You are currently viewing Kemuliaan Darah dan Harta Kaum Muslimin

Kemuliaan Darah dan Harta Kaum Muslimin

  • Post author:
  • Post category:Aqidah

oleh Al Ustadz Kharisman

Hadits ke-8 Arbain anNawawiyyah

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللّهِ رواه البخاري ومسلم

Dari Ibnu Umar –semoga Allah meridhai keduanya (Ibnu Umar dan ayahnya)- bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Aku diperintah untuk memerangi manusia (orang musyrik selain Ahlul Kitab) hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, dan menegakkan sholat, menunaikan zakat, jika mereka melakukan hal tersebut, terjagalah dariku darah dan hartanya kecuali dengan hak Islam. Sedangkan perhitungannya di sisi Allah (H.R alBukhari dan Muslim)

TEMA : Kehormatan Darah dan Harta Kaum Muslimin

PENJELASAN UMUM:

Dalam hadits ini Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam diperintah oleh Allah untuk memerangi orang-orang musyrik hingga mereka melakukan 3 hal :
1. Bersaksi (syahadat) bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali hanya Allah dan Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam adalah utusan Allah.
2. Menegakkan sholat-sholat wajib.
3. Menunaikan zakat.
Kalau mereka sudah melaksanakan 3 hal tersebut, niscaya mereka telah masuk ke dalam Islam dan tidak boleh diperangi. Kaum muslimin wajib dijaga darahnya (tidak boleh dibunuh dan dilukai), hartanya (tidak boleh dirampas, ditipu, dan didzholimi).
Itu adalah hukum bagi mereka secara lahiriah (yang nampak dari ucapan dan perbuatan mereka). Hal-hal yang tersembunyi dalam hati (misalkan mereka terpaksa melakukan 3 hal itu dengan penuh kebencian dan memendam kemunafikan), diserahkan kepada Allah. Kaum muslimin yang lain hanyalah menerapkan hukum berdasarkan apa yang nampak secara lahiriah (dzhahir), perhitungan batiniah diserahkan kepada Allah. Kalau mereka secara lahir menampakkan Islam, sedangkan secara batin memendam kebencian/ kemunafikan, tetap diperlakukan sebagai kaum muslimin (terjaga darah, harta, dan kehormatannya) karena Allah tidak memerintahkan kaum muslimin untuk menggali isi hati manusia, tapi di dunia mereka diperlakukan sesuai ucapan dan perbuatan lahiriah mereka.

Ucapan Nabi : Aku Diperintah…

Jika dalam lafadz-lafadz hadits, terdapat kalimat :
أُمِرْتُ
Aku diperintah…
Artinya adalah Nabi diperintah (diberi wahyu) oleh Allah.
Sedangkan jika dalam lafadz-lafadz hadits terdapat perkataan Sahabat Nabi yang menyatakan :Kami diperintah, itu artinya para Sahabat diperintah oleh Nabi. Dalam ilmu hadits, hukumnya adalah marfu’ meski secara lafadz adalah mauquf (hukumnya adalah hukum dari Nabi bukan sekedar ijtihad seorang Sahabat).

Makna ‘Manusia’ dalam Hadits

Dalam hadits tersebut dinyatakan : Aku diperintah untuk memerangi ‘manusia’. ‘Manusia’ yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah orang-orang musyrik. Sebagaimana hadits riwayat anNasaai :

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ فَإِذَا شَهِدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَصَلَّوْا صَلَاتَنَا وَاسْتَقْبَلُوا قِبْلَتَنَا وَأَكَلُوا ذَبَائِحَنَا فَقَدْ حَرُمَتْ عَلَيْنَا دِمَاؤُهُمْ وَأَمْوَالُهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا

Aku diperintah untuk memerangi kaum musyirikin sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Jika mereka telah bersaksi tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya, sholat seperti sholat kita, menghadap ke arah kiblat kita, memakan daging sesembelihan kita, maka telah terjaga dari kita darah dan harta mereka kecuali dengan haknya (aturan syariat Islam)(H.R anNasaai dari Anas bin Malik).

Sikap terhadap orang musyrik (selain Ahlu Kitab) – jika kaum muslimin memiliki kekuatan dan kemampuan- adalah memerangi mereka hingga tersisa dua pilihan: masuk Islam dan menjalankan konsekuensinya, atau terus diperangi.
Terhadap orang-orang Ahlul Kitab ada 3 pilihan : masuk Islam, membayar jizyah, atau terus diperangi.

Tergantung Kemampuan Kaum Muslimin

Sikap tegas kaum muslimin terhadap kaum musyrikin dan Ahlul Kitab tersebut di atas hanya bisa dilakukan jika kaum muslimin memiliki kekuatan dan kemampuan. Sebagaimana seluruh perintah dari Allah harus berlandaskan pada kemampuan.

Di tiap waktu dan tempat keadaan kaum muslimin akan berbeda-beda. Suatu masa kaum muslimin lemah, berjumlah sedikit, dan tidak berdaya. Pada saat itu mereka diperintah untuk bersikap sabar dan menahan diri untuk tidak berperang. Secara bertahap kemampuan bertambah, hingga mereka diperintah untuk memerangi pihak-pihak yang memerangi mereka saja: Jika tidak memerangi, jangan diperangi. Dalam kondisi belum kokoh dan kuat, kadang juga disyariatkan jalur diplomasi. Seperti perjanjian Hudaibiyah di masa Nabi. Bertahap, bertahap, dan bertahap… hingga saat kaum muslimin sudah kuat dan punya kemampuan, maka pada saat itulah mereka diperintahkan untuk memerangi orang-orang kafir : musyrikin dan Ahlul Kitab dengan pilihan-pilihan seperti yang dikemukakan di atas. Pada kondisi itulah berlaku firman Allah:

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ

Dan perangilah mereka (orang-orang kafir) hingga tidak ada lagi fitnah (kekafiran dan kesyirikan) dan agama seluruhnya hanya milik Allah (Q.S al-Anfaal:39).

Kelemahan dan ketidakmampuan kaum muslimin bukanlah karena kekuatan musuh-musuhnya, namun karena kurangnya keimanan (tauhid) dan ketaatan mereka kepada Allah, sehingga Allah tidak menurunkan pertolonganNya.

Keadilan Islam dalam Berperang

Islam adalah agama yang adil dalam segala hal. Bahkan dalam memerangi musuh, terdapat syariat dan adab-adab dalam berperang, di antaranya:
– Penyerangan tidak langsung dilakukan, namun terlebih dahulu didahului dengan dakwah secara lisan atau tulisan.
– Tidak boleh membunuh atau menyerang orang yang sudah tua, wanita, dan anak-anak. Kecuali mereka adalah pihak yang terlibat dan mendukung langsung dalam memerangi kaum muslimin.
– Tidak mencincang tubuh musuh dan tidak menganiaya mereka sebelum membunuhnya.
– Tidak membakar bangunan, merobohkan, memotong pohon dan tumbuhan yang berbuah kecuali jika ada kemaslahatan.
– Tidak membunuh binatang ternak kecuali menyembelihnya secara syar’i untuk dimakan.
Rincian tentang hal itu bisa dijumpai dalam kitab-kitab fiqh para Ulama’

Orang Kafir yang Tidak Boleh Dibunuh

Terdapat 3 jenis orang kafir yang tidak boleh dibunuh :
1. Kafir adz-Dzimmi (orang-orang kafir Ahlul Kitab yang hidup di negeri kaum muslimin dengan aman dan membayar jizyah).
Dalilnya: Qur’an surat atTaubah ayat 29.
2. Kafir al-Mu’ahad (orang-orang yang memiliki perjanjian dengan kaum muslimin untuk tidak saling memerangi). Seperti orang-orang musyrikin yang terlibat perjanjian Hudaibiyyah dengan Nabi untuk tidak saling memerangi.
3. Kafir al-Musta’min (orang-orang kafir yang masuk ke dalam negeri kaum muslimin dengan jaminan keamanan dari pemerintah muslim atau jaminan keamanan dari satu orang saja dari kaum muslimin). Dalilnya : Qur’an surat atTaubah ayat 6.
Ketiga jenis orang kafir ini darahnya terjaga, tidak boleh ditumpahkan. Barangsiapa yang membunuh orang kafir jenis ini, maka ia harus :
a. Membayar diyat, jika ahli warisnya bukan orang kafir harbi (yang memerangi kaum muslimin).
Pembahasan tentang diyat secara panjang lebar terdapat dalam kitab fiqh. Sebagai contoh: diyat untuk orang kafir Ahlul Kitab adalah setengah dari diyat muslim. Diyat seorang muslim merdeka adalah 1000 mitsqal emas (sekitar 4200 kg emas), atau 100 unta, atau 200 sapi, atau 2000 kambing. (Sungguh besar sekali nominal diyat yang harus dibayar!!).
b. Membayar kaffarat : memerdekakan budak mukmin atau berpuasa 2 bulan berturut-turut. Pendapat keharusan membayar kaffarat ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) Ulama’ dan dipilih juga oleh Syaikh al-Utsaimin.

Pemerintah Muslim Memerangi Orang yang Tidak Berzakat

Pada masa kekhalifahan Abu Bakr terdapat orang-orang yang enggan menyerahkan zakat. Maka Abu Bakr bertekad untuk memerangi mereka. Namun sempat dicegah oleh Umar bin al-Khottob dengan menyatakan :

Apakah engkau akan memerangi orang yang mengucapkan syahadat Laa Ilaaha Illallaah? Padahal Nabi bersabda: Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah. Barangsiapa yang bersaksi demikian maka akan terjaga dariku harta dan jiwanya kecuali dengan haknya dan perhitungan (hisabnya) ada di sisi Allah. Abu Bakr menyatakan : Demi Allah, sungguh-sungguh aku akan perangi orang-orang yang memisahkan antara sholat dengan zakat (mau sholat tapi tidak mau zakat), karena sesungguhnya zakat adalah hak harta. Demi Allah, kalau seandainya mereka tidak memberikan kepadaku tali untuk menggiring binatang ternak zakat yang biasa mereka berikan pada Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam, niscaya aku akan perangi mereka.

Hingga kemudian Umar bisa menerima hujjah yang disampaikan Abu Bakr dan mendukungnya (kisah tersebut terdapat dalam Shahih alBukhari dan Muslim).

CATATAN :

Abu Bakr dan Umar –semoga Allah meridhai mereka berdua- sama-sama mendengar hadits Nabi dengan lafadz:

Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah. Barangsiapa yang bersaksi demikian maka akan terjaga dariku harta dan jiwanya kecuali dengan haknya dan perhitungan (hisabnya) ada di sisi Allah.

Lafadz hadits yang didengar oleh mereka berdua tidak ada tambahan keterangan : menegakkan sholat dan menunaikan zakat. Karena itu Umar mencegah Abu Bakr dan menganggap kalau orang sudah bersyahadat maka ia tidak boleh diperangi. Namun Abu Bakr memiliki pemahaman yang lebih dibandingkan Umar dalam memahami hadits tersebut. Dalam lafadz hadits yang sama-sama mereka ketahui itu, Nabi memberikan perkecualian : …kecuali dengan haknya. Maka Abu Bakr memahami bahwa hak harta adalah zakat. Barangsiapa yang tidak menunaikannya, maka ia telah masuk dalam perkecualian itu dan bisa diperangi. Hujjah Abu Bakr ini kuat dan akhirnya Umar bisa menerima.

Sedangkan Sahabat Nabi yang lain mendengar hadits dari Nabi dengan lafadz yang lebih lengkap, bahwa orang yang diperangi tidak hanya karena bersyahadat, tapi juga menegakkan sholat dan menunaikan zakat. Seperti pada riwayat Ibnu Umar dalam hadits yang kita bahas ini dan juga riwayat Abu Hurairah.

FAIDAH :

Hal tersebut menunjukkan bahwa kadangkala beberapa lafadz suatu hadits tidak diketahui oleh beberapa Sahabat, namun diketahui oleh Sahabat yang lain. Meski Sahabat yang tidak mendengar itu termasuk Sahabat yang lebih dulu masuk Islam, lebih besar keutamaannya, dan lebih sering bersama-sama Nabi (faidah disarikan dari Fathul Qowiyy al-Matiin karya Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad).

Kemulyaan Darah, Harta, dan Kehormatan Kaum Muslimin

Dalam hadits ini disebutkan 2 hal kemulyaan kaum muslimin, yaitu : darah dan hartanya. Dalam ayat dan hadits-hadits lain menunjukkan 1 hal tambahan kemulyaan kaum muslimin adalah pada kehormatan.
Seperti hadits Nabi pada saat Haji Wada’ :

فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا

Sesungguhnya harta, darah, dan kehormatan kalian adalah haram (dinodai kemulyaannya) di antara kalian, sebagaimana haram (kemulyaan) hari ini, di bulan ini, di negeri ini (H.R Muslim).

Darah saudara muslim adalah haram bagi kita. Mereka tidak boleh dilukai atau bahkan dibunuh. Harta saudara muslim adalah haram bagi kita. Tidak boleh dicuri, dirampas, ditipu, atau dipinjam uangnya dengan niat tidak dikembalikan. Kehormatan saudara muslim adalah haram bagi kita. Tidak boleh kita mencaci, mengejek, memfitnah, atau ghibah terhadap mereka.

Ini adalah hukum asal sikap terhadap sesama muslim. Hukum asal ini akan berubah sesuai dengan yang diatur dalam syariat Islam (hak Islam), misalnya : seorang muslim secara asal darahnya haram ditumpahkan, namun jika ia membunuh muslim lain secara sengaja, maka ia berhak untuk mendapat qishosh (dibunuh juga) kecuali dimaafkan oleh ahli waris pihak terbunuh. Demikian juga kasus-kasus lain, sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab Fiqh para Ulama’.

Sumber Rujukan :
Syarh alArbain anNawawiyyah dari Para Ulama’ (Syaikh Ismail bin Muhammad al-Anshary, Syaikh Muhammad Athiyyah Salim, Syaikh Sholih bin Abdil Aziz aalu Syaikh, Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad)