Kelompok-kelompok ini lupa –sebagian kecil- tentang persoalan ‘aqidah. Akhirnya, masing-masing mengajak kepada perbaikan soal-soal lain (yang bukan aqidah). Di antara mereka ada yang berdakwah kepada upaya memperbaiki sistem pemerintahan dan politik. Menuntut diterapkannya hukum Islam dalam kehidupan masyarakat.
Hal ini penting tapi bukan yang paling penting. Sebab, bagaimana mungkin masyarakat dituntut menerapkan hukum Allahterhadap para pencuri atau pezina padahal hukum Allah terhadap seorang musyrik sama sekali belum ditegakkan? Bagaimana mungkin diterapkan hukum Allah terhadap dua orang yang bersengketa karena seekor kambing atau unta, padahal belum pernah dituntut tegaknya hukum Allah terhadap para penyembah berhala, kuburan atau orang-orang yang menyimpang dalam masalah Asma’ dan sifat Allah, di mana mereka mengingkari nama-nama dan sifat-sifat tersebut bahkan merubah-rubah kalimat-kalimatnya?
Kekeliruan yang menafikan dakwah tauhid yang haq ini ialah adanya sebagian gerakan dakwah yang menjadikan Kekuasaan politik sebagai poin paling penting dalan dakwah mereka. Gerakan dakwah tersebut membawa kalimat (tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah) kepada makna tauhid yang khusus menurut mereka, yaitu tauhid Hakimiyah (kekuasaan pemerintahan, penetapan hukum); menggulingkan penguasa dari kedudukannya, menyulut fitnah dan kekacauan di tengah-tengah kaum muslimin. Bahkan mayoritas mereka sama sekali tidak mengerti ‘aqidah salaf yang diyakini kaum muslimin sedikitpun.
Tentu saja dakwah seperti itu akan bertentangan dengan dakwah para Nabi pilihan. Bahkan tidak ada kaitannya sama sekali gerakan-gerakan dakwah itu dengan dakwah para Nabi. Sungguh sangat jauh perbedaan dakwah mereka dengan dakwah para Nabi, baik titik pangkal dakwah maupun titik akhirnya.
Berikut ini beberapa contoh dakwah nabawiyah yang mengajak kepada tauhid dari sejarah hidup Nabi Yusuf dan bagaimana dakwahnya bermula dari dakwah Tauhid.
Nabi yang mulia ini, hidup di istana pembesar negeri Mesir. Beliau melihat berbagai kerusakan, memperoleh bagia kekuasaan cukup besar. Beliau hidup dalam situasi di lingkungan masyarakat yang di dalamnya tersebar paganisme; penyerahan ibadah kepada berhala-berhala, binatang-binatang dan bentuk berhalaisme lainnya.
Coba lihat, apakah beliau kemudian alihkan tujuan dan perhatian beliau kepada politik, mempengaruhi masssa, menggulingkan penguasa, ataukah tetap berangkat menjalankan dakwahnya dari arah di mana para pendahulu beliau (bapak-bapak beliau) yang mulia, di mana pemuka mereka adalah Nabi Ibrahim Khalilullah, imam para da’i yang mengajak kepada tauhid.
Nabiullah Yusuf mengikuti jalan para Rasul sebelum beliau dalam berdakwah kepada tauhid, mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah, memurnikan dan membersihkannya. Inilah, beliau menegaskan hal tersebut terang-terangan sebagaimana firman Allah yang mengisahkan hal ini:
وَاتَّبَعْتُ مِلَّةَ آبَائِي إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ ۚ مَا كَانَ لَنَا أَن نُّشْرِكَ بِاللَّهِ مِن شَيْءٍ
“Dan aku mengikuti agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya’qub. Tiadalah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah.” (Yusuf: 38)
Demikian pula Nabiullah Musa. Dakwah beliau bermula dari asas tauhid yang murni, seperti diceritakan oleh Allah:
وَأَنَا اخْتَرْتُكَ فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَىٰ ()إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada sesembahan yang haq selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Thaha 13-14)
Hal ini umum dalam setiap dakwah para Nabi dan Rasul. Titik awal dakwah mereka tidak lain adalah At Tauhid yang murni dan tahdziir dari semua bentuk kekotoran serta penyimpangan terhadap tauhid tersebut. Maka sangatlah pantas bagi mereka yang ingin berhasil dan diterima dakwahnya di sisi Allah serta ingin memetik buahnya, memiliki antusias yang besar untuk memahami prinsip ushul ini dalam berdakwah.
Hendaknya juga, dia tidak menyibukkan diri dengan hal-hal selain tauhid, di mana sekarang ini digelar dengan label dakwah melalui berbagai jalan yang rusak dan kekotoran bid’ah yang mengenakan mantel Islam, namaun sama sekali tidak bertumpu pada pilar-pilar yang kokoh yaitu tauhid.
( Dikutip dari buku Manhaj Dakwah Salafiyah, Pustaka Al HAURA)