ditulis oleh: Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
Istilah Ahlul Bait mungkin terdengar agak asing di telinga sebagian orang. Bisa dimaklumi, mengingat keadaan kaum muslimin yang memang semakin kurang peduli terhadap agamanya. Padahal ketika seseorang tidak dibimbing secara benar dalam memahami persoalan Ahlul Bait, ia sangat rentan terjatuh pada penyimpangan. Realita menunjukkan, pemahaman yang keliru terhadap kedudukan Ahlul Bait telah melahirkan demikian banyak kelompok menyimpang.
Seluruh Ulama Ahlus Sunnah mengakui keutamaan Ahlul Bait Rasulullah, karena telah jelas dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan mereka dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.Di antaranya adalah apa yang Allah Subhanahuwata’ala katakan tentang mereka dalam ayatnya:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Dan hendaklah kalian tetap di rumahmu, janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah dahulu. Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai Ahlul Bait dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33)
Kemudian dalam hadits Ghadir Khum sebagai berikut:
“Zaid ibnu Arqam berkata: Rasulullah pada suatu hari pernah berdiri di depan kami sebagai khatib di daerah mata air yang bernama Khum1–daerah antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya. Beliau memberi nasehat dan memberi peringatan, kemudian berkata:
‘Amma ba’du, wahai manusia, sesungguhnya aku adalah manusia biasa yang sebentar lagi akan datang utusan Rabbku (malaikat maut) dan aku akan menyambutnya. Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara yang berat. Pertama adalah Kitab Allah, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Ambillah dengan Kitab Allah ini dan berpeganglah dengannya”.
Zaid berkata: Maka Rasulullah menganjurkan dan memberi semangat untuk berpegang dengan kitab Allah. Kemudian beliau berkata:
“Yang kedua Ahlul Baitku. Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku, aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku. Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya dengan syarah Al-Imam An-Nawawi, juz 15/174-175)
Siapakah Ahlul Bait?
Alangkah baiknya kita mengenal siapa sebenarnya Ahlul Bait sebagaimana dimaksud dalam ayat dan hadits di atas. Para ulama Ahlus Sunnah telah bersepakat bahwa Ahlul Bait adalah keluarga Nabi yang diharamkan memakan shadaqah. Mereka terdiri dari keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga ‘Aqil, keluarga Abbas, serta para istri beliau n dan anak-anak mereka. Diriwayatkan dari Zaid bin Arqam :
Zaid ibnu Arqam berkata: Rasulullah pernah berdiri di depan kami pada suatu hari sebagai khatib di daerah mata air yang bernama Khum –daerah antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya. Beliau memberi nasehat dan memberi peringatan, kemudian berkata:
‘Amma ba’du, wahai manusia, sesungguhnya aku adalah manusia biasa yang sebentar lagi akan datang utusan Rabbku (malaikat maut), dan aku akan menyambutnya. Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara yang berat.
Pertama kitab Allah, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Ambillah kitab Allah ini dan berpeganglah dengannya’. Berkata Zaid, maka Rasulullah menganjurkan dan memberi semangat untuk berpegang dengan kitab Allah. Kemudian beliau berkata:
“Yang kedua Ahlul Baitku. Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku, Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku, Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku.” Maka Hushain berkata kepada Zaid:
“Siapakah Ahlul Baitnya, ya Zaid? Bukankah istri-istrinya termasuk Ahlul Bait?”
Zaid menjawab: “Istri-istri beliau termasuk Ahlul Baitnya. Ahlul Bait adalah orang yang diharamkan menerima shadaqah setelah beliau.”
Hushain berkata: “Siapakah (lagi) mereka?”
Zaid menjawab: “Mereka adalah keluarga Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga ‘Abbas.” Hushain bertanya lagi: “Apakah semua mereka diharamkan menerima shadaqah?” Zaid menjawab:”Ya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya dengan Syarh An-Nawawi juz 15/174-175 no. 6175)
Dalam hadits ini dapat dipahami beberapa kaidah, di antaranya:
Pertama, menunjukkan tentang keutamaan Ahlul Bait yang sangat tinggi. Nabi mewasiatkan kepada kita untuk memuliakan dan menghormati mereka.
Kedua, kita dapat mengetahui bahwa Ahlul Bait Nabi adalah semua yang tidak boleh menerima shadaqah (zakat). Mereka terdiri dari keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga ‘Abbas.
Ketiga, istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait yang harus kita hormati pula. Istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait Dengan hadits di atas kita mengetahui pula bahwa istri-istri Nabi adalah termasuk Ahlul Bait, yang juga diwasiatkan oleh Rasulullah untuk kita hormati dan kita muliakan. Oleh karena itu jika kaum Syi’ah konsekuen dalam menghormati Ahlul Bait, maka mereka harus menghormati pula semua turunan Ja’far, Aqil dan Abbas serta para istri Nabi n terutama yang paling beliau cintai, yaitu Aisyah dan Khadijah.
Hanya saja istri-istri Nabi tidak termasuk yang diharamkan untuk menerima shadaqah. Keterangannya sebagai berikut:
Pada hadits di atas Zaid bin Arqam ketika ditanya tentang istri-istri Nabi beliau menjawab:
“Istri-istri beliau termasuk Ahli Baitnya tetapi…”. Sedangkan dalam hadits berikutnya dalam Shahih Muslim, Zaid bin Arqam ketika ditanya siapakah yang dimaksud Ahlul Baitnya, apakah istri-istri Nabi?
Beliau menjawab: “Tidak…, Ahlul Baitnya adalah yang tidak boleh menerima shadaqah setelahnya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya dengan Syarh Nawawi juz 15/174-175 no. 6178)
Maka Al-Imam An-Nawawi mengomentari dua lafadz hadits yang kelihatannya bertentangan ini sebagai berikut:
“Ucapan Zaid dalam riwayat di atas: “Istri-istri beliau termasuk Ahli Baitnya” bermakna bahwa istri-istri Nabi termasuk keluarga beliau, yang tinggal di rumah beliau, yang diperintahkan untuk kita hormati dan kita muliakan, yang Rasulullah menamakannya tsaqalain (sesuatu yang berat dan penting, pen.). Dan yang Nabi menasihati dan memperingatkan manusia untuk memenuhi hak-hak mereka.
Maka istri-istri Nabi masuk dalam semua itu. Namun mereka tidak termasuk yang diharamkan untuk memakan shadaqah. Inilah yang diisyaratkan pada riwayat pertama: “Istri-istri Nabi termasuk Ahli Baitnya, tetapi Ahli Baitnya adalah yang diharamkan menerima shadaqah.” (Syarh Shahih Muslim, Al-Imam An-Nawawi, juz 15/174-175 no. 6178)
Namun, kaum Syi’ah justru mengeluarkan istri-istri Nabi dari Ahlul Bait kemudian melecehkannya. Dalil terkuat yang dijadikan sandaran oleh mereka adalah hadits yang diriwayatkan dari ‘Umar bin Abi Salamah, sebagai berikut:
Ketika turun kepada Nabi ayat Allah:
(Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya) di rumah Ummu Salamah, beliau memanggil Fathimah, Hasan dan Husain, kemudian beliau menyelimuti mereka dengan selimut (kisa`). Dan ‘Ali berada di belakang beliau lalu beliau juga menyelimutinya dengan selimut, beliau berkata: “Ya Allah, mereka adalah Ahlul Baitku, hilangkanlah kotoran dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya.” Maka Ummu Salamah berkata : “Apakah aku bersama dengan mereka, ya Nabi Allah?”Rasulullah n menjawab: “Engkau tetaplah pada tempatmu dan engkau berada dalam kebaikan.” (HR. At-Tirmidzi no. 3205)
Kaum Syi’ah menganggap ditolaknya Ummu Salamah untuk masuk dalam selimut menunjukkan bahwa para istri Nabi n tidak termasuk Ahlul Bait. Para ulama membantah ucapan mereka di atas sebagai berikut:
Pertama, disebutkan dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi bahwa tidak dimasukkannya Ummu Salamah dalam selimut bersama mereka, karena adanya ‘Ali bin Abi Thalib (‘Ali bukanlah mahram Ummu Salamah, pen.), dan bukan berarti bahwa Ummu Salamah tidak termasuk Ahlul Bait. (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi, juz 9 hal. 48)
Kedua, konteks ayat dalam surat Al-Ahzab sangat jelas sekali, yakni menunjukkan bahwa yang dimaksud Ahlul Bait adalah istri-istri Nabi. Karena pada awal ayat dibuka dengan kalimat:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاءِ
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain.…” (Al-Ahzab: 32)
Kemudian diakhiri pada ayat berikutnya dengan kalimat:
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33)
Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini tentang istri-istri Nabi adalah pendapat Ibnu Abbas, Ikrimah, ‘Atha`, Al-Kalbi, Muqatil, Sa’id bin Jubair, dan lain-lain. Bahkan diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Asakir dari jalan Ikrimah, bahwa Ibnu Abbas mengatakan ayat ini turun tentang istri-istri Nabi. Kemudian Ikrimah berkata:
“Barangsiapa yang mau, aku akan bermubahalah (saling mendoakan kebinasaan) dengannya bahwa ayat ini turun tentang istri-istri Nabi.” (Lihat Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi, juz 9 hal. 48)
Keempat, memang diriwayatkan dari beberapa orang dari kalangan Salaf bahwa yang dimaksud juga Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Yang demikian bukan merupakan pertentangan karena disebutkan pula dalam hadits di atas bahwa mereka adalah Ahlul Bait juga. (lihat sumber yang sama)
Kelima, alasan lain kaum Syi’ah adalah ucapan mereka: “Apabila kita meneliti secara cermat, tampak perbedaan antara ayat tath-hir ( ) dengan ayat lastunna () yang ditujukan kepada istri-istri Nabi, dalam penggunaan dhamir (kata ganti). Dalam ayat tath-hir digunakan dhamir jamak untuk laki-laki (kum), sedangkan kepada istri-istri Nabi digunakan dhamir jamak untuk perempuan yang ditandai dengan nun ta`nits (). Maka pensucian (that-hir) tersebut bukan untuk istri-istri Nabi .”
Kita jawab, bahwasanya dhamir jamak untuk laki-laki dalam ayat tath-hir digunakan karena kembalinya kepada kalimat Ahlul Bait. Sedangkan kalimat ahli dapat dipakai untuk mu’anats dan mudzakar. Seperti ucapan seseorang: “Kaifa ahluka?” yang dimaksud adalah: “Bagaimana istrimu?” Ini dapat dipahami oleh orang-orang yang mengerti bahasa Arab dengan dzauqul ‘Arabi. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi, Al-Imam Muhammad Abdurrahman Ibnu Abdurrahim Al-Mubarakfuuri, juz 9 hal. 48-49).
Keenam, baik sekali pendapat para Ulama Ahlus Sunnah seperti Al-Qurthubi dan Ibnu Katsir yang menyatakan bahwa ucapan yang bijaksana dalam masalah ini adalah: “Ayat ini mencakup istri-istri Nabi dan mencakup pula Ali, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husain. Adapun istri-istri Nabi karena konteks ayatnya tentang mereka, dan karena mereka tinggal di rumah-rumah Nabi.
Adapun masuknya Ali, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husain karena mereka adalah kerabat Nabi dalam nasab. Maka barangsiapa yang mengkhususkan ayat ini untuk salah satunya berarti dia telah mengabaikan kewajibannya terhadap yang lainnya. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi, juz 9 hal. 49)
Karena telah jelas bahwa ayat ini tentang istri-istri Nabi, maka Rasulullah mengumpulkan Fathimah, Ali, Hasan dan Husain dan menyatakan bahwa mereka juga Ahlul Bait, walaupun tidak disebut secara jelas dalam ayat di atas. Keutamaan Al-Hasan dan Al-Husain
Al-Hasan dan Al-Husain adalah putera dari Ali bin Abi Thalib , cucu Rasulullah dari anak perempuannya Fathimah.
Mereka termasuk kalangan Ahlul Bait Rasulullah n yang memiliki keutamaan-keutamaan yang besar dan mendapatkan pujian-pujian Rasulullah . Diantaranya beliau n bersabda:
“Sesungguhnya Al-Hasan dan Al-Husain adalah kesayanganku dari dunia.” (HR. Al-Bukhari, At-Tirmidzi dan Ahmad dari Ibnu ‘Umar )
Beliau n juga bersabda:
“Al-Hasan dan Al-Husain adalah sayyid (penghulu) para pemuda ahlul jannah.” (HR. Tirmidzi, Hakim, Thabrani, Ahmad dan lain-lain dari Abu Sa’id Al-Khudri; Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Albani t dalam Silsilah Hadits Ash-Shahihah, hal. 423, hadits no. 796)
Keutamaan Al-Hasan di atas Keutamaan Al-Husain
Sedangkan khusus tentang keutamaan Al-Hasan, diriwayatkan bahwa Rasulullah n bersabda:
“Al-Hasan dariku dan Al-Husain dari Ali.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ath-Thabrani dari Miqdam Ibnu Ma’dikarib; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Silsilah Ahadits Ash-Shahihah, hal. 450, hadits no. 711)
“Dari Al-Bara` bin ‘Azib, dia berkata: Aku melihat Al-Hasan bin ‘Ali di atas pundak Nabi n dan beliau bersabda: “Ya Allah sesungguhnya aku mencintainya, maka cintailah dia.” (HR. Al-Bukhari dengan Fathul Bari, VII, hal. 464, hadits no. 3749 dan Muslim dengan Syarh Nawawi, juz XV, hal. 189, hadits no. 6208)
“Ya Allah, sesungguhnya aku mencintai dia, maka cintailah dia serta cintailah siapa yang mencintainya.” (HR. Muslim dengan Syarh Nawawi, juz XV, hal. 188, hadits no. 6206)
Dan dari Anas bin Malik z, ia berkata:
“Tidaklah seorang pun yang lebih mirip dengan Nabi daripada Al-Hasan bin ‘Ali .” (HR. Bukhari dengan Fathul Bari, VII, hal. 464, hadits no. 3752)
Dari Al-Hasan , dia mendengar Abu Bakrah berkata: “Aku mendengar (ceramah) Nabi di atas mimbar, sedangkan Al-Hasan berada di sampingnya, beliau sesekali melihat kepada manusia dan sesekali kepada Al-Hasan, dan bersabda:
“Anakku ini adalah sayyid dan semoga Allah akan mendamaikan dengannya dua kelompok dari kalangan muslimin.” (HR. Al-Bukhari dengan Fathul Bari, VII, hal. 463, hadits no. 3746)
Benarlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah dalam hadits di atas. Setelah ayah beliau, Ali bin Abi Thalib terbunuh, sebagian kaum muslimin membai’at beliau, tetapi bukan karena wasiat dari Ali. Asy-Syaikh Muhibbudin Al-Khatib berkata bahwa diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya juz ke-1 hal. 130 –setelah disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib akan terbunuh – mereka berkata kepadanya: “Tentukanlah penggantimu bagi kami.” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi aku tinggalkan kalian pada apa yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah n…” (Lihat ta’liq kitab Al-‘Awashim Minal Qawashim, Ibnul Arabi, ha. 198-199). Akan tetapi setelah itu Al-Hasan menyerahkan ketaatannya kepada Mu’awiyyah untuk mencegah pertum
pahan darah di antara kalangan muslimin.
Kisah tersebut diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Ash-Shulh dari Imam Al-Hasan Al-Bashri. Di akhir hadits, Al-Hasan z meriwayatkan hadits dari Abu Bakrah bahwa ia berkata: “Aku mendengar (ceramah) Nabi di atas mimbar, sedangkan Al-Hasan berada di sampingnya, beliau melihat kepada manusia sesekali dan kepadanya sesekali yang lain dan bersabda:
“Anakku ini adalah sayyid dan semoga Allah akan mendamaikan dengannya dua kelompok dari kalangan muslimin.” (HR. Bukhari dengan Fathul Bari, VII, hal. 463, hadits no. 3746)
Demikianlah keutamaan Al-Hasan yang paling besar yang dipuji oleh Rasulullah. Beliau berhasil mempersatukan kaum muslmin, hingga tahun tersebut dikenal dengan tahun jama’ah. Kaum muslimin selamat dari pertumpahan darah antara sesamanya. Dan kekhalifahan Mu’wiyah akhirnya berlangsung dengan persatuan kaum muslimin, dengan keutamaan dari Allah, kemudian sebab pengorbanan Al-Hasan bin Ali yang besar.
Namun yang mengherankan adalah kaum Syi’ah Rafidhah –yang mengaku pencinta Ahlul Bait– justru menyesali kejadian ini, hingga menjuluki Al-Hasan z sebagai ‘pencoreng wajah-wajah kaum mukminin’. Sebagian di antara mereka menganggap beliau fasik, bahkan sebagian yang lain mengkafirkannya.
Asy-Syaikh Muhibbudin Al-Khatib berkata mengomentari ucapan Syi’ah Rafidhah ini sebagai berikut:
“Padahal termasuk dari dasar-dasar keimanan Rafidhah –bahkan dasar keimanan yang paling utama– adalah keyakinan mereka bahwa Al-Hasan, ayah, saudara dan sembilan ketu-runannya adalah ma’shum. Dan dari konsekuensi kema’shuman mereka, tentu mereka tidak akan berbuat kesalahan. Demikian pula, segala sesuatu yang bersumber dari mereka berarti benar dan tidak akan terbatalkan. Sedangkan apa yang bersumber dari Al-Hasan bin Ali yang paling besar adalah pembai’atan terhadap Amirul Mukminin Mu’awiyah. Maka mestinya merekapun masuk dalam baiat ini dan beriman bahwa ini adalah hak, karena ini adalah amalan seorang yang ma’shum menurut mereka.“ (Lihat catatan kaki kitab Al-Awashim minal Qawashim, hal. 197-198)
Demikianlah keculasan kaum Syi’ah Rafidhah. Mereka menyelisihi imam mereka –yang mereka anggap ma’shum– menyalahkan, memfasikkan bahkan mengkafirkannya. Maka hanya terdapat dua kemungkinan bagi mereka:
Pertama, mereka berdusta atas ucapan mereka sendiri tentang kema’shuman dua belas imam mereka, maka hancurlah agama mereka (agama Syi’ah Itsna ‘Asyariyah).
Kedua, jika mereka meyakini kema’shuman Al-Hasan, maka mereka adalah para pengkhianat yang menyelisihi imam –yang mereka anggap ma’shum– dengan permusuhan dan kesombongan serta kekufuran.
Berbeda dengan Ahlus Sunnah yang beriman dengan kenabian kakek Al-Hasan dan berpendapat bahwa berita perdamaian dan bai’at Al-Hasan z kepada Mu’awiyah z adalah salah satu bukti kenabian beliau n dan amal terbesar Al-Hasan serta mereka bergembira dengannya. Beliau mengganggap Al-Hasan yang memutihkan wajah kaum muslimin (yakni tidak mencoreng wajah-wajah kaum muslimin seperti anggapan Syi’ah, pent.).(lihat sumber yang sama).
Wallahu a’lam.
1 Riwayat tentang wasiat Rasululah n di Ghadir Khum yang shahih hanya ini, dan tidak disebutkan adanya wasiat agar ‘Ali menjadi khalifah.
sumber http://asysyariah.com/keutamaan-ahlul-bait.html