DOA DALAM SHOLAT JENAZAH
456-وَعَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ – رضي الله عنه – قَالَ: – صَلَّى رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَلَى جَنَازَةٍ، فَحَفِظْتُ مِنْ دُعَائِهِ: “اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ, وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ, وَاعْفُ عَنْهُ, وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ, وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ, وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ, وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ اَلْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ, وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ, وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ, وَأَدْخِلْهُ اَلْجَنَّةَ, وَقِهِ فِتْنَةَ اَلْقَبْرِ وَعَذَابَ اَلنَّارِ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ
dari Auf bin Malik radhiyallahu anhu : Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam sholat terhadap jenazah kemudian aku hafal dari doanya (artinya): Ya Allah ampunilah dia, dan rahmatilah ia, dan berikan ia afiat, dan maafkan dia, mulyakan tempat tinggalnya, luaskan tempat masuknya, dan cucilah ia dengan air, salju,dan embun. dan bersihkan ia dari dosa sebagaimana terbersihkan kotoran putih dari noda. Dan gantikan kampung yang lebih baik dari kampungnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya. Masukkan ia ke dalam surga, dan lindungi dia dari fitnah kubur dan adzab neraka (riwayat Muslim).
PENJELASAN :
Hadits ini menjelaskan bacaan doa khusus untuk si mayyit yang dibaca setelah takbir ke-3. Setelah takbir ke-3 disunnahkan untuk membaca doa yang umum kemudian doa yang khusus. Hadits ke-457 adalah doa umum, sedangkan hadits ke-456 (hadits ini) adalah doa khusus.
Sahabat Auf bin Malik yang meriwayatkan hadits ini menghafal doa tersebut karena mendengar Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam mengeraskan bacaan itu dalam rangka pengajaran pada para Sahabatnya. Karena begitu indahnya doa yang dipanjatkan Nabi tersebut, sampai-sampai Auf bin Malik menyatakan: aku berharap akulah yang menjadi mayit itu.
Lafadz bacaan doa tersebut jika yang meninggal adalah laki-laki. Jika wanita, maka pengucapannya diganti menjadi kata ganti wanita dalam bahasa Arab: Allaahummaghfir lahaa warhamhaa wa ‘aafihaa wa’fu anha, dan seterusnya. Jika kita tidak tahu apakah jenazahnya laki-laki atau wanita, maka bisa memilih menggunakan kata ganti laki-laki atau wanita. Kata ganti laki-laki (mudzakkar) untuk pengganti asy-syakhsh (seseorang) dan kata ganti wanita (muannats) untuk al-janaazah (asy-Syarh al-Mukhtashar ala Bulughil Maram li Ibn Utsaimin (4/48-49))
457- وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: – كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ يَقُولُ: “اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا, وَمَيِّتِنَا, وَشَاهِدِنَا, وَغَائِبِنَا, وَصَغِيرِنَا, وَكَبِيرِنَا, وَذَكَرِنَا, وَأُنْثَانَا, اَللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى اَلْإِسْلَامِ, وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى اَلْإِيمَانِ, اَللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ, وَلَا تُضِلَّنَا بَعْدَهُ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ, وَالْأَرْبَعَة
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam jika sholat jenazah berdoa: Ya Allah, ampuni orang yang hidup di antara kami, orang yang meninggal, orang yang hadir, yang tidak hadir, anak kecil, orang dewasa, laki, maupun perempuan. Ya Allah, siapa yang Engkau hidupkan di antara kami, hidupkan dalam Islam. Barangsiapa yang Engkau wafatkan, wafatkanlah dalam keimanan. Ya Allah janganlah Engkau haramkan untuk kami pahalanya, dan jangan Engkau sesatkan kami sepeninggalnya (riwayat Muslim dan Imam yang Empat).
PENJELASAN:
Ini adalah hadits tentang doa umum yang dibaca setelah takbir ke-3 dalam sholat jenazah.
Makna ucapan : janganlah Engkau haramkan untuk kami pahalanya, yaitu: berikan kami pahala atas penyelenggaraan jenazah ini (memandikan, mengkafani, mensholatkan, dan menguburkan), dan termasuk pahala kesabaran atas kematian tersebut. Bukan artinya: jangan engkau haramkan kami untuk mendapat pahala dari amal perbuatan yang telah dilakukan oleh orang yang meninggal (Taudhihul Ahkam (2/441).
Pada lafadz hadits ini juga terdapat pernyataan: jangan Engkau sesatkan kami sepeninggalnya. Hal itu menunjukkan bahwa kita harus senantiasa berhati-hati dan terus memohon bimbingan dari Allah agar istiqomah dalam Islam dan keimanan. Tidak ada yang bisa menjamin seseorang selamat dari fitnah dan kesesatan selama ia masih hidup. Karena itulah hanya kepada Allah seseorang bertawakkal dan memohon taufiq agar ia nantinya meninggal dunia dalam keadaan husnul khotimah (akhir kehidupan yang baik).
Catatan : hadits dengan lafadz ini tidak terdapat dalam Shahih Muslim.
458- وَعَنْهُ أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: – إِذَا صَلَّيْتُمْ عَلَى اَلْمَيِّتِ فَأَخْلِصُوا لَهُ اَلدُّعَاءَ – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ
Dan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi shollallaahu alaihi wasallam bersabda: Jika kalian sholat terhadap jenazah, ikhlaskanlah doa untuknya (riwayat Abu Dawud, dishahihkan Ibnu Hibban)
PENJELASAN:
Nabi shollallaahu alaihi wasallam memberikan bimbingan kepada kita jika sholat jenazah, hendaknya mengikhlaskan doa untuk jenazah tersebut. Hal ini juga menunjukkan bahwa kesempatan di dalam sholatlah seseorang benar-benar mendoakan mayit. Sebagian saudara kita yang menjadi imam kadang tergesa-gesa dalam sholat jenazah, sehingga makmum belum selesai membaca doa atau bahkan belum selesai alFatihah sudah bertakbir. Namun justru imam kemudian menambah doa selesai sholat bahkan kadang lebih lama dibandingkan sholat jenazah itu sendiri. Hal ini menyelisihi sunnah, karena sesungguhnya doa di dalam sholat lebih utama dan mustajabah, dan Nabi memberikan penekanan agar mengikhlaskan doa untuk mayit di dalam sholat, bukan di luar sholat.
Mengikhlaskan doa untuk mayit juga bermakna bahwa dalam sholat jenazah, kita tidak mendoakan seseorang secara khusus kecuali mayit tersebut. Kalau ada pihak lain yang dilibatkan dalam permintaan, sifatnya adalah umum, bukan person tertentu.
Tatacara sholat jenazah secara ringkas dijelaskan dalam ucapan seorang Sahabat Nabi:
أَنَّ السُّنَّةَ في الصَّلَاةِ على الْجِنَازَةِ أَنْ يُكَبِّرَ الْإِمَامُ ثُمَّ يَقْرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ بَعْدَ التَّكْبِيرَةِ الْأُولَى سِرًّا في نَفْسِهِ ثُمَّ يصلى على النبي صلى اللَّهُ عليه وسلم وَيُخْلِصَ الدُّعَاءَ لِلْمَيِّتِ في التَّكْبِيرَاتِ لَا يَقْرَأَ في شَيْءٍ مِنْهُنَّ ثُمَّ يُسَلِّمُ سِرًّا في نَفْسِهِ
Sunnah dalam sholat jenazah adalah Imam bertakbir kemudian membaca alFatihah tidak dikeraskan setelah takbir pertama kemudian bersholawat kepada Nabi (setelah takbir ke-2), dan mengikhlaskan doa untuk mayit setelah takbir-takbir (berikutnya), tidak membaca suatu surat (selain alFatihah) kemudian salam tidak dikeraskan (H.R asy-Syafi’i dalam al-Umm (1/270)
MENYEGERAKAN PENYELENGGARAAN JENAZAH
459- وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – عَنِ اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: – أَسْرِعُوا بِالْجَنَازَةِ, فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُونَهَا إِلَيْهِ, وَإِنْ تَكُ سِوَى ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi shollalllahu alaihi wasallam bersabda: Segerakanlah penghantaran jenazah. Jika ia adalah orang shalih, maka kebaikan yang segera engkau sampaikan kepadanya. Jika bukan demikian, maka keburukan segera kalian letakkan dari leher kalian (muttafaqun alaih)
PENJELASAN:
Hadits ini memberikan bimbingan pada kita agar menyegerakan penyelenggaraan jenazah (memandikan, mengkafani, mensholatkan, dan menguburkan). Kalaupun ada penundaan, hal itu dilakukan karena ada kemaslahatan yang lebih besar. Seperti jika meninggal pada waktu malam dan dikhawatirkan penyelenggaraan jenazahnya tidak optimal, maka bisa ditunda untuk dilakukan esok paginya. Dengan harapan lain, akan lebih banyak orang yang bisa hadir untuk turut mensholatkan dan mengantarkan ke kuburan. Namun, secara asal penyelenggaraan jenazah hendaknya segera dilakukan tanpa ditunda.
Hadits ini juga mengandung makna: dalam mengantarkan jenazah tidak berjalan secara lambat. Namun juga tidak bersikap sangat tergesa-gesa dan melampaui batas.
Dalam hadits yang lain dinyatakan bahwa mayit yang diantar menuju kuburnya akan berbicara dan didengarkan oleh seluruh makhluk kecuali manusia
وُضِعَتِ الْجِنَازَةُ وَاحْتَمَلَهَا الرِّجَالُ عَلَى أَعْنَاقِهِمْ فَإِنْ كَانَتْ صَالِحَةً قَالَتْ قَدِّمُونِي وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ صَالِحَةٍ قَالَتْ يَا وَيْلَهَا أَيْنَ يَذْهَبُونَ بِهَا يَسْمَعُ صَوْتَهَا كُلُّ شَيْءٍ إِلَّا الْإِنْسَانَ وَلَوْ سَمِعَهُ صَعِقَ (رواه البخاري)
Jenazah diletakkan dan dibawa oleh para lelaki pada (sisi) leher mereka. Jika (jenazah) itu baik ia berkata: Segerakan aku. Jika tidak baik, ia berkata: Celaka, mau ke mana kalian. Itu didengar suaranya oleh segala sesuatu kecuali manusia. Seandainya ia mendengar, niscaya pingsan (H.R al-Bukhari)
BESARNYA PAHALA SHOLAT DAN MENGIRINGI JENAZAH
460- وَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم “مَنْ شَهِدَ الْجِنَازَةَ حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ, وَمَنْ شَهِدَهَا حَتَّى تُدْفَنَ فَلَهُ قِيرَاطَانِ”. قِيلَ: وَمَا اَلْقِيرَاطَانِ قَالَ: “مِثْلُ اَلْجَبَلَيْنِ اَلْعَظِيمَيْنِ” – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَلِمُسْلِمٍ: – حَتَّى تُوضَعَ فِي اللَّحْدِ
dari Abu Hurairah radhiyallaahu anhu ia berkata: Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga disholatkan, maka ia mendapatkan pahala 1 qirath. Barangsiapa yang juga menyaksikannya hingga dikuburkan, ia mendapat 2 qirath. Para Sahabat bertanya: Berapa 2 qirath itu? Nabi menjawab: Seperti 2 gunung yang besar (muttafaqun alaih. Dalam lafadz Muslim: sampai ia diletakkan di liang lahad).
وَلِلْبُخَارِيِّ: – مَنْ تَبِعَ جَنَازَةَ مُسْلِمٍ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا, وَكَانَ مَعَهُ حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا وَيُفْرَغَ مِنْ دَفْنِهَا فَإِنَّهُ يَرْجِعُ بِقِيرَاطَيْنِ, كُلُّ قِيرَاطٍ مِثْلُ أُحُد
Diriwayatkan juga oleh alBukhari dari Hadits Abu Hurairah: Barangsiapa yang mengikuti jenazah muslim dengan iman dan mengharapkan pahala, yang ia bersamanya sampai disholatkan dan selesai dari penguburannya, maka ia kembali dengan 2 qirath. Setiap qirath seperti gunung Uhud.
PENJELASAN:
Hadits ini diriwayatkan dari jalur 12 Sahabat Nabi (Taudhihul Ahkam karya Syaikh al- Bassam 2/446).
Pahala yang besar disediakan jika melakukan amalan tersebut dilandasi oleh niat untuk menjalankan ketaatan kepada Allah, karena Nabi mempersyaratkan dalam lafadz al-Bukhari: iimaanan wahtisaaban (dengan iman dan mengharapkan pahala). Sangat disayangkan jika seseorang melakukan hal tersebut sekedar karena sungkan kepada keluarga pihak yang meninggal. Sehingga jenazah orang-orang kaya banyak diiringi sedangkan orang-orang miskin sedikit jumlah pengiringnya.
Sebelumnya, kebiasaan Ibnu Umar setelah menyolatkan jenazah adalah langsung beranjak pergi. Suatu hari ia mendengar Abu Hurairah menyampaikan hadits ini. Ibnu Umar kemudian bertanya kepada Aisyah apakah benar apa yang disampaikan Abu Hurairah tersebut. Aisyah membenarkannya. Maka Ibnu Umar kemudian berkata: Sungguh sebelum ini kami telah menyia-nyiakan banyak qirath dalam pahala…(H.R alBukhari no 1239 dan H.R Muslim no 1570)
Lafadz-lafadz dalam hadits ini menunjukkan bahwa seseorang mendapatkan pahala sebesar 1 qirath jika ia ikut mengantarkan dari rumah duka hingga tempat sholat jenazah. Namun, dalam riwayat yang lain dijelaskan bahwa 1 qirath juga bisa didapatkan oleh seseorang yang hanya ikut sholat jenazah (meski tidak ikut mengantarkan dari rumah duka). Sebagaimana dalam hadits:
مَنْ صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ وَلَمْ يَتْبَعْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ فَإِنْ تَبِعَهَا فَلَهُ قِيرَاطَانِ
Barangsiapa yang sholat jenazah dan tidak ikut mengantarkannya maka ia mendapatkan 1 qirath. Jika ia mengantarkannya (juga ke kubur) maka ia mendapatkan 2 qirath (H.R Muslim).
Besar pahala qirath yang didapatkan oleh orang yang mengantarkan dari rumah duka dan ikut menyolatkan jelas lebih besar dibandingkan yang sekedar ikut sholat saja.
BOLEHNYA BERJALAN DI DEPAN JENAZAH
461- وَعَنْ سَالِمٍ, عَنْ أَبِيهِ – رضي الله عنه – – أَنَّهُ رَأَى اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ, يَمْشُونَ أَمَامَ الْجَنَازَةِ – رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ, وَأَعَلَّهُ النَّسَائِيُّ وَطَائِفَةٌ بِالْإِرْسَالِ
Dari Salim dari ayahnya (Ibnu Umar) radhiyallaahu anhuma bahwasanya ia melihat Nabi shollallaahu alaihi wasallam, Abu Bakr, dan Umar berjalan di depan jenazah (riwayat Imam yang Lima, dishahihkan oleh Ibnu Hibban, dan dinyatakan oleh anNasaai dan sebagian Ulama memiliki ‘illat mursal)<< dishahihkan oleh Syaikh al-Albany dalam Shahih Ibn Majah>>
PENJELASAN:
Boleh bagi seseorang yang mengantarkan jenazah berjalan di depan jenazah, sebagaimana yang pernah dilakukan Nabi, Abu Bakr dan Umar. Tidak mengapa juga untuk berada di posisi manapun terhadap jenazah, yaitu di samping atau di belakangnya (asy-Syarhul Mukhtashar ala Bulughil Maram 4/53)
Tambahan Faidah :
Mengiringi jenazah seharusnya dalam suasana yang khidmat, hening dan tidak mengangkat suara. Termasuk juga tidak mengeraskan suara dengan dzikir Laa Ilaaha Illallaah atau dzikir lainnya.
عَنْ قَيْسِ بْنِ عَبَّادٍ قَالَ : كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَكْرَهُونَ رَفْعَ الصَوْتِ عِنْدَ الْجَنَائِزِ وَعِنْدَ الْقِتَالِ وَعِنْدَ الذِّكْرِ
Dari Qois bin Abbad beliau berkata: Para Sahabat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam membenci mengangkat suara pada saat (mengiringi) jenazah, ketika berperang, dan ketika berdzikir (riwayat al-Baihaqy dalam as-Sunanul Kubro no 7433)
al-Imam anNawawy rahimahullah –seorang Ulama’ Syafiiyyah- menyatakan: “Ketahuilah bahwasanya yang benar dan pendapat terpilih dari perbuatan para Ulama’ Salaf radhiyallahu anhum adalah diam ketika berjalan mengiringi jenazah. Tidak mengangkat suara dengan bacaan atau dzikir, atau ucapan lain. Hikmahnya jelas. Yang demikian lebih menenangkan hati, mengumpulkan pikiran terkait jenazah (mengingat kematian, pent). Itulah yang diharapkan dalam kondisi semacam itu. Inilah yang benar. Janganlah terperdaya dengan banyaknya orang yang menyelisihinya (al-Adzkaar karya anNawawy (1/160))
LARANGAN WANITA IKUT MENGIRINGI JENAZAH
462- وَعَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – نُهِينَا عَنِ اتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ, وَلَمْ يُعْزَمْ عَلَيْنَا – مُتَّفَقٌ عَلَيْه
dari Ummu Athiyyah radhiyallaahu anhuma ia berkata: Kami (para wanita) dilarang untuk mengikuti jenazah, namun tidak ditekankan (larangan) itu bagi kami (muttafaqun alaih).
PENJELASAN:
Ucapan seorang Sahabat wanita ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa larangan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam terbagi menjadi 2:
- Larangan yang ditekankan, harus ditinggalkan, yaitu haram.
- Larangan yang tidak ditekankan, yaitu makruh.
Hadits ini menunjukkan bahwa seorang wanita sebaiknya tidak ikut dalam penghantaran jenazah karena tabiat mereka yang lemah, mudah hanyut dalam perasaan sedih, dikhawatirkan akan meratap di kubur, pingsan, dan semisalnya. Selain itu, jika seorang wanita ikut mengantar ke kuburan, hal itu akan menyebabkan ia bercampur dengan para lelaki (ikhtilath).
BERDIRI KETIKA JENAZAH LEWAT
463- وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ – رضي الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: – إِذَا رَأَيْتُمُ الْجَنَازَةَ فَقُومُوا, فَمَنْ تَبِعَهَا فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى تُوضَعَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari Abu Said bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Jika kalian melihat jenazah, berdirilah. Barangsiapa yang mengiringinya, janganlah duduk hingga jenazah diletakkan (muttafaqun alaih)
PENJELASAN:
Jika lewat di hadapan kita jenazah yang diusung, maka disunnahkan bagi kita untuk berdiri. Hukumnya adalah mustahab (disukai). Jika kita ikut dalam mengantarkan jenazah, janganlah duduk sampai jenazah telah diletakkan di liang lahad.
SUNNAHNYA MEMASUKKAN JENAZAH DARI ARAH KAKI KUBUR
464- وَعَنْ أَبِي إِسْحَاقَ, أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ يَزِيدَ – رضي الله عنه – – أَدْخَلَ الْمَيِّتَ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيِ الْقَبْرَ، وَقَالَ: هَذَا مِنَ السُّنَّةِ – أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد
dari Abu Ishaq bahwasanya Abdullah bin Zaid memasukkan jenazah dari arah kaki kubur, kemudian ia berkata: ini termasuk sunnah (riwayat Abu Dawud)<< dishahihkan oleh Syaikh al-Albany>>
PENJELASAN:
Memasukkan mayit ke dalam kubur disunnahkan melalui arah kaki. Kalau di Indonesia yang kiblatnya berada di arah barat, dimasukkan dari arah selatan.
BACAAN MELETAKKAN MAYIT KE DALAM KUBUR
465- وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا, عَنِ النَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: – إِذَا وَضَعْتُمْ مَوْتَاكُمْ فِي الْقُبُورِ, فَقُولُوا: بِسْمِ اللَّهِ, وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم .أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ, وَأَعَلَّهُ الدَّارَقُطْنِيُّ بِالْوَقْف ِ
dari Ibnu Umar radhiyallaahu anhuma dari Nabi shollallaahu alaihi wasallam, beliau bersabda: Jika kalian letakkan mayit kalian ke kubur, ucapkanlah: Bismillah wa alaa millati Rasulillah (dengan Nama Allah, dan di atas millah (agama) Rasulullah)(riwayat Ahmad, Abu Dawud, anNasaai, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban, adDaruquthny menyatakan mauquf).<< dishahihkan oleh Syaikh al-Albany dalam Shahih Ibn Majah>>
PENJELASAN:
Disunnahkan bagi seseorang yang meletakkan mayit ke dalam kubur mengucapkan: Bismillah wa alaa millati Rasululillah.
Petugas yang memasukkan ke dalam kubur haruslah seorang laki-laki. Sebaiknya, petugas yang memasukkan ke liang lahad adalah seorang laki-laki yang tidak berhubungan suami istri pada malam harinya.
Ketika putri Nabi meninggal dunia, beliau bersabda:
لَا يَدْخُلِ الْقَبْرَ رَجُلٌ قَارَفَ أَهْلَهُ اللَّيْلَةَ
Janganlah masuk ke dalam kubur seorang laki-laki yang berhubungan dengan istrinya tadi malam (H.R Ahmad, dishahihkan oleh al-Hakim)
Ketika dimasukkan ke dalam liang lahad, tali ikatan pada kain kafan dilepaskan.
(Abu Utsman Kharisman)