Oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat dari Makkah pada hari Sabtu di bulan Syawwal tahun ke delapan hijrah.
Menyusun barisan Muslimin
Setelah mendekati wilayah pertahanan musuh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallammulai menyusun barisan para sahabatnya dan menyerahkan bendera kepada beberapa orang Muhajirin dan Anshar:
– Bendera Muhajirin dipegang oleh ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu
– Bendera juga dipegang oleh ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu
– Satu bendera diserahkan kepada Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu
– Bendera Khazraj dipegang oleh Hubaib bin Al-Mundzir radhiyallahu anhu
– Sedangkan bendera Aus dipegang oleh Usaid bin Hudhair radhiyallahu anhu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga menyusun barisan kabilah-kabilah ‘Arab dan menyerahkan bendera kepada mereka. Pada waktu itu beliau mengenakan dua lapis baju perang, topi baja, dan menaiki bighalnya, Duldul. Di bagian depan pasukan, beliau menempatkan Khalid bin Al-Walid radhiyallahu anhu .
Sementara itu, Malik bin ‘Auf mengirimkan mata-matanya mengintai kekuatan kaum muslimin bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Para pengintai itu kembali dalam keadaan ketakutan dan menyarankan agar pasukan Hawazin kembali. Malik menjadi marah dan menuduh mereka pengecut serta menahan mereka di dekatnya agar tidak menimbulkan keresahan di tengah-tengah pasukan.
Serangan mendadak
Begitu tiba di Hunain dan mulai menyusuri lembah, masih dalam keremangan subuh, pasukan Hawazin secara serempak dan tiba-tiba menyerang kaum muslimin yang belum bersiap sepenuhnya. Ternyata pasukan Hawazin telah bersembunyi lebih dahulu di balik-balik bukit lembah Hunain. Mereka betul-betul menjalankan strategi Duraid bin Ash-Shimmah untuk melakukan serangan mendadak dan serempak.
Mendapat serangan mendadak ini, meskipun tersentak, kaum muslimin dapat juga melakukan pembalasan dan menyerang mereka dengan hebat. Akhirnya pasukan musuh kewalahan dan melarikan diri serta meninggalkan kaum muslimin dengan ghanimah yang cukup banyak. Kejadian ini mungkin persis dengan peristiwa Uhud, sebelum mereka dihabisi oleh pasukan berkuda yang ketika itu dipimpin oleh Khalid bin Al-Walid.
Kaum muslimin akhirnya sibuk dengan ghanimah, lupa jalannya pertempuran dan lengah, padahal musuh belum ditumpas seluruhnya, dan mereka masih bersembunyi.
Melihat keadaan ini, pasukan musuh mulai melancarkan serangan mematikan. Ratusan panah dan tombak bahkan batu-batu meluncur bagai hujan yang sangat deras menyerang kaum muslimin. Jeritan kematian berkumandang, pekik kesakitan terdengar riuh. Sebagian pasukan muslimin melarikan diri meninggalkan gelanggang pertempuran. Mereka terus berlari kocar-kacir meninggalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan beberapa gelintir sahabatnya, di antaranya Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu anhuma. Sementara itu, kendali bighal beliau dipegang oleh saudaranya Abu Sufyan bin Al-Harits bersama ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib radhiyallahu anhuma.
Pasukan kaum muslimin semakin terdesak. Kekalahan mulai membayang. Allah Subhanahuwata’ala berfirman menceritakan peristiwa ini:
لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ
“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (wahai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai.” (At-Taubah: 25)
Pasukan berkuda Bani Sulaim mulai tercerai-berai, lari meninggalkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu diikuti orang-orang Makkah dan yang lainnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri mengambil posisi di sebelah kanan sambil memanggil: “Wahai kaum muslimin, ke sini! Aku Rasulullah. Aku Muhammad bin ‘Abdullah!” Tapi tak ada yang menoleh. Orang-orang berlarian, kecuali beberapa gelintir sahabat dan ahli bait beliau, seperti ‘Ali, ‘Abbas, Abu Sufyan, Fadhl bin ‘Abbas, dan lainnya.
Di saat yang genting itu, orang-orang yang masih menyimpan dendam terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mencoba mengambil kesempatan untuk membunuh beliau diam-diam.
Ibnu Ishaq mengisahkan dalam Sirahnya:
Syaibah bin ‘Utsman Al-Hajibi bercerita: “Setelah pembebasan kota Makkah, aku ikut bersama Quraisy menuju Hawazin, dengan harapan dapat membunuh Muhammad ( Shallallahu ‘alaihi wasallam), agar akulah yang menuntaskan dendam Quraisy. Aku katakan: ‘Seandainya tidak tersisa satupun Arab dan ajam melainkan mengikutinya, niscaya aku tetap tidak akan mengikutinya, selama-lamanya’.”
Setelah kedua pasukan mulai saling serang, aku pun menghunus pedang sambil mendekati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang masih di atas bighalnya. Ketika aku mulai mengayunkn pedang, tiba-tiba berkelebat selarik api menyambar bagai kilat. Aku menutupi mata karena takut melihat api tersebut. Rasulullah ( Shallallahu ‘alaihi wasallam) menoleh ke arahku lalu memanggilku: “Wahai Syaib, mendekatlah!”
Aku pun mendekati beliau lalu (beliau) mengusap dadaku dan berdoa: “Ya Allah, lindungilah dia dari setan.”
Sungguh, demi Allah. Saat itu juga beliau berbalik menjadi orang yang lebih aku cintai dari penglihatan dan pendengaranku serta diriku sendiri.
“Mendekatlah dan seranglah musuh-musuh itu,” kata beliau. Aku pun maju menyerang dan sungguh, seandainya aku bertemu ayahku waktu itu juga tentu aku tikamkan pedangku ke tubuhnya.
Akhirnya, aku pun selalu menyertai beliau sampai pasukan berkumpul kembali. Aku mendekatkan bighal kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hingga beliau duduk di atasnya. Beliau pun bergabung dengan pasukan muslimin.
Ketika aku masuk ke dalam tenda beliau, beliau berkata kepadaku: “Wahai Syaib, apa yang diinginkan Allah untuk dirimu lebih baik daripada apa yang engkau inginkan untuk dirimu sendiri.”
Keberanian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang dalam peperangan selalu di barisan depan, berseru memanggil para sahabatnya: “Wahai kaum muslimin, kemari! Aku Muhammad bin ‘Abdillah.”
Tetapi tidak ada yang menoleh memerhatikan beliau. Setiap orang berusaha menyelamatkan dirinya sendiri dari serangan mendadak yang dilancarkan pasukan Hawazin. Kaum muslimin betul-betul bercerai-berai. Jumlah banyak yang mereka banggakan tak sedikitpun menolong.
Memang kenyataannya demikian. Kemenangan dalam sebuah pertempuran bukan ditentukan oleh jumlah kekuatan dan perbekalan serta keahlian perang semata. Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ
“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.” (Al-Baqarah: 249)
Kemenangan dan pertolongan itu murni dari sisi Allah Subhanahuwata’ala.
Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ
“Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Ali ‘Imran: 126)
Dengan diapit Abu Sufyan dan ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam terus menuju ke arah barisan pertahanan musuh. Bahkan dengan sengaja beliau berseru lantang:
أَنَا النَّبِيُّ لَا كَذِب أَنَا ابْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
Aku adalah Nabi, bukan pendusta
Aku putra ‘Abdul Muththalib
Pernyataan ini membuat beliau menjadi sasaran empuk panah dan tombak musuh yang menyerbu dengan derasnya. Karena seruan beliau ini seolah-oleh memberitahukan kepada musuh siapa dan di mana kedudukan beliau. Pasukan musuh yang memang berambisi melenyapkan beliau dan menumpas dakwah beliau mengarahkan panah serta tombak mereka kepada beliau.
Derasnya panah dan tombak musuh tidak membuat luntur semangat beliau. Bahkan beberapa sahabat yang menyertai beliau semakin merapat ke dekat beliau.
Kemenangan sesudah kekalahan
Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
ثُمَّ أَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَنْزَلَ جُنُودًا لَمْ تَرَوْهَا وَعَذَّبَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ
“Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir.” (At-Taubah: 26)
Melihat pasukan muslimin semakin lemah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallammemerintahkan ‘Abbas untuk berseru lantang: “Wahai ‘Abbas, panggil para pengikut Bai’at Ridhwan (Ash-habus Samurah).”
‘Abbas mulai berseru: “Wahai orang-orang Anshar yang menampung dan membela. Wahai kaum Muhajirin yang bersumpah setia di bawah pohon. Ini Muhammad masih hidup, kemari!”
‘Abbas mengulangi seruannya: “Wahai Ash-habus Samurah. Wahai penghafal Surat Al-Baqarah!”
Teriakan ‘Abbas menggema mengalahkan dentingan pedang dan tombak yang beradu. Menembus ke dalam jantung mereka yang mengerti arti panggilan itu.
Serta-merta dengan izin Allah Subhanahuwata’ala, terbangkitlah semangat kaum muslimin. Bagaikan sapi betina yang meradang melihat anaknya terancam bahaya, prajurit muslimin berbalik menyambut seruan ‘Abbas: “Labbaik, labbaik.”
Mereka yang berada di atas kuda dan untanya berusaha membelokkan unta dan kudanya ke arah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang berada di tengah-tengah kepungan musuh.
Kuda dan unta itu menolak kembali bersama tuannya. Akhirnya, mereka lemparkan pedang, tombak dan perisai ke tanah, lalu mereka lepaskan tunggangan mereka. Sedangkan mereka segera berlari mengikuti suara ‘Abbas menembus kepungan musuh terhadap Rasulullah n.
Perlahan tapi pasti, mulai terkumpul kembali seratus orang di sekitar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memungut beberapa butir kerikil lalu melemparkannya ke arah musuh sambil berkata: “Wajah-wajah buruk.” Muka yang terkena lemparan menjadi hitam. Perang semakin memuncak.
Ternyata pasukan musuh tidak berani berhadapan langsung dengan pasukan kaum muslimin. Keadaan pun berbalik.
Pasukan muslimin yang tadi melarikan diri, mulai merapat ke arah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Pertempuran sengit semakin berkobar. Satu demi satu korban dari pihak musuh mulai bertambah. Ali bin ‘Abi Thalib radhiyallahu anhu menewaskan lebih dari 40 orang. Sementara Khalid bin Al-Walid radhiyallahu anhu terluka cukup berat.
Kali ini, Malik bin ‘Auf dan pasukannya benar-benar kewalahan. Kekalahan mulai nampak. Mental pasukannya sudah jatuh. Akhirnya mereka melarikan diri meninggalkan harta dan keluarga mereka. Jatuhlah ke tangan kaum muslimin ribuan tawanan perang yang terdiri dari anak-anak dan kaum wanita. Juga puluhan ribu ternak terdiri dari 40.000 ekor unta dan 24 (ribu???) ekor kambing serta ribuan uqiah perak.
Jubair bin Muth’im menceritakan: “Sungguh sebelum kekalahan musuh ini, aku melihat ada orang-orang yang berperang seperti bayangan hitam yang turun dari langit, jatuh ke tengah-tengah kami. Aku lihat semut hitam memenuhi perut lembah, dan ternyata akhirnya mereka kalah. Aku tidak sangsi kalau mereka adalah malaikat.”
Setelah menempatkan ghanimah tersebut di tempat yang aman, mulailah kaum muslimin menyiapkan senjata untuk mengejar musuh yang melarikan diri.
Kaum musyrikin yang dipimpin Malik bin ‘Auf berlari menuju Thaif dan menyusun pasukan di Authas. Ketika mereka di Authas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim pasukan dipimpin oleh Abu ‘Amir Al-Asy’ari. Terjadi pertempuran dan Abu ‘Amir terkena panah musuh dan gugur sebagai syahid.
Bendera pasukan dipegang oleh Abu Musa Al-Asy’ari. Dia pun memerangi mereka dengan hebat dan Allah Subhanahuwata’ala pun memenangkan mereka.
Malik bin ‘Auf terus melarikan diri berlindung ke benteng Tsaqif.
Membagi ghanimah
Sengaja Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menunggu beberapa hari dengan harapan ada pihak Hawazin yang datang masuk Islam, meminta tawanan dan harta mereka. Namun sudah ketetapan Allah Subhanahuwata’ala bahwa ghanimah berupa harta itu menjadi hak kaum muslimin. Kemudian mulailah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membagikan ghanimah yang diperoleh dalam perang Hunain itu.
Beliau memberi harta itu kepada orang-orang yang dilunakkan hati mereka kepada Islam. Abu Sufyan diberi seratus ekor unta dan 40 uqiyah perak. Dia berkata: “Putraku Yazid?” Kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Beri dia seratus ekor unta dan 40 uqiyah perak.” Abu Sufyan menukas: “Anakku, Mu’awiyah?”
Akhirnya Mu’awiyah juga menerima jumlah yang sama. Setelah itu, beliau memberi Hakim bin Hizam seratus ekor unta dan dia minta seratus lagi, beliau memberinya. Kemudian An-Nadhr bin Al-Harits bin Kaladah menerima seratus ekor unta. Kemudian beberapa orang lainnya dari pembesar Quraisy. Ghanimah yang dibagikan itu hampir mencapai 14.850 ekor unta, yang diambil dari khumus.
Termasuk yang ada dalam ghanimah tersebut adalah Asy-Syaima`, saudara perempuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam satu susuan. Ketika dia dihadapkan kepada Rasulullah n, dia menerangkan siapa dirinya. Rasulullah n bertanya kepadanya apa tanda buktinya. Asy-Syaima` mengatakan bahwa di bagian punggungnya masih ada bekas gigitan Rasulullah n ketika dia dahulu menggendong beliau. Setelah beliau mengenalnya, beliau menghormatinya, membentangkan kainnya dan mendudukkannya di atas kain itu lalu memberinya pilihan.
Asy-Syaima` masuk Islam dan memilih pulang ke kampung halamannya. Oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dia diberi sepasang budak yang kemudian mereka nikahkan. Wallahu a’lam.
Setelah itu beliau perintahkan Zaid bin Tsabit menghitung kambing dan jumlah pasukan. Baru kemudian beliau bagikan kepada pasukan. Setiap orang menerima empat ekor unta dan empat puluh ekor kambing. Kalau dia dari pasukan berkuda, dia menerima 12 ekor unta dan 120 ekor kambing.