FIQH HUKUM PENGGUNAAN BEJANA (Bag ke-1)

FIQH HUKUM PENGGUNAAN BEJANA (Bag ke-1)

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Ditulis oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

????Penjelasan Bab

Bab ini akan menjelaskan tentang hukum-hukum terkait penggunaan bejana. Bejana yang dimaksud adalah segala bentuk media untuk menampung air atau makanan. Digunakan untuk bersuci atau makan dan minum, sehingga bejana bisa berupa timba, gayung, tempat air minum, piring, atau gelas, tempayan, dan semisalnya.

✅Apakah Hukum Menggunakan Bejana dari Emas dan Perak untuk Makan dan Minum?

Jawab : Hukumnya haram. Berdasar hadits:

لَا تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ والْفِضَّةِ، وَلَا تَأْكُلُوا فِي صِحَافِهَا، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَلَكُمْ فِي الْآخِرَةِ

Janganlah kalian minum dengan bejana dari emas dan perak, dan jangan makan dengan bejana yang terbuat dari keduanya. Karena itu bagi mereka (orang kafir) di dunia, dan bagi kalian (wahai orang beriman) di akhirat (Muttafaqun ‘alaih).

✅Bolehkah Menggunakan Bejana dari Emas atau Perak untuk Selain Makan dan Minum?

Jawab :

Para Ulama’ berbeda pendapat dalam hal itu. Jumhur (mayoritas) Ulama’ berpendapat tidak boleh. Sebagian lagi menyatakan boleh. Karena Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam melarang khusus untuk penggunaan makan dan minum saja. Ummul Mukminin, istri Nabi, Ummu Salamah juga memiliki al-juljul (tempat penyimpanan dengan semacam genta di dalamnya) yang terbuat dari perak (diriwayatkan alBukhari dalam Shahihnya). Pendapat yang lebih kuat adalah boleh. Namun, sebagai bentuk wara’ sebaiknya tidak digunakan untuk kehati-hatian (Syarh Riyadhus Sholihin Syaikh alUtsaimin (1/2162)).

Hal yang jelas tidak diperbolehkan adalah jika maksud penggunaannya untuk berbangga dan bermewah-mewah.

✅Jika sebuah bejana ada lubang atau retak, bolehkah ditambal dengan emas atau perak?

Jawab :

Tidak boleh ditambal dengan emas, namun boleh dengan perak. Syaratnya: tambalannya sedikit dan dilakukan karena keperluan bukan sebagai perhiasan.

Dalilnya adalah:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ قَدَحَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْكَسَرَ فَاتَّخَذَ مَكَانَ الشَّعْبِ سِلْسِلَةً مِنْ فِضَّةٍ

Dari Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu bahwa gelas Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam retak (sedikit pecah) maka beliau (menambal) tempat yang retak itu dengan jalinan dari perak (H.R alBukhari)

✅Bagaimana Hukum Menggunakan Bejana dan Pakaian yang Sebelumnya Pernah Dipakai Orang Kafir ?

Jawab :

Boleh dipakai jika telah suci dari najis. Jika terlihat ada najis pada benda-benda itu maka dicuci hingga suci, baru kemudian bisa dipakai. Jika tidak tampak adanya najis, maka boleh langsung digunakan.
Nabi dan para Sahabat pernah berwudhu dengan menggunakan tempat air besar dari kulit (mazaadah) milik seorang wanita musyrik (Muttafaqun ‘alaih, dinukil secara makna oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram).

Umar bin al-Khottob juga pernah berwudhu’ dari bejana (tempayan) milik orang Nashrani (riwayat asy-Syafi’i dan alBaihaqy, dishahihkan oleh asy-Syaukaany dalam Nailul Authar).

Namun, hendaknya penggunaan bejana orang kafir untuk makan dan minum adalah alternatif terakhir jika tidak ditemui lagi yang lainnya.

Dalam hadits, Abu Tsa’labah pernah bertanya:

يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنَّا بِأَرْضِ قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أَفَنَأْكُلُ فِي آنِيَتِهِمْ

Wahai Nabi Allah, sesungguhnya kami berada di negeri kaum Ahlul Kitab. Apakah kami boleh makan dari bejana mereka?

Nabi menjawab:

فَإِنْ وَجَدْتُمْ غَيْرَهَا فَلَا تَأْكُلُوا فِيهَا وَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَاغْسِلُوهَا وَكُلُوا فِيهَا

Kalau engkau bisa menemukan yang selainnya, janganlah makan dengan bejana itu, namun jika engkau tidak menemukan selainnya, cucilah, dan makanlah darinya (H.R alBukhari)

dikutip dari buku “Fiqh Bersuci dan Sholat”, Abu Utsman Kharisman, penerbit Cahaya Sunnah Bandung)