Di Tulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman
Seseorang Bertayammum Setelah Berusaha Mencari Air dan Tidak Mendapatkannya, Kemudian Dia Sholat. Setelah Sholat Ia Mendapatkan Air. Apakah Ia Wajib Mengulangi Sholatnya?
Jawab:
Jika ternyata setelah sholat ia mendapatkan air, ia tidak perlu mengulangi sholat. Sholat sebelumnya tetap sah.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ خَرَجَ رَجُلَانِ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا فَصَلَّيَا ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ فِي الْوَقْتِ فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الصَّلَاةَ وَالْوُضُوءَ وَلَمْ يُعِدْ الْآخَرُ ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ أَصَبْتَ السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ وَقَالَ لِلَّذِي تَوَضَّأَ وَأَعَادَ لَكَ الْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ
Dari Abu Said al-Khudry –radhiyallahu anhu- beliau berkata: Dua orang (Sahabat Nabi) safar kemudian datanglah waktu sholat sedangkan mereka berdua tidak mendapatkan air. Kemudian keduanya bertayammum dengan tanah yang baik (suci). Keduanya kemudian sholat. Kemudian (setelah sholat) mereka menemukan air pada saat masih ada waktu sholat. Salah seorang dari mereka kemudian mengulangi sholat dengan berwudhu, sedangkan satu orang lagi tidak mengulang sholatnya. Kemudian mereka mendatangi Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dan memberitahukan hal itu. Maka Nabi bersabda kepada Sahabat yang tidak mengulangi sholat: “Engkau telah sesuai dengan Sunnah, dan sholatmu telah mencukupi”. Kemudian Nabi bersabda kepada yang mengulangi sholat: “Engkau mendapat pahala dua kali”(H.R Abu Dawud, dishahihkan al-Hakim disepakati adz-Dzahaby dan al-Albany)
Sahabat yang mengulangi sholat mendapatkan dua pahala adalah karena ijtihadnya. Satu pahala untuk sholat yang diulangi, meski salah, namun karena berdasar ijtihad, maka mendapat satu pahala. Sedangkan satu pahala lagi adalah untuk sholatnya ketika dilakukan dengan tayammum. Karena itu, tidak disyariatkan untuk mengulangi lagi sholat karena tayammum jika setelah sholat ditemukan air. Karena Nabi telah menjelaskan hal yang sesuai dengan Sunnahnya, yaitu tidak mengulangi lagi sholat. Hal ini dijelaskan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam syarh Bulughil Maram dan Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad dalam syarh Sunan Abi Dawud.
Bagaimana Jika Di Pertengahan Sholat Air Baru Ditemukan?
Jawab:
Ia batalkan sholatnya dan mengulangi dari awal. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan Ahmad, dikuatkan oleh Ibnu Utsaimin dan Abdul Muhsin al-Abbad.
Jika Ada Air yang Hanya Cukup untuk Berwudhu Sebagian Anggota Tubuh. Apa yang Dilakukan?
Jawab:
Jika dipastikan bahwa air tersebut tidak akan cukup untuk berwudhu’ karena sangat sedikit, maka langsung bertayammum. Namun, jika sebelumnya dicoba untuk berwudhu’ dengan harapan bisa tercukupi, namun ternyata airnya kurang tidak bisa memenuhi semua anggota wudhu’, maka sisanya menggunakan tayammum. Contoh: pada saat mencoba menggunakan air, bisa digunakan berwudhu’ hingga mencuci tangan saja. Maka selebihnya harus bertayammum.
Namun, perlu dipahami bahwa tata cara mandi dan berwudhu yang dilakukan Nabi adalah dengan menggunakan air yang sedikit. Air yang sedikit sudah cukup bagi Nabi untuk menyempurnakan mandi dan wudhu’ beliau.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa mandi Nabi menggunakan 4-5 mud (sekitar 3 hingga 3,75 liter). Sedangkan untuk berwudhu’ beliau hanya menggunakan 1 mud (sekitar 0,75 liter)(H.R al-Bukhari dan Muslim). Bahkan, Nabi pernah berwudhu secara sempurna hanya dengan 2/3 mud (sekitar setengah liter) air (H.R Ahmad, dishahihkan Ibnu Khuzaimah, al-Hakim, Ibnu Hibban)
Bagaimana Jika Tidak Ditemukan Air dan Juga Tidak Ada Sesuatu untuk Tayammum?
Jawab:
Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya. Ia sholat sesuai dengan keadaannya tersebut, meski tanpa berwudhu atau tayammum. Ini adalah pendapat dari al-Imam asy-Syafi’i dan al-Imam Ahmad.
Jenazah yang Tidak Bisa Dimandikan Karena Tidak Ada Air Atau Karena Kondisinya Tidak Memungkinkan Dimandikan, Apakah Ditayammumkan?
Jawab:
Ya, ditayammumkan. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’ (5/297) dan Fatwa al-Lajnah ad-Daaimah.