Perang Bani Nadhir

Perang Bani Nadhir

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Ditulis Oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib

Sejak jaman dahulu, bangsa Yahudi memang dikenal sebagai ahli makar. Pembunuhan terhadap para Nabi dan kekejian lainnya tidak lepas dari tangan-tangan mereka. Berbagai peperangan yang muncul di jaman Rasulullah juga lahir dari persekongkolan jahat mereka. Salah satunya adalah Peperangan Bani Nadhir.

Sebelum Rasulullah berhijrah ke Madinah, sudah ada tiga kabilah besar bangsa Yahudi yang menetap di negeri tersebut. Mereka adalah Bani Qainuqa’, Bani Nadhir dan Bani Quraizhah. Masing-masing kabilah ini mempunyai sekutu dari kalangan penduduk asli Madinah yaitu Aus dan Khazraj. Bani Qainuqa’ dan Bani Nadhir bersekutu dengan Khazraj, sedangkan Bani Quraizhah menjadi sekutu Aus.

Setiap kali terjadi peperangan di antara mereka dengan sekutu masing-masing, orang-orang Yahudi mengancam kaum musyrikin (Aus dan Khazraj) ketika itu dengan mengatakan: “Sudah tiba masanya datang nabi kami dan kami akan memerangi kalian seperti memerangi ‘Ad dan Iram.”

Ketika muncul Rasulullah dari kalangan Quraisy, berimanlah Aus dan Khazraj. Sementara orang-orang Yahudi justru kafir kepada beliau. Tentang merekalah turunnya firman Allah :

وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللهِ عَلَى الْكَافِرِينَ

“Dan setelah datang kepada mereka Al-Qur’an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.” (Al-Baqarah: 89)

Bani Nadhir adalah salah satu kabilah terbesar bangsa Yahudi yang bermukim di sebelah selatan Madinah sebelum kedatangan Rasulullah. Setelah Nabi  tiba di Madinah, mereka pun kafir kepada beliau bersama orang-orang kafir Yahudi lainnya. Rasulullah  sendiri melakukan perjanjian dengan seluruh golongan Yahudi yang menjadi tetangga beliau di Madinah.

 

Sebab-sebab Terjadinya Peperangan

Ketika perang Badr usai, enam bulan setelah peristiwa besar tersebut,[1] Rasulullah menemui dan berbicara dengan mereka agar mereka membantu beliau dalam urusan diyat (tebusan) orang-orang Bani Kilab yang dibunuh ‘Amr bin Umayyah Adl-Dlamari. Merekapun berkata: “Kami akan bantu, wahai Abul Qasim (Rasulullah, red.). Duduklah di sini sampai kami selesaikan kebutuhanmu!”

Kemudian sebagian mereka memencilkan diri dari yang lain, dan syaitan membisikkan kepada mereka ‘kehinaan’ yang telah ditakdirkan atas mereka. (Dengan bisikan itu) mereka mencoba melakukan intrik keji untuk membunuh Nabi. Salah seorang dari mereka berkata: “Siapa di antara kamu yang memegang penggilingan ini lalu naik ke loteng dan melemparkannya ke kepalanya sampai remuk?”

Orang paling celaka dari mereka, yaitu ‘Amr bin Jihasy berkata: “Aku.”

Namun Sallam bin Misykam berkata kepada mereka: “Jangan lakukan. Demi Allah, pasti Dia akan membongkar apa yang kalian rencanakan terhadapnya. Dan sungguh ini artinya melanggar perjanjian antara kita dengannya.”

Lalu datanglah Jibril menceritakan persekongkolan busuk mereka. Maka beliaupun bangkit dengan cepat dan segera menuju ke Madinah. Para shahabat pun menyusul beliau dan berkata: “Anda bangkit tanpa kami sadari?”

Beliau pun menceritakan rencana busuk orang-orang Yahudi itu terhadap beliau.

Setelah itu Rasulullah mengirim utusan kepada mereka untuk memerintahkan: “Keluarlah kamu dari Madinah dan jangan bertetangga denganku di sini. Aku beri waktu sepuluh hari, siapa yang masih kedapatan di Madinah setelah hari itu, tentu aku tebas lehernya.”

Akhirnya mereka mempersiapkan diri selama beberapa hari. Datanglah kepada mereka gembong Munafik ‘Abdullah bin Ubay bin Salul, mengatakan: “Janganlah kalian keluar dari rumah kalian. Karena saat ini aku memiliki sekitar dua ribu pasukan yang siap bertahan bersama di benteng kalian ini. Mereka siap mati membela kalian. Bahkan Bani Quraizhah serta para sekutu kalian dari Ghathafan tentu akan membela kalian.”

Akhirnya Huyyay bin Akhthab (pemimpin Bani Nadhir, red.) tergiur dengan bujukan ini dan mengutus seseorang kepada Rasulullah, mengatakan: “Kami tidak akan keluar dari kampung (rumah-rumah) kami, berbuatlah semaumu.”

Rasulullah dan para shahabat bertakbir, lalu berangkat menuju perkampungan mereka. ‘Ali bin Abi Thalib membawa bendera beliau.

Merekapun mengepung benteng Yahudi ini dan melemparinya dengan panah dan batu. Ternyata Bani Quraizhah meninggalkan Bani Nadhir, bahkan sekutu mereka Ibnu Ubay dan Ghathafan juga mengkhianati mereka.

Rasulullah  mengepung mereka selama enam hari, beliau menebang pokok-pokok (pohon) kurma milik mereka dan membakarnya.

Kemudian orang-orang Yahudi itu mengutus seseorang untuk memohon: “Kami akan keluar dari Madinah.” Maka beliau memutuskan, mereka keluar dari kota itu dengan hanya membawa anak-cucu mereka serta barang-barang yang dapat diangkut seekor unta kecuali senjata. Dari sinilah, Rasulullah dan para shahabat kemudian memperoleh harta dan senjata.

Dalam rampasan perang dari Bani Nadhir ini, khusus bagi Rasulullah dan para pengganti beliau (para pemimpin, khalifah-pent.) demi kepentingan kaum muslimin, seperlima bagiannya tidak dibagi. Karena Allah telah memberikannya kepada beliau sebagai fai-i, tanpa kaum muslimin mengerahkan seekor kuda ataupun unta untuk mendapatkannya.

Akhirnya Rasulullah  mengusir mereka termasuk pembesar mereka, Huyyay bin Akhthab, ke wilayah Khaibar. Beliau menguasai tanah dan rumah-rumah berikut senjata. Ketika itu diperoleh sekitar limapuluh perisai, limapuluh buah topi baja, dan 340 bilah pedang. Inilah kisah mereka yang diuraikan oleh sejumlah ahli sejarah.

Al-Imam Bukhari meriwayatkan tentang hal ini:

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَتْ أَمْوَالُ بَنِي النَّضِيرِ مِمَّا أَفَاءَ اللهُ عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا لَمْ يُوجِفْ الْمُسْلِمُونَ عَلَيْهِ بِخَيْلٍ وَلاَ رِكَابٍ، فَكَانَتْ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَاصَّةً وَكَانَ يُنْفِقُ عَلَى أَهْلِهِ نَفَقَةَ سَنَتِهِ ثُمَّ يَجْعَلُ مَا بَقِيَ فِي السِّلاَحِ وَالْكُرَاعِ عُدَّةً فِي سَبِيلِ اللهِ

Dari ‘Umar radliyallahu ‘anhu, katanya: “Harta Bani Nadhir merupakan harta fai-i yang Allah berikan kepada Rasul-Nya , tanpa kaum muslimin mengerahkan kuda dan unta untuk memperolehnya. Maka harta itu milik Rasulullah secara khusus. Dan beliau menginfakkannya untuk keluarganya sebagai nafkah selama setahun, kemudian sisanya berupa senjata dan tanah sebagai persiapan bekal (jihad) di jalan Allah.”

 

Beberapa Pelajaran dari Kisah Ini

Berkaitan dengan peristiwa ini Allah turunkan awal surat Al-Hasyr (1-5) dan ditegaskan pula oleh Al-Imam Bukhari dalam Shahih-nya (Kitab Al-Maghazi dan Tafsir Al-Qur’an) dari Ibnu ‘Abbas:

عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ: قُلْتُ لابْنِ عَبَّاسٍ سُورَةُ الْحَشْرِ، قَالَ: قُلْ سُورَةُ النَّضِيرِ

Dari Sa’id bin Jubair, dia berkata: “Aku berkata kepada Ibnu ‘Abbas: ‘Surat Al-Hasyr.’ Kata beliau: “Katakanlah: ‘Surat An Nadhir ’.”

Allah  berfirman:

سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ. هُوَ الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ دِيَارِهِمْ لأَوَّلِ الْحَشْرِ مَا ظَنَنْتُمْ أَنْ يَخْرُجُوا وَظَنُّوا أَنَّهُمْ مَانِعَتُهُمْ حُصُونُهُمْ مِنَ اللهِ فَأَتَاهُمُ اللهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي اْلأَبْصَارِ. وَلَوْلاَ أَنْ كَتَبَ اللهُ عَلَيْهِمُ الْجَلاَءَ لَعَذَّبَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي اْلأَخِرَةِ عَذَابُ النَّارِ. ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ شَاقُّوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَمَنْ يُشَاقِّ اللهَ فَإِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ. مَا قَطَعْتُمْ مِنْ لِينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا قَائِمَةً عَلَى أُصُولِهَا فَبِإِذْنِ اللهِ وَلِيُخْزِيَ الْفَاسِقِينَ

“Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama kali. Kamu tiada menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah. Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah membenamkan rasa takut ke dalam hati mereka; mereka musnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah (peristiwa itu) sebagai pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan. Dan jikalau tidaklah karena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap mereka benar-benar Allah mengazab mereka di dunia. Dan bagi mereka di akhirat azab neraka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa menentang Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik.”

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di  menerangkan makna ayat ini dalam tafsirnya sebagai berikut:

Allah mengawali surat ini dengan penjelasan bahwa semua yang ada di langit dan bumi bertasbih memuji Rabbnya, mensucikan-Nya dari semua perkara yang tidak sesuai dengan kemuliaan-Nya, menghambakan diri dan tunduk kepada kebesaran-Nya. Karena sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Perkasa lagi memaksa segala sesuatu. Tidak ada satupun yang dapat menghalangi-Nya, tidak ada satupun yang sulit bagi-Nya. Allah adalah Dzat Yang Maha Mempunyai hikmah, dalam penciptaan dan perintah-Nya. Allah tidak menciptakan segala sesuatu ini dengan sia-sia. Dan Dia tidak menetapkan syariat yang tidak mengandung kemaslahatan.

Allah tidak berbuat kecuali sesuai dengan hikmah-Nya. Termasuk di dalamnya adalah pertolongan-Nya kepada Rasul-Nya terhadap orang-orang kafir ahli kitab dari Bani Nadhir yang melanggar perjanjian dengan Rasul-Nya. Maka Allah keluarkan mereka dari rumah dan tempat tinggal yang mereka cintai.

Pengusiran mereka ini merupakan pengusiran pertama yang ditetapkan Allah atas mereka melalui tangan Rasul-Nya Muhammad. Mereka diusir hingga ke Khaibar.

Ayat yang mulia ini memberi isyarat bahwa pengusiran mereka tidak hanya terjadi dalam peristiwa ini. Rasulullah  mengusir mereka sekali lagi dari Khaibar, kemudian juga di masa pemerintahan ‘Umar yang mengeluarkan seluruh Yahudi dari jazirah ‘Arab.

Firman Allah : مَا ظَنَنْتُمْ (Kamu tiada menyangka), wahai kaum muslimin.

Dan: أَنْ يَخْرُجُوا (bahwa mereka akan keluar).

Yakni, keluar dari rumah mereka karena kuatnya benteng pertahanan mereka dan mereka merasa mulia di dalamnya.

Firman Allah :

وَظَنُّوا أَنَّهُمْ مَانِعَتُهُمْ حُصُونُهُمْ مِنَ الله

(dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah).

Artinya, kuatnya pertahanan mereka ini membuat mereka bangga dan hal ini justru menipu mereka. Mereka merasa tidak akan mungkin bisa dikalahkan dan tidak ada satupun yang sanggup menghadapi mereka. Padahal kekuasaan Allah ada di balik itu semua. Benteng mereka sama sekali tidak dapat melepaskan diri mereka dari adzab Allah dan kekuatan pertahanan mereka tidak berguna sedikitpun bagi mereka.

Karena itulah Allah  menyatakan:

فَأَتَاهُمُ اللهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا

(maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka).

Tidak pernah terbetik dalam pikiran mereka bahwa mereka akan didatangi dari arah tersebut.

Firman Allah :

وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ

(Dan Allah membenamkan ketakutan ke dalam hati mereka).

Yaitu rasa takut yang sangat hebat dan rasa takut ini merupakan tentara Allah paling besar, yang tidak mungkin dilawan dengan jumlah dan persenjataan sebesar apapun. Tidak mungkin dihadapi oleh kekuatan dan kehebatan yang bagaimanapun.

Adapun yang mereka anggap kalaupun kekalahan menimpa mereka dari arah tertentu, maka itu tidak lain adalah dari benteng pertahanan mereka. Mereka merasa tenteram dengan kekokohannya. Padahal, siapa yang mempercayakan sepenuhnya kepada selain Allah, dia pasti akan terhina. Dan siapa yang bersandar kepada selain Allah pasti hal itu menjadi bencana terhadapnya.

Maka datanglah ketetapan dari langit yang menerpa hati sanubari mereka yang sebetulnya merupakan lahan keteguhan dan kesabaran atau kelemahan. Maka Allah lenyapkan kekuatan dan kekokohan hati itu, lalu membiarkan kelemahan dan ketakutan bertahta di dalamnya sehingga tidak ada lagi tipu daya serta kekuatan sehingga keadaan ini justru menjadi kemenangan kaum mukminin atas mereka.

Oleh karena itulah Allah  menyatakan:

يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ

(mereka memusnahkan rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman).

Semua itu adalah karena mereka pernah mengadakan kesepakatan dengan Nabi bahwa mereka boleh membawa barang-barang yang dapat diangkut seekor unta. Sebab itulah mereka menghancurkan atap-atap rumah yang mereka anggap masih baik. Mereka berikan keleluasaan bagi kaum mukminin akibat kejahatan mereka sendiri untuk menghancurkan rumah dan benteng-benteng mereka. Dengan demikian, sesungguhnya mereka sendirilah yang berbuat jahat terhadap diri mereka. Jadilah mereka sendiri yang mempunyai andil besar dalam kekalahan dan kehinaan tersebut.

Firman Allah :

فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي اْلأَبْصَارِ

(Maka ambillah (peristiwa itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan).

Artinya, bashirah yang tajam, akal yang sempurna. Karena sesungguhnya di dalam kejadian ini terdapat pelajaran yang membantu mengenal bagaimana Allah  berbuat terhadap orang-orang yang keras kepala dan menentang kebenaran (Al-Haq), serta mengikuti hawa nafsunya. Di mana tidak berguna lagi kemuliaan mereka. Kekuatan mereka pun tidak mampu menolong mereka, bahkan benteng mereka tidak dapat melindungi mereka sedikitpun ketika datang kepada mereka keputusan Allah. Hukuman atas dosa-dosa mereka pun menimpa mereka.

Pelajaran (hukum) yang diambil berdasarkan keumuman lafadz suatu nash (ayat atau hadits) bukan berdasarkan sebab yang khusus.

Sehingga, dapat dipahami bahwa ayat yang mulia ini merupakan alasan (dalil) adanya perintah untuk melakukan i’tibar (perbandingan, mengambil pelajaran). Termasuk di sini menilai suatu hal dengan hal yang semisal dengannya, atau menganalogikan (kias) suatu perkara kepada yang menyerupainya, juga memikirkan makna-makna dan hukum yang terdapat di dalam ketetapan-ketetapan tersebut. Di sinilah tempat berperannya akal dan pikiran. Melalui hal ini, pemahaman akan semakin bertambah, bashirah semakin terang, dan iman juga semakin meningkat. Selanjutnya, pemahaman yang hakikipun akan dapat diperoleh.

Kemudian Allah menerangkan bahwa orang-orang Yahudi ini tidaklah merasakan semua hukuman yang pantas mereka terima. Artinya, Allah  sesungguhnya telah memberi keringanan bagi mereka.

Seandainya bukan karena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap mereka dan menentukan takdir yang sama sekali tidak dapat diganti dan berubah, tentulah ada perkara lain berupa adzab dunia yang akan mereka rasakan. Akan tetapi mereka, –meskipun tidak mengalami adzab yang berat di dunia– sesungguhnya mereka di akhirat telah disediakan adzab neraka yang tidak satupun mengetahui kedahsyatannya kecuali Allah .

Sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikiran mereka bahwa hukuman mereka telah selesai dan tidak ada lagi yang tersisa. Karena siksaan yang Allah sediakan bagi mereka di akhirat jauh lebih berat dan lebih mengerikan. Semua ini adalah karena mereka telah menentang Allah dan Rasul-Nya. Mereka memusuhi dan memerangi Allah dan Rasul-Nya, bahkan bersegera dalam mendurhakai Allah dan Rasul-Nya. Demikianlah sunnatullah (ketetapan Allah) terhadap orang-orang yang menentang-Nya.

Firman Allah :

وَمَنْ يُشَاقِّ اللهَ فَإِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

(Barangsiapa menentang Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya).

Artinya, tatkala orang-orang Yahudi Bani Nadhir mencela Rasulullah  dan kaum mukminin yang menebang pohon-pohon kurma, bahkan menuduh mereka berbuat kerusakan, mereka merasa mendapat jalan untuk mengecam kaum muslimin. Maka Allah menerangkan bahwa penebangan pohon-pohon kurma ataupun membiarkannya tetap tumbuh adalah dengan seizin Allah dan perintah-Nya, وَلِيُخْزِيَ الْفَاسِقِينَ (dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik).

Artinya, di sini Allah memberikan kekuasaan kepada kaum mukminin untuk menebang dan membakar pohon-pohon tersebut agar menjadi hukuman dan kehinaan bagi mereka di dunia. Kemudian, dengan tindakan ini dapat diketahui betapa sempurnanya kelemahan mereka yang sama sekali tidak mampu menyelamatkan pohon-pohon kurma itu yang merupakan modal kekuatan mereka.

Firman Allah : لِينَةٍ adalah kata yang meliputi semua pohon kurma menurut pendapat yang paling tepat dan lebih utama.

Inilah keadaan Bani Nadhir. Lihatlah bagaimana Allah menghukum mereka di dunia, kemudian menerangkan tentang kepada siapa jatuhnya semua harta benda dan kekayaan mereka.

Allah  berfirman:

وَمَا أَفَاءَ اللهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْهُمْ

(Dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka), yakni dari Bani Nadhir .

Sesungguhnya kalian wahai kaum muslimin untuk mendapatkan itu sama sekali,

مَا أَوْجَفْتُمْ عَلَيْهِ مِنْ خَيْلٍ وَلاَ رِكَابٍ

(kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun).

Maksudnya, kalian wahai muslimin sama sekali tidak harus bersusah payah memperolehnya, dengan mengerahkan jiwa raga dan kendaraan kalian. Allah telah melemparkan rasa takut yang sangat hebat ke dalam hati mereka, hingga akhirnya mereka datang menyerah kepada kalian. Karena itulah Allah  berfirman:

وَلَكِنَّ الله يُسَلِّطُ رُسُلَهُ عَلَى مَنْ يَشَاء وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

(tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu).

Sebagai kesempurnaan kodrat-Nya, maka tidak ada satupun yang dapat menghalangi-Nya dan tidak ada satupun kekuatan yang dapat mengalahkan-Nya.

Al Fai-i menurut istilah para ulama ahli fikih adalah harta orang-orang kafir yang diambil dengan alasan yang haq (benar) tanpa melalui pertempuran. Seperti harta (Bani Nadhir ) ini, di mana mereka lari dan meninggalkannya karena takut kepada kaum muslimin. Dan harta ini dinamakan fai-i. Karena harta ini berpindah dari tangan orang-orang kafir yang tidak berhak, kepada kaum muslimin yang lebih berhak dan hukumnya berlaku secara umum.

Wallahu A’lam. Insya Allah bersambung (Perang Dzatu Riqa’).

 


[1] Ini berdasarkan keterangan Ibnu Syihab Az-Zuhri dan Al-Imam Al-Bukhari t yang menyatakan bahwa perang Bani Nadhir ini terjadi 6 bulan sesudah perang Badr Al-Kubra. Dan ini adalah kekeliruan Az-Zuhri, atau kesalahan orang yang menukil dari beliau. Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad (3/249) menerangkan: “Tidak syak lagi bahwa peristiwa ini terjadi setelah perang Uhud. Adapun yang terjadi setelah perang Badr adalah perang Bani Qainuqa’. Jadi, peperangan Rasulullah  melawan Yahudi terjadi empat kali, yang pertama dengan Bani Qainuqa’ yaitu setelah Badr, yang kedua dengan Bani Nadhir setelah perang Uhud, yang ketiga dengan Bani Quraizhah setelah peristiwa Khandaq, dan keempat dengan Yahudi Khaibar setelah peristiwa Hudaibiyah. Wallahu a’lam.