap seorang nabi wafat, diganti nabi yang lain. Namun sesungguhnya, tidak ada lagi nabi sesudahku.”(HR. Bukhari-Muslim)
Hadits ini dibenarkan oleh firman Allah (Subhanahu wa Ta’ala):
“Sesungguhnya kami telah menurunkan Taurat, di dalamnya ada petunjuk dan cahaya yang digunakan oleh para nabi yang memimpin kaum Yahudi, para rabbani, dan para pendeta, untuk menetapkan hukum.” (Qs. Al- Ma’idah: 44)
Jadi, politik itu adalah hak para nabi, karena mereka itulah yang paling berhak dan menjadi ahlinya. Bila seorang nabi meninggal, digantikanlah oleh pewarisnya. Dalam hal ini disebutkan bahwa:
Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wassalam) bersabda : ”Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Tirmidzi, hadits hasan)
Jadi, mereka yang masih menjadi pelajar tidak mempunyai hak untuk memikul warisan ini. Mereka sama sekali tidak memiliki bagian, baik sebagai ashabah (ahli waris jauh kalau ada sisa waris, pen.) maupun dzawil furudl (ahli waris yang langsung berhak dan bagiannya tetap, pen.). Oleh karena itulah, Al-Qur’an secara cermat menggunakan kata “yaqin” untuk menerangkan sifat orang yang berhak memegang imamah seperti dalam firman Allah (Subhanahu wa Ta’ala):
“Dan kami telah menjadikan diantara mereka imam-imam yang memberikan petunjuk kepada manusia dengan perintah kami, karena mereka bersabar dan yakin terhadap ayat-ayat kami.” (Qs. As- Sajdah: 24)
Kata “yaqin” di sini digunakan sebagai ganti kata “ilmu”, sebab antara ilmu dan yaqin jauh berbeda. Yaqin sudah masuk ke dalam praktek, sedangkan ilmu baru bersifat teori, dan yaqin kedudukannya pada tingkat imamah dan kepemimpinan. Ibnul Qayyim berkata: “Imamatud Dien (kepemimpinan agama) hanya bisa diraih dengan kesabaran dan keyakinan.”3)
Maka, alangkah hebatnya rahasia Al-Qur’an ini. Oleh sebab itulah, Ibnu Taimiyah menyatakan:”Rasulullah dan para khalifahnya memimpin manusia dalam bidang agama atau dunia mereka, kemudian muncul pemisahan kepemimpinan. Para jenderal mengatur dan mengurus kepentingan manusia dalam bidang keduniaan dan keagamaan secara seremonial, sedangkan para ulama memimpin manusia dalam bidang ilmu dan agama.”4)
Peringatan
Saya heran terhadap orang-orang yang sebenarnya hanya layak disebut sebagai para pelajar, tetapi berani menyejajarkan dirinya dengan Ibnu Taimiyah. Mereka berkecimpung dalam arena politik dengan alasan bahwa Ibnu Taimiyah dahulu berkecimpung dalam politik. Terhadap alasan ini ada tiga komentar:
Pertama, menggunakan dalih semacam ini adalah suatu hal yang tidak pernah dikenal oleh kaum salaf. Secara syar’i, dalih semacam ini adalah naif, dan merupakan suatu kekeliruan langkah dalam menyatukan pengikut (jama’ah). Ibnu Taimiyah, sebagaiman layaknya ulama lainnya, adalah orang yang mencari dalil. Hal ini dinyatakan sendiri oleh beliau. Oleh karena itu, tidakkah orang mau berpikir?
Kedua, Ibnu Taimiyah tidak pernah terjun dalam politik, tetapi hanya memberi nasihat politik sebagaimana ia memberi nasihat dalam bidang-bidang lain dalam urusan syari’ah. Pernah beliau berkata:”Saya adalah seorang ahli agama, bukan negarawan”.5)
Ketiga, seberapa jauh kualitas anda dibanding dengan Ibnu Taimiyah? Dia seorang mujtahid mutlak apabila dibandingkan dengan orang-orang yang masih di tingkat terpelajar dewasa ini. Mereka ini layaknya disamakan dengan pandai besi. Disebutkan dalam hadits berikut:
Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wassalam) bersabda: “orang yang makan sampai kenyang barang yang tidak menjadi haknya, ibarat orang yang memakai pakaian curian.” (HR. Bukhari-Muslim)
Kesalahan yang lebih parah yaitu orang yang menggunakan dalih bahwa Nabi Yusuf ‘alaihis salam Telah berpolitik ketika beliau menyampaikan permohonannya kepada Raja Mesir seperti tersebut dalam firman Allah (Subhanahu wa Ta’ala):
“Jadikanlah aku pengurus gudang kekayaan bumi.” (QS. Yusuf: 55)
Sebenarnya beliau melakukan hal itu hanya setelah memperoleh kesaksian dari Allah (Subhanahu wa Ta’ala) yang tersebut dalam firman-Nya (yang artinya):
“Sesungguhnya aku adalah seseorang yang sangat kuat memelihara amanah lagi sangat tahu.” (Qs. Yusuf: 55)
Para ahli bahasa bisa membedakan perbedaan kata-kata “sangat kuat memelihara” degan kata-kata “dapat memelihara”. Begitu juga perbedaan kata-kata “sangat tahu” dengan kata “tahu”. Saya sungguh merasa heran terhadap orang-orang yang mengaku mampu menduduki jabatan-jabatan politik – sekalipun di lingkungan parlemen kafir – dengan alasan perbuatan Nabi Yusuf ‘alaihis salam Tidak meminta jabatan, tetapi disodori oleh raja sendiri.
Beliau semula tidak mau menerimanya sebelum mendapatkan jaminan kebebasan dan keamanan dalam melakukan kebijakkannya. Beliau tidak mau ditekan dan dipaksa, tidak mau dipecat, dan tidak mau dicampurtangani. Beliau tidak mau disamai dan keputusannya tidak boleh ditolak. Cobalah anda perhatikan bagaimana Allah (Subhanahu wa Ta’ala) menuturkan kasus Nabi Yusuf ini dalam firman-Nya (yang artinya):
“Raja berkata: ’Datngkanlah ia padaku. Aku akan khususkan dia buat diriku. ‘tatkala Yusuf berkata kepadanya, raja berkata: ‘Hari ini engkau mempunyai kedudukan yang kokoh lagi terpercaya di hadapan kami.’Yusuf menjawab: ‘Jadikanlah aku pengurus gudang kekayaan bumi, sesungguhnya aku orang yang sangat tahu.’” (Qs. Yusuf: 54-55)
Dengan ayat ini mereka merasa bangga dengan keimanannya dan rasa percaya dirinya, sehingga setan datang menanamkan khayal pada diri mereka sebagai orang yang berhak mengambil alih kepemimpinan. Mereka pun lalu terjun ke dalam sistem-sistem sekuler.
Adapun nabi Yusuf sama sekali tidak mengorbankan agamanya dan tidak pula menyimpang dari syari’at dalam menetapkan kebijakan dan pelaksanaannya. Beliau tidak pernah menerapkan undang-undang rajanya yang kafir demi kepentingan dakwah. Dalam hal ini Allah (Subhanahu wa Ta’ala) berfirman (yang artinya):
“Yusuf sama sekali tidak pernah mengajak saudaranya pada agama rajanya, kecuali sejauh yang dikehendaki Allah (Subhanahu wa Ta’ala). Kami angkat orang-orang yang kami kehendaki beberapa derajat; dan di atas semua yang berilmu ada yang maha berilmu.” (Qs. Yusuf: 76).
Sekiranya alasan-alasan mereka itu layak kita bantah, di sini kami katakan :”Syari’at ummat sebelum kita tidak lagi menjadi syari’at kita jika berlawanan dengan syari’at kita.”minta jabatan menyalahi syari’at karena kita dilarang berbuat demikian. Dalam hadits berikut disebutkan:
Dari Abdurrahman bin Samurah, Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wassalam) bersabda kepadaku: “Wahai Abdurrahman, jangan kamu meminta jabatan. Jika engkau diberi jabatan karena permintaan, engkau akan dibebani. Jika kamu diberinya tanpa meminta, engkau akan ditolong melaksanakannya.” (HR. Bukhari- Muslim)
Nabi Yusuf ‘alaihis salam adalah orang yang telah dipilih oleh Allah (Subhanahu wa Ta’ala) dan hanya bekerja atas dasar perintah Allah (Subhanahu wa Ta’ala). Bagi orang lain berlakulah aksioma:
“Kalau kamu mencari-cari kedudukan kepemimpinan, kamu sendiri akan sengsara.”
Mereka yang dewasa ini mencari kedudukan adalah orang-orang yang tunduk kepada undang-undang yang kini sedang atau akan berlaku. Bahkan sebelum mereka menduduki jabatannya, mereka harus bersumpah untuk menjunjung tinggi konstitusi;dan begitulah yang terjadi.sungguh aneh, melawan kekafiran dengan kekafiran. Dari tindakan terburu-buru ini, dapatlah kami sampaikan lima komentar.
1. Yusuf tidak pernah meminta kedudukan , tetapi dia ditawari seperti pada ayat di atas.
2. Yusuf sama sekali bebas dari tekanan raja, dan dapat dengan teguh menjalankan syari’at islam. Dua hal ini merupakan suatu hal yang mustahil dapat terselenggara pada pemerintahan sekuler dewasa ini.
3. Dia dilindungi oleh Allah (Subhanahu wa Ta’ala), karena dia seorang Rasul sehingga dia aman dari ganggguan-gangguan yang bisa menimpa orang lain.
Diriwayatkan dari Muhammad bin Sirin bahwa khalifah ‘Umar mengangkat Abu Hurairah menjadi wali di Bahrain, lalu ia pulang membawa uang 10.000 dinar.’Umar berkata kepadanya, “Wahai musuh Allah (Subhanahu wa Ta’ala) dan musuh kitab-Nya, engkau telah menyisihkan kekayaan sebanyak ini?”. Jawab Abu Hurairah: “Aku bukan musuh Allah (Subhanahu wa Ta’ala) dan kitab-Nya, tetapi musuh terhadap orag-orang yang memusuhi keduanya”. Kata’Umar :”Lalu dari mana kekayaan kamu sebanyak itu?”. Jawabnya: ”Kudaku beranak, hasil jual kudaku dan pemberian-pemberian yang berhak kuterima”. Mereka lalu menyelidiki dan mereka mendapati kebenaran omongannya itu. Kemudian hari ‘Umar memanggilnya untuk dijadikan wali lagi, tetapi Abu Hurairah menolak.’Umar berkata: ”Engkau tidak suka pekerjaan ini, padahal orang yang lebih baik dari pada kamu menerima tawaran ini, yaitu Yusuf as”. Jawabnya: “Yusuf seorang nabi, putra seorang nabi , dan cucu seorang nabi, sedangkan saya adalah Abu Hurairah, anak Umaymah. Saya takut terhadap tiga perkara dan dua perkara”. Umar berkata: ”Mengapa tidak kamu katakan lima saja?” Jawabnya :”Aku takut mengatakan sesuatu tanpa ilmu, memutuskan perkara tanpa rasa belas kasih, memukul punggungku, membuang hartaku, dan mencemarkan nama baikku.”6)
4. Syari’at nabi-nabi terdahulu tidaklah berlaku sebagai syari’at kita bilamana bertentangan dengan syari’at kita. Adapun meminta jabatan kepemimpinan menyalahi syari’at kita.
5. Nabi Yusuf menduduki jabatannya dalam rangka menjalankan tugas kerasulan.Kalau sekiranya seseorang boleh menjadikan hal itu sebagai anutan, yang berhak secara syar’i adalah seorang mujtahid. Ibnu Abdul Bar berkata:” jika hal semacam itu dibenarkan, yang berhak adalah seorang alim untuk menyatakan dirinya layak menempati kedudukan itu, karena sikap semacam itu sebagai bukti dia mengungkapkan dan mensyukuri nikmat Tuhannya.”
Catatan kaki :
1) Tafsir Al-Qurthubi juz 1, hal 264, dan Adhwa’ul Bayan, Juz 1hal.58
2) Majalisut Tadzkir, hal. 332
3) Zaadul Ma’ad, juz III , hal. 10
4) Majmu’ Fatawa, Juz 11, hal. 551-552
5) Al’Uqud Durriyah, hal.177
6) Thabaqat Ibnu Sa’ad, Juz 4, hal. 250
(Dinukil dari “Madarikun Nadhor fis Siyasah” karya Syaikh Abdul Malik al Jazairi, Edisi Indonesia “Haramkah Partai, Pemilu dan Parlemen”, Bab IV Waspadailah Politikus yang bukan Ulama”)