Penerjemah: al ustadz Abu Utsman Kharisman
Allah Azza Wa Jalla berfirman:
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ وَخَٰلَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِيٓ أَرۡضَعۡنَكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمۡ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمۡ تَكُونُواْ دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ وَحَلَٰٓئِلُ أَبۡنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَٰبِكُمۡ وَأَن تَجۡمَعُواْ بَيۡنَ ٱلۡأُخۡتَيۡنِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا
Diharamkan bagi kalian (menikahi) ibu kalian, putri kalian, saudara perempuan kalian, bibi dari jalur ayah, bibi dari jalur ibu, putri saudara laki-laki, putri saudara perempuan, ibu yang menyusui kalian, saudara perempuan sepersusuan, ibu istri-istri kalian, anak tiri yang berada dalam pengasuhan kalian dari istri yang kalian telah berhubungan badan dengannya. Jika kalian belum berhubungan badan dengan para istri itu, tidak mengapa menikahi (mantan anak tiri tersebut). Demikian juga (haram menikahi) istri anak-anak laki-laki kandung kalian. Juga dilarang menggabungkan dua perempuan bersaudara (untuk sama-sama menjadi istri seorang laki-laki di satu waktu), kecuali yang telah terjadi di masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S anNisaa’ ayat 23)
Penjelasan dalam Tafsir as-Si’diy:
Ayat-ayat al-Quran ini (anNisaa’ ayat 22-24) mengandung penjelasan tentang wanita-wanita mahram secara nasab, mahram karena sepersusuan, mahram karena adanya pernikahan, dan yang haram dinikahi dalam penggabungan satu pernikahan. Demikian juga terdapat penjelasan tentang wanita-wanita yang halal untuk dinikahi.
Adapun wanita-wanita yang merupakan mahram secara nasab ada 7 yang disebutkan Allah, yaitu:
(Pertama) Ibu. Masuk di dalamnya setiap wanita yang menjadi sebab kelahiranmu, meskipun jaraknya jauh (yaitu nenek, ibu nenek, dst, pent).
(Kedua) Anak perempuan. Masuk di dalamnya setiap wanita yang terlahir darimu.
(Ketiga) Saudara-saudara perempuan kandung, demikian juga seayah maupun seibu saja.
(Keempat) Bibi dari jalur ayah. Semua saudara perempuan ayah atau kakekmu, dan seterusnya ke atas.
(Kelima) Bibi dari jalur ibu. Semua saudara perempuan ibumu atau nenekmu, dan seterusnya ke atas. Baik dia memiliki hak waris ataupun tidak.
(Keenam) Anak perempuan dari saudara laki-laki, dan
(Ketujuh) Anak perempuan dari saudara perempuan, dan seterusnya ke bawah.
Mereka ini adalah para wanita yang menjadi mahram karena sebab nasab sesuai kesepakatan para Ulama. Sebagaimana pernyataannya jelas disebutkan dalam ayat yang mulia ini. Sedangkan selain mereka, masuk dalam firman Allah:
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ
dan dihalalkan bagi kalian yang selain itu…(Q.S anNisaa’ ayat 24)
(Wanita-wanita yang halal dinikahi itu) seperti anak perempuan bibi dan anak perempuan paman dari jalur ayah, maupun anak perempuan bibi dan anak perempuan paman dari jalur ibu.
Sedangkan wanita-wanita yang mahram karena sepersusuan, di antara yang Allah sebutkan adalah ibu dan saudara perempuan (sepersusuan). Dalam ayat ini, ibu (susuan) menjadi mahram, meskipun air susu itu bukan miliknya. Air susunya adalah milik sang pemilik susu (sang suami). Hal itu menunjukkan bahwa sang pemilik susu menjadi ayah bagi anak yang disusui. Jika telah terjadi status ayah dan ibu (karena penyusuan), berlaku pula hal-hal yang bercabang darinya seperti saudara kandung keduanya, orangtua maupun induk dari keduanya, maupun keturunan (anak cucu) dari keduanya.
Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda:
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
Menjadi mahram karena susuan, sebagaimana menjadi mahram karena nasab (H.R al-Bukhari)
Maka tersebarlah mahram itu dari sisi wanita yang menyusui dan laki-laki yang memiliki air susu (suaminya). Sebagaimana tersebar pada kerabat-kerabat. Untuk anak yang disusuinya, tersebarnya mahram itu hanya pada keturunannya saja. Namun, dipersyaratkan bahwa penyusuan itu adalah 5 kali susuan di masa (usia anak maksimal) dua tahun, sebagaimana dijelaskan dalam Sunnah (Nabi).
Adapun mahram karena sebab pernikahan ada 4, yaitu:
(Pertama) Istri ayah, dan seterusnya ke atas (istri kakek, istri dari ayah kakek, dan seterusnya, pent).
(Kedua) Istri anak kandung, dan seterusnya ke bawah (istri cucu, istri cicit, dan seterusnya, pent).
Baik mereka mendapatkan hak waris, ataupun terhalangi hak warisnya.
(Ketiga) Ibu dari para istri, dan seterusnya ke atas.
Ketiga kelompok wanita tersebut menjadi mahram dengan sekedar pelaksanaan akad nikah.
Keempat adalah anak tiri perempuan, yaitu anak kandung istri (dari suami yang lain, pent), dan seterusnya ke bawah. (Anak perempuan istri) ini tidaklah menjadi mahram hingga seorang laki-laki itu berhubungan suami istri dengan istrinya tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam (potongan) ayat ini:
وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ
Dan para anak tiri kalian yang berada di bawah pengasuhan kalian dari istri-istri yang kalian telah berhubungan dengannya…(Q.S anNisaa’ ayat 23)
Mayoritas Ulama berpendapat, bahwa firman Allah (yang artinya): yang berada di bawah pengasuhan kalian, itu adalah ungkapan untuk hal yang sering terjadi. Bukan mafhum dari ayat itu. Karena sesungguhnya anak tiri perempuan menjadi mahram meski tidak berada dalam pengasuhannya (saat kecil). Namun, hal itu disebutkan pada ayat tersebut karena adanya 2 faidah:
Faidah Pertama: Terdapat peringatan akan hikmah diharamkannya menikahi anak tiri perempuan, karena kedudukannya bagaikan anak perempuan kandung. Maka suatu hal yang sangat buruk jika diperbolehkan (menikahinya).
Faidah Kedua: Di dalam ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan bolehnya berkhalwat (berduaan) dengan anak tiri perempuan, dan sesungguhnya anak tiri perempuan itu kedudukannya seperti anak yang dalam pengasuhannya, seperti anak kandungnya dan semisalnya. Wallaahu A’lam.
Sedangkan wanita yang haram dinikahi dalam penggabungan pada satu pernikahan, Allah telah menyebutkan (larangan) menggabungkan dua saudara perempuan (menjadi istri satu lelaki di satu waktu, pent). Nabi shollallahu alaihi wasallam juga mengharamkan menggabungkan antara seorang wanita dengan bibinya dari jalur ayah atau bibinya dari jalur ibu. Maka setiap dua wanita yang keduanya memiliki hubungan (kekerabatan) yang kalau seandainya salah satunya laki-laki dan yang lain wanita terhitung mahram, diharamkan digabungkan (menjadi istri satu lelaki di satu waktu, pent). Karena hal itu bisa menjadi sebab putusnya hubungan antar kerabat dekat.
(Taisiir Kariimir Rahmaan fii Tafsiiri Kalaamil Mannan karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Si’diy)