PENJELASAN SYAIKH ABU BUTHOYN TENTANG MACAM-MACAM TAQLID

PENJELASAN SYAIKH ABU BUTHOYN TENTANG MACAM-MACAM TAQLID

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Penerjemah: al ustadz Abu Utsman Kharisman

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Abu Buthoyn (mufti Saudi di masanya, meninggal tahun 1282 H) rahimahullah menyatakan:

Taqlid terbagi menjadi 3 macam:

Pertama: taqlid setelah tegaknya hujjah dan nampak jelasnya dalil. Ini tidak boleh. Sebagaimana ucapan asy-Syafi’i rahimahullah: “Kaum muslimin sepakat bahwasanya barangsiapa yang telah jelas baginya Sunnah Rasulullah shollallahu alaihi wasallam, tidak boleh baginya meninggalkan Sunnah itu karena ikut ucapan orang lain”.

Kedua: Taqlid padahal mampu dalam mengkaji dan mencari dalil, ahli dalam hal itu. (Taqlid dalam hal semacam ini) tercela juga, karena kemampuan dia dalam memahami dalil.

Ketiga: Taqlid yang diperbolehkan, ada 2 macam:

1) Ia termasuk orang awam yang tidak memiliki pengetahuan tentang hadits dan fiqh. Tidak punya kemampuan dalam melihat ucapan para Ulama’. Orang yang semacam ini boleh taqlid, tanpa ada perbedaan pendapat Ulama (tentang kebolehannya dalam taqlid).

Jika orang awam itu mendapati permasalahan, ia bisa meminta fatwa kepada orang yang berdasarkan pengetahuan dia tergolong berilmu, adil, dan layak berfatwa serta mengajar. Syaikh Taqiyyuddin mempersyaratkan – bersamaan dengan itu- bahwa orang alim tersebut dikenal luas memang layak berfatwa.

2) Seseorang yang ahli dalam sebagian ilmu (Dien). (Misalkan) ia mempelajari fiqh dalam salah satu madzhab. Ia mengerti sebagian kitab-kitab pada Ulama madzhab tersebut yang mutaakhhirin, seperti kitab al-Iqnaa’ dan al-Muntahaa berdasarkan fiqh madzhab Hanabilah. Akan tetapi ia terbatas pandangannya dalam memahami dalil, dan (kesulitan) mengetahui mana pendapat yang rajih dari ucapan para Ulama. Ini juga diperbolehkan taqlid. Karena tidaklah wajib bagi dia kecuali sesuai kemampuan dia. Allah tidaklah membebani seseorang kecuali sesuai kemampuannya. Nash-nash yang disebutkan Ulama tentang bolehnya taqlid dalam hal semacam ini banyak. Hal ini berdasarkan firman Allah:

فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

Bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui (Q.S anNahl ayat 43)

Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Mengapa mereka tidak bertanya ketika mereka tidak tahu?! Sesungguhnya obat bagi ketidaktahuan adalah bertanya” (H.R Abu Dawud)
(Rosaail wa Fataawaa Aba Buthoyn (1/124))

Lafadz Asli dalam Bahasa Arab ??:

التقليد ثلاثة أنواع:
(أحدها): التقليد بعد قيام الحجة وظهور الدليل، فهذا لا يجوز، كما قال الشافعي -رحمه الله-:أجمع المسلمون على أن من استبانت له سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يكن له أن يدعها لقول أحد من الناس.
(النوع الثاني): التقليد مع القدرة على الاستدلال، والبحث عن الدليل بأن يكون متأهلا لذلك، فهذا مذموم -أيضا- لقدرته، وتمكنه من معرفة الدليل.
(النوع الثالث): التقليد السائغ، وهو نوعان:
(أحدهما): مَنْ كان مِن العوام الذين لا معرفة لهم بالحديث والفقه، وليس لهم نظر في كلام العلماء، فهؤلاء لهم التقليد بغير خلاف، فإذا وقعت له حادثة، استفتى مَنْ عَلِمَهُ عالما عدلا، ورآه منتصبا للإفتاء، والتدريس، واشترط الشيخ تقي الدين -مع ذلك- الاستفاضة بأنه أهل للفتيا.
(النوع الثاني): مَن كان متأهلا لبعض العلوم، قد تفقه في مذهب من المذاهب، وتبصر في بعض كتب متأخري الأصحاب كالإقناع، والمنتهى عند الحنابلة، ولكنه قاصر النظر عن معرفة الدليل، ومعرفة الراجح من كلام العلماء، فهذا له التقليد أيضا، إذ لا يجب عليه إلا ما يقدر عليه، ولا يكلف الله نفسا إلا وسعها. ونصوص العلماء على جواز التقليد لمثل هذا كثيرة، وذلك لقول الله -تعالى-: {فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ}
وقال النبي صلى الله عليه وسلم: “ألا سألوا إذا لم يعلموا، فإنما شفاء العي السؤال”