You are currently viewing MENEPIS TIPU DAYA FIRANDA, MEMBELA ULAMA SUNNAH (3)

MENEPIS TIPU DAYA FIRANDA, MEMBELA ULAMA SUNNAH (3)

بسم الله الرحمن الرحيم

MENEPIS TIPU DAYA FIRANDA, MEMBELA ULAMA SUNNAH

Oleh : Luqman bin Muhammad Ba’abduh

Bagian 3 : Ciri ahlul bid’ah: Mencela ‘Ulama Sunnah

Tulisan pada bagian ini kami sajikan pembahasan tentang bahaya mencela atau menjatuhkan kredibilitas seorang ‘ulama sunnah. Karena para ‘ulama sejak generasi salaf hingga saat ini menjadikan perbuatan ini sebagai salah satu tanda seorang sebagai ahlul bid’ah.

Terkhusus saudara Firanda, kami harapkan pembahasan dalam bagian ini kembali menjadi sebuah teguran untuk segera bertaubat, beristighfar, dan memohon ampun kepada Allah, serta meninggalkan kebiasaannya mencela atau menjatuhkan kredibilitas ‘ulama sunnah, terkhusus dalam hal ini al-’Allamah asy-Syaikh Rabi’ al-Madkhali hafizhahullah, atau yang lainnya.

Kami berharap kepada semua pembaca untuk mengikutinya dengan seksama, agar bisa mengetahui keterkaitan pembahasan pada bagian ke-3 ini dengan bagian sebelumnya dan yang akan datang – insya Allah – sebagai satu kesatuan.

Ketahuilah bahwa para ‘ulama sejak dahulu kala telah menyebutkan cinta dan hormat kepada para ‘ulama sunnah sebagai salah satu ciri Ahlus Sunnah. Sehingga apabila didapati seseorang yang mencintai ‘ulama sunnah, menyebutkan kebaikan dan keutamaannya, maka dia akan dinilai sebagai seorang Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Sebaliknya apabila didapati seseorang yang mencoba menjatuhkan kredibilitas seorang ‘ulama sunnah – baik secara terang-terangan dan arogan, ataupun dengan cara halus dan tipu daya – mereka mencapnya sebagai ahlul bid’ah yang memiliki penyimpangan.

Tentu hal ini bukan bermakna bahwa Ahlus Sunnah:

– meyakini bahwa ‘ulama mereka ma’shum yang tidak mungkin salah,

– bertaklid buta kepada ‘ulama-nya,

– mendiamkan atau tidak mengingkari kesalahan yang terjadi pada para ‘ulamanya.

Ahlus Sunnah tetap berkeyakinan ‘ulama mereka adalah manusia biasa, yang bisa ingat atau lupa, bisa benar atau salah. Sehingga Ahlus Sunnah sejak dahulu kala – terkhusus dalam hal ini para ‘ulamanya – membantah kesalahan-kesalahan yang terjadi pada ‘ulama Ahlus Sunnah lainnya. Namun, tentunya bantahan dan penjelasan tentang kesalahan tersebut dilakukan dengan penuh keilmiahan dan tetap menjaga kehormatan atau kredibilitas ‘ulama tersebut di mata umat. Tidak dipahami oleh umat kritikan itu sebagai bentuk tanfir (upaya menjauhkan umat) dari ‘ulama yang dikritik tersebut.

Berbeda dengan yang dilakukan oleh Ali Hasan al-Halabi, Abul Hasan al-Ma’ribi, Muhammad Hassan al-Mishri, dan para pengikutnya – termasuk saudara Firanda – dalam sikap mereka terhadap asy-Syaikh al-’Allamah Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah. Sebagaimana akan semakin jelas kepada para pembaca – insya Allah – pada bagian-bagian berikutnya dari tulisan ini.

* Berikut ini pernyataan para ‘ulama salaf :

Al-Imam Abu Hatim Muhammad bin Idris ar-Razi [1] rahimahullah :

عَلامَة أهل الْبدع الوقيعة فِي أهل الأَثر

“Ciri-ciri Ahlul Bid’ah adalah mencela Ahlul Atsar (‘ulama sunnah).” [2]

Sudah dapat dipastikan berdasarkan keterangan ‘ulama sunnah dan para imam Dakwah Salafiyyah di zaman ini, bahwa asy-Syaikh al-’Allamah Rabi’ bin Hadi al-Madkhali merupakan salah satu ahlul atsar di zaman ini. Sebagaimana telah kami cantumkan pernyataan mereka pada bagian pertama dan kedua tulisan ini.

Ahmad bin Sinan al-Qaththan [3] rahimahullah berkata,

لَيْسَ فِي الدُّنْيَا مُبْتَدِعٌ إِلَا وَهُوَ يُبْغِضُ أَهْلَ الْحَدِيثِ، وَإِذَا ابْتَدَعَ الرَّجُلُ بِدْعَةً نُزِعَتْ حَلَاوَةُ الْحَدِيثِ مِنْ قَلْبِهِ

“Tidak ada seorang mubtadi’ pun di dunia ini kecuali dia membenci Ahlul Hadits (‘ulama sunnah). Apabila seseorang membuat satu bid’ah, niscaya akan dicabut manisnya hadits (Sunnah) dari hatinya.” [4]

Abu ‘Utsman ash-Shabuni [5] rahimahullah berkata,

وعَلاماتُ أَهلِ البدَعِ عَلى أَهلِهَا بَادِيَةٌ ظَاهِرَةٌ، وأَظهرُ آيَاتِهِمْ وعَلاَمَاتِهِمْ شِدَّةُ مُعَادَاتِهِمْ لِحَمَلةِ أَخْبَارِ النَّبِيِّ- صلى الله عليه وعلى آله وسلم- وَاحْتِقَارُهِمْ لَهُمْ، وَاسْتِخْفَافُهِم بِهِمْ

“Tanda-tanda ahlul bid’ah pada diri orangnya sangat jelas dan tampak. Tanda-tanda dan ciri-ciri mereka yang paling tampak adalah permusuhan yang sangat kuat terhadap para pengemban hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pelecehan, dan perendahan terhadap mereka.” [6]

Asy-Syaikh al-’Utsaimin rahimahullah berkata,

لأهل البدع علامات منها :

1- أنهم يتصفون بغير الإسلام والسنة بما يحدثونه من البدع القولية والفعلية والعقائدية.

2- أنهم يتعصبون لآرائهم فلا يرجعون إلى الحق وإن تبين لهم.

3- أنهم يكرهون أئمة الإسلام والدين.

Ahlul bid’ah padanya ada tanda-tanda, di antaranya:

  1. Mereka bersifat dengan selain Islam dan Sunnah, dengan sebab berbagai bid’ah yang mereka munculkan, baik bid’ah qauliyyah (ucapan), fi’liyyah (perbuatan), maupun aqa’idiyyah (aqidah/keyakinan)
  2. Mereka fanatik buta terhadap pendapat-pendapat (bid’ah)nya. Tidak mau rujuk kepada al-Haq (kebenaran) meskipun telah jelas kebenaran tersebut kepada mereka.
  3. Mereka membenci para imam (‘ulama) Islam dan agama.

(lihat kitab Syarh Lum’atul I’tiqad karya beliau)

Kalau pernyataan-pernyataan ‘ulama di atas bersifat global, maka berikut ini adalah pernyataan para ‘ulama sunnah yang bersifat khusus dengan menyebutkan nama-nama tertentu.

‘Abdurrahman bin Mahdi [7] rahimahullah berkata,

اِبْنُ عَوْنَ فِي الْبَصْرِيِّيْنَ إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يُحِبُّهُ فَاطْمَئِنْ إِلَيْهِ، وَفِي الكُوْفِيِّيْنَ : مَاِلكُ بن مِغْوَلِ ،وَزَائِدَةُ بن قُدَامَةَ ،إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يُحِبُّهُ فَارْجُ خَيْرَهُ، وَمِنْ أَهْلِ الشَّامِ : الأَوْزَاعِي وَأَبُو إِسْحَاقَ الفَزَارِي، وَمِنْ أَهْلِ الحِجَازِ: مَالِكُ بن أَنَسٍ

“Ibnu ‘Aun [8] di kalangan penduduk kota Bashrah, apabila kamu melihat seseorang mencintainya, maka percailah dia (sebagai orang yang beraqidah Ahlus Sunnah). Di kalangan penduduk kota Kufah: Malik bin Mighwal [9], Za`idah bin Qudamah [10]; apabila kamu melihat seseorang mencintainya maka berharaplah akan kebaikannya. Di kalangan penduduk Syam: al-Auza’i [11] dan Abu Ishaq al-Fazari [12]. Dan dari kalangan penduduk Hijaz: Malik bin Anas. [13] [14]

‘Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata,

إِذَا رَأَيْتَ الشَّامِيَّ يُحِبُّ الأَوزَاعِيَّ وَأَبَا إِسْحَاقَ الفزاري فَارْجُ خَيْرَهُ.

“Apabila kamu melihat seorang penduduk Syam mencintai al-Auza’i dan Abu Ishaq al-Fazari, maka berharaplah akan kebaikan orang tersebut.”

‘Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah juga berkata,

إِذَا رَأَيْتَ الشَّامِيَّ يُحِبُّ الأَوزَاعِيَّ وَأَبَا إِسْحَاقَ الفَزَارِي ؛فَهُوَ صَاحِبُ سُنَّةٍ

“Apabila kamu melihat seorang penduduk Syam mencintai al-Auza’i dan Abu Ishaq al-Fazari, maka dia adalah seorang ahlus Sunnah.”

إِذَا رَأَيْتَ بَصْرِيًّا يُحِبُ حَمَّادَ بن زَيْدٍ فَهُوَ صَاحِبُ سُنَّةٍ

“Apabila kamu melihat seorang dari penduduk Bashrah mencintai Hammad bin Zaid [15], maka dia seorang ahlus Sunnah.”

Qutaibah bin Sa’id rahimahullah berkata,

إِذَا رَأَيتَ الرجُلَ يُحبُّ أَهلَ الحديثِ؛ مِثْلُ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ وَعَبْدِ الرَّحْمَن بْنِ مَهْدِي، وأَحْمَدَ بْنِ حَنْبَل، وإِسْحَاقَ بْنِ رَاهَوَيْه. . . وَذَكَرَ قَوْمًا آخَرِين؛ فإِنَّهُ عَلَى السُّنَّةِ، وَمَنْ خَالَفَ هَؤُلاَء فَاعْلَمْ أَنَّهُ مُبْتَدِعٌ!

“Apabila kamu melihat seseorang mencintai ahlul hadits (‘ulama sunnah), seperti Yahya bin Sa’id, ‘Abdurrahman bin Mahdi, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih , … (beliau menyebut sekian nama lainnya), maka orang tersebut berada di atas sunnah. Barangsiapa yang menyelisihi mereka (para ‘ulama sunnah), ketahuilah dia itu mubtadi’!!

(atsar-atsar di atas lihat kitab Lammud Durril Mantsur)

Perhatikan berbagai keterangan ‘ulama salaf di atas, dengan tegas mereka menyebutkan nama-nama ‘ulama tertentu yang kecintaan kepada mereka merupakan tolok ukur kelurusan aqidah dan manhajnya, sementara kebencian kepada mereka merupakan tanda bahwa ia adalah ahlul bid’ah.

* Sikap menguji kelurusan aqidah dan manhaj seseorang dengan kecintaannya kepada ‘ulama sunnah merupakan salah satu manhaj salaf yang telah banyak dilupakan.

Berikut ini pernyataan ‘ulama salaf yang menganjurkan kepada umat untuk menguji aqidah dan manhaj seseorang, apakah dia seorang Ahlus Sunnah ataukah Ahlul Bid’ah, dengan kecintaan kepada ‘ulama sunnah. Hal ini merupakan salah satu pedoman penting yang mereka bimbingkan, terkhusus ketika seorang muslim tidak mengetahui atau meragukan aqidah dan manhaj seseorang yang datang kepadanya atau yang dia temui. Kaidah ini sangat bermanfaat bagi setiap muslim yang hidup pada zaman yang penuh fitnah dan penyimpangan, atau di zaman yang banyak bermunculan tokoh-tokoh bid’ah yang berpakaian salafi. Sehingga tidak sedikit umat yang tertipu dan mengikuti jejak mereka.

al-Imam Sufyan ats-Tsauri [16] rahimahullah berkata,

اِمْتَحِنُوا أَهْلَ الْمَوْصِل بِالْمُعَافَى بن عِمْرَان

“Ujilah penduduk kota al-Maushil dengan al-Mu’afa bin ‘Imran. [17]

Maksudnya, “Ujilah kelurusan aqidah atau manhaj penduduk negeri Maushil dengan sikap mereka terhadap ‘ulama sunnah di negeri tersebut yang bernama al-Mu’afa bin ‘Imran.” Jika didapati seorang yang mencintai beliau, memuji, dan menyebutkan kebaikan-kebaikan beliau, maka didapati padanya ciri-ciri seorang Ahlus Sunnah. Apabila ternyata ada seorang  penduduk negeri tersebut yang mencoba menjatuhkan kredibilitasnya, maka dia adalah Ahlul Bid’ah.

Ahmad bin ‘Abdillah bin Yunus [18]  rahimahullah berkata,

اِمْتَحِنُوا أَهْلَ الْمَوصِل بِمُعَافَى بن عِمْرَان؛ فَإِنْ أَحَبُّوهُ فَهُم أَهْلُ السُّنَّةِ، وَإِنْ أَبْغَضُوهُ فَهُمْ أَهْلُ البِدْعَةِ، كَمَا يُمْتَحَنُ أَهْلُ الكُوْفَة بِيَحْيَى.

“Ujilah penduduk al-Maushil dengan Mu’afa bin Imran, apabila mereka mencintainya berarti mereka Ahlus Sunnah, apabila membencinya berarti mereka ahlul bid’ah. Sebagaimana pula penduduk Kufah diuji dengan Yahya. [19]

Ahmad bin ‘Abdillah bin Yunus rahimahullah juga berkata,

كَانَ سُفْيَانُ إِذَا جَاءَهُ قُوْمٌ مِنْ أَهْلِ الْمَوصِل اِمْتَحَنَهُمْ بِحُبِّ الْمُعَافَى، فَإِنْ رَآهُمْ كَمَا يَظُنُّ، قَرَّبَهُمْ وَأَدْنَاهُم، وَإِلاَّ فَلاَ.

“Dulu Sufyan ats-Tsauri apabila ada sekelompok orang dari penduduk Maushil datang kepada beliau, maka beliau menguji mereka dengan kecintaan kepada al-Mu’afa. Jika beliau melihat mereka seperti yang beliau sangka (yakni mencintai Mu’afa), maka beliau mendekatkan mereka. Jika tidak demikian (yakni tidak mencintai Mu’afa), maka beliau pun tidak (mendekatkan) mereka.”

Perhatikan baik-baik sikap para ‘ulama salaf di atas, mereka sangat berhati-hati dalam bergaul dan berkawan, demi menjaga keselamatan aqidah dan manhajnya. Sehingga jika datang kepada beliau seorang dari negeri tertentu yang tidak beliau kenal aqidah dan manhajnya,  maka beliau menguji orang tersebut dengan sikap dan penilaiannya terhadap ‘ulama sunnah di negeri tersebut. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membantu kita semua untuk beramal dengan manhaj salaf yang mulia ini, terkhusus di masa-masa penuh fitnah dan penyimpangan seperti sekarang ini. Kalau Ahlul Bid’ah dahulu lebih berterus terang dalam menampakkan kebenciannya terhadap ‘ulama sunnah, maka di zaman ini bermunculan Ahlul Bid’ah yang berpakaian salafi, berucap dengan ucapan yang mirip dengan kaum salafi, mengajarkan kitab-kitab ‘ulama salaf, namun mereka menyimpan kebencian kepada ‘ulama sunnah, terkhusus ‘ulama yang gigih berjuang membela sunnah dan membantah ahlul bid’ah. Kalau di zaman kita ini asy-Syaikh al-’Allamah Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah adalah ‘ulama yang paling menonjol dalam bidang ini, sebagaimana telah lalu dalam penjelasan pada bagian pertama dan kedua. Kebencian Ahlul Bid’ah tersebut sungguh telah tampak dari mulut-mulut mereka, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi, dan kebencian yang ada dalam qalbu mereka lebih besar lagi.

{قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ (118)} [آل عمران: 118]

“Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepada kalian ayat-ayat (Kami), jika kalian memahaminya.” (Ali ‘Imran : 118)

Untuk menegaskan pembahasan pada bagian ini, kami menukil kembali pernyataan asy-Syaikh al-’Allamah Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah tentang orang yang mencoba menciptakan keraguan di tengah umat tentang keilmuan dan kelurusan manhaj asy-Syaikh Rabi’ al-Madkhali hafizhahullah, dan mengesankan bahwa manhaj atau metode tahdzir beliau bertentangan dengan ulama salaf, atau para imam dakwah salafiyah zaman ini. Pernyataan beliau tersebut tertuang dalam sebuah tanya jawab yang diajukan kepada beliau sebagai berikut:

 

Penanya : Walaupun (telah tegas) sikap kedua syaikh yang mulia, yaitu (asy-Syaikh) Rabi’ bin Hadi al-Madkhali dan (asy-Syaikh) Muqbil bin Hadi al-Wadi’i dalam memerangi kebid’ahan dan berbagai pernyataan (aqidah) yang menyimpang. Sebagian pemuda mencoba menciptakan keraguan tentang kedua syaikh (yang mulia tersebut) bahwa keduanya berada di atas prinsip salafi?

Asy-Syaikh Al-Albani menjawab : ” … . Maka merendahkan kedua syaikh tersebut yaitu asy-Syaikh Rabi’ dan asy-Syaikh Muqbil – dua tokoh yang menyeru kepada al-Kitab dan as-Sunnah serta prinsip as-Salafush Shalih, juga memerangi orang-orang yang menyelisihi manhaj yang shahih ini – sebagaimana telah tampak kepada semua pihak, bahwa perbuatan tersebut (menjatuhkan kredibilitas dua syaikh yang mulia tadi) hanyalah muncul dari salah satu dari dua jenis orang:

–          Bisa saja hal itu muncul dari seorang yang jahil

–          Atau seorang pengekor hawa nafsu.

Adapun seorang yang jahil, masih mungkin hidayah untuknya. Karena dia menyangka bahwa dirinya berada di atas ilmu. Namun, jika telah nampak kepadanya ilmu yang benar, maka dia akan berjalan di atas hidayah.

Adapun seorang pengekor hawa nafsu maka tidak ada jalan bagi kita, kecuali  Allah memberikan hidayah kepadanya.

Mereka yang mengkritisi dua syaikh tersebut (asy-Syaikh Rabi’ dan asy-Syaikh Muqbil) bisa saja seorang yang jahil maka diberi pelajaran, atau dia adalah seorang pengekor hawa nafsu, maka berlindung kepada kepada Allah dari kejahatannya, dan kita memohon kepada Allah agar memberikan hidayah kepadanya atau semoga Allah turunkan padanya musibah/bala’.”

Semoga saudara Firanda bisa merenungi ucapan asy-Syaikh al-Albani di atas, apakah dia:

–     tergolong seorang yang jahil tentang keilmuan dan kelurusan manhaj asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah. Maka dari itu, kami nasehatkan untuk banyak membaca karya-karya beliau dengan jujur dan ikhlash guna mengambil faidah-faidah ilmiah, baik dalam bidang bantahan-bantahan beliau terhadap ahlul bid’ah atau pun dalam bidang rijalul hadits, ‘ilalul hadits, aqidah, manhaj, serta kesabaran dan keuletan beliau yang diiringi dengan sifat lembut atau keras pada tempatnya. Untuk kemudian dengan jujur dan ikhlash pula saudara Firanda menyampaikannya kepada umat dengan penuh keterbukaan, dan jauh dari kata-kata atau sikap yang penuh tipu daya.

–     Atau dia tergolong jenis kedua, yaitu seorang pengekor hawa nafsu yang sudah sangat lama memendam kebenciannya kepada asy-Syaikh Rabi’, sehingga tidak peduli lagi terhadap berbagai nasehat, tidak lagi mau mengakui secara jujur dan ikhlash berbagai keutamaan beliau  serta tidak mau meninggalkan berbagai kebiasaan dan manhajnya yang jelek itu dan terus berambisi mempertahankannya mengikuti jejak Ali Hasan al-Halabi dan orang-orang semisalnya. Jika demikian, dia terancam dengan doa asy-Syaikh al-Albani rahimahullah, ” … atau semoga Allah turunkan padanya musibah/bala’. ”  

(bersambung Insya Allah)

 al-Faqir ila ‘afwi wa ‘auni rabbihi

Luqman Muhammad Ba’abduh

Jember, 12 Dzulhijjah 1434 H / 17 Oktober 2013 M


[1]  Al-Imam al-Hafizh an-Naqid (kritikus) Syaikhul Muhadditsin, lautan ilmu yang sangat luas, cerdas dan jenius dalam    matn, sanad, menulis, jarh wa ta’dil, pen-shahih-an dan ‘ilal. (lihat Siyar a’lam an-Nubala’ XIII/248-262). Dari thabaqah ke-11 Wafat tahun 277 H. (lihat Taqrib at-Tahdzib).

[2]  Lihat Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah, oleh al-Lalika`i (I/179), Aqidatus Salaf ash-habil Hadits (105).

[3]  Ahmad bin Sinan bin Asad Abu Ja’far al-Qaththan al-Wasithi (dari negeri Wasith, salah satu bagian wilayah negeri Irak), tsiqah, hafizh (terpercaya, hafizh). Dari thabaqah ke-11. Wafat tahun 259 H. (lihat Taqrib at-Tahdzib). Berkata al-Imam Ibnu Abi Hatim, “Dia adalah imam (tokoh besar) umat di zamannya.” (lihat al-Kasyif karya adz-Dzahabi).

[4]  Lihat Aqidatus Salaf ash-habil Hadits (102).

[5]  Abu ‘Utsman Isma’il bin ‘Abdirrahman ash-Shabuni, tokoh besar ‘ulama pada abad 4 – 5 hijriah. Salah satu karya besarnya adalah kitab Aqidatus Salaf ash-habil Hadits. Wafat tahun 409 H.

[6]  Lihat Aqidatus Salaf ash-Habil Hadits 108.

[7]  ’Abdurrahman bin Mahdi bin Hassan al-Bashri tsiqah, tsabt, hafizh, sangat mengerti tentang tokoh-tokoh periwayat hadits dan tentang hadits. Ibnul Madini berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih berilmu tentangnya.” Dari thabaqah ke-9. Wafat tahun 198 H. (lihat Taqrib at-Tahdzib).

[8]  ’Abdullah bin ‘Aun bin Arthaban al-Bashri (dari negeri Bashrah, salah satu bagian wilayah negeri Irak), tsiqah, tsabt, fadhil (seorang yang terpercaya, kokoh, dan utama), termasuk seangkatan dengan al-Imam Ayyub as-Sakhtiyani dalam hal ilmu, amal, dan umur. Dari thabaqah ke-6. Wafat tahun 150 H. (lihat Taqrib at-Tahdzib).

[9]  Malik bin Mighwal al-Kufi (dari negeri Kufah, salah satu bagian wilayah negeri Irak), tsiqah, tsabt (terpercaya dan kokoh). Dari thabaqah ke-7. Wafat tahun 159 H. (lihat Taqrib at-Tahdzib).

[10]  Za`idah bin Qudamah Ats-Tsaqafi al-Kufi (dari negeri Kufah), tsiqah, tsabt, shahibu sunnah (seorang yang terpercaya, kokoh, dan pemegang teguh sunnah). Dari thabaqah ke-7. Wafat tahun 161 H ketika bertempur di negeri Romawi. (lihat Taqrib at-Tahdzib).

[11]  ’Abdurrahman bin ‘Amr, Abu ‘Amr al-Auza’i al-Faqih, seorang ‘ulama besar dari kalangan tabi’ut tabi’in;  tsiqah, jalil (terpercaya dan mulia). Dari thabaqah ke-7. (lihat Taqrib at-Tahdzib).

[12]  Ibrahim bin Muhammad, Abu Ishaq al-Fazari. Tsiqah, hafizh (terpercaya, hafizh) memiliki banyak karya tulis. Dari thabaqah ke-8. Wafat tahun 185 H. (lihat Taqrib at-Tahdzib).

[13]  Imam Daril Hijrah Malik bin Anas bin Malik , Abu ‘Abdillah al-Madani al-Faqih. ra’sul mutqinin wa kabir mutatsabitin (pimpinan para penghafal yang kuat, dan tokoh besar orang yang kokoh dalam hafalannya). Dari thabaqah ke-7. Wafat tahun 179 H. (lihat Taqrib at-Tahdzib).

[14]  Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah al-Lalika-i : 59.

[15]  Hammad bin Zaid bin Dirham al-Bashri (dari negeri Bashrah), tsiqah, tsabt, faqih (terpercaya, kokoh, ahli fiqih). Tokoh senior pada thabaqah ke-8. Wafat tahun 179. (lihat Taqrib at-Tahdzib)

[16]  Sufyan bin Sa’id bin Masruq ats-Tsauri al-Kufi (berasal dari negeri Kufah), tsiqah, hafizh, faqih ‘abid, imam hujjah. Senior thabaqah ke-7. Wafat tahun 161 H. (lihat Taqrib at-Tahdzib).

[17]  Al-Mu’afa bin ‘Imran Al-Azdi al-Fahmi. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “tsiqah, ‘abid, faqih” (seorang yang terpercaya, ahli ibadah, dan ahli fiqh). Dari thabaqah ke-9. Wafat tahun 185 H. (lihat Taqrib at-Tahdzib). Sufyan ats-Tsauri (salah seorang guru Mu’afa) berkata, “Dia adalah Intan Permata para ‘ulama.”

[18]  Ahmad bin ‘Abdillah bin Yunus at-Tamimi al-Kufi (dari negeri Kufah), tsiqah, hafizh. Tokoh senior dari thabaqah ke-10. Wafat tahun 220 H. (lihat Taqrib at-Tahdzib)

[19]  Wallahu A’lam siapa yang dimaksud dengan Yahya di sini.

http://dammajhabibah.net/2013/10/17/menepis-tipu-daya-firanda-membela-ulama-sunnah-3/