Ketahuilah wahai saudaraku muslim -semoga Allah memberi taufik kepadaku dan kepadamu- sesungguhnya kebahagiaan yang ada pada hari-hari raya kadang-kadang membuat manusia lupa atau sengaja melupakan perkara-perkara agama mereka dan hukum-hukum yang ada dalam Islam. Sehingga engkau melihat mereka banyak berbuat kemaksiatan dan kemungkaran-kemungkaran dalam keadaan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya !! Semua inilah yang mendorongku untuk menambahkan pembahasan yang bermanfaat ini dalam tulisanku, agar menjadi peringatan bagi kaum muslimin dari perkara yang mereka lupakan dan mengingatkan mereka atas apa yang mereka telah lalai darinya[Kemungkinan-kemungkinan yang disebutkan secara umum dilakukan pada waktu haru raya ataupun di luar hari raya, akan tetapi kemungkaran itu lebih besar dan bertambah dilakukan pada hari-hari raya].
Diantara kemungkaran itu adalah :
Pertama : Berhias dengan mencukur jenggot
Perkara ini banyak dilakukan manusia. Padahal mencukur jenggot merupakan perbuatan yang diharamkan dalam agama Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits yang shahih yang berisi perintah untuk memanjangkan jenggot agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir yang kita diperintah untuk menyelisihi mereka. Selain berkaitan dengan hal itu, memanjangkan jenggot termasuk fithrah (bagi laki-laki) yang tidak boleh kita rubah. Dalil-dalil tentang keharaman mencukur jenggot terdapat dalam kitab-kitab Imam Madzhab yang empat yang telah dikenal [Lihat Fathul Bari 10/351, Al-Ikhtiyar Al-Ilmiyah 6, Al-Muhalla 2/220, Ghidza’ul Albab 1/376 dan selainnya. Al-Akh Syaikh Muhammad bin Ismail telah meneliti dalam kitabnya “Adillah Tahrim Halqil Lihyah” hadits-hadits yang ada dalam masalah ini, kemudian ia kemenyebutkan penjelasan ulama tentangnya, dan juga nukilan-nukilan dari kitab-kitab madzhab yang jadi sandaran. Lihatlah kitab yang berharga itu. dan lihat juga “Majallah Al-Azhar” 7/328. Aku telah menulis risalah berjudul “Hukum Ad-Dien Fil Lihyah wat tadkhin” -Alhamdulillah- Kitab itu telah dicetak beberapa kali.] Hendaklah hal itu diketahui.
Kedua : Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya
Ini merupakan bencana yang banyak menimpa kaum muslimin, tidak ada yang selamat darinya kecuali orang yang dirahmati Allah. Perbuatan ini haram berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya) : “ Seseorang ditusukkan jarum besi pada kepalanya adalah lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya” [Hadits Shahih, Lihat takhrijnya secara panjang lebar dalam “Juz’u Ittiba’ is Sunnah No. 15 oleh Adl-Dliya Al-Maqdisi -dengan tahqiqku. Diriwayatkan ar Rauyaani dalam musnadnya 227/2 dari Ma’qil bin Yasaar dan sanadnya jayyid lihat Silsilah Ahadits ash Shohihah karya Al Albani no 226]
Keharaman perbuatan ini diterangkan juga dalam kitab-kitab empat Imam Madzhab yang terkenal [Lihat ‘Syarhu An Nawawi ala Muslim 13/10, Hasyiyah Ibnu Abidin 5/235, Aridlah Al-Ahwadzi 7/95 dan Adlwau; Bayan 6/603]
Ketiga : Tasyabbuh (meniru) orang-orang kafir dan orang-orang barat dalam berpakaian dan mendengarkan alat-lat musik serta perbuatan mungkar lainnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda (yang artinya) : “ Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka” [Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad 2/50 dan 92 dari Ibnu Umar dan isnadnya Hasan. Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dalam Musykil Al Atsar 1/88 dari Hassan bin Athiyah, Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahan 1/129 dari Anas, meskipun ada pembicaraan padanya, tetapi dengan jalan-jalan tadi, hadits ini derajatnya Shahih, insya Allah]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda (yang artinya) : “ Benar-benar akan ada pada umatku beberapa kaum yang mereka menghalalkan zina, sutera (bagi laki-laki ,-pent), khamr dan alat-alat musik. Dan benar-benar akan turun beberapa kaum menuju kaki gunung untuk melepaskan gembalaan mereka sambil beristirahat, kemudian mereka didatangi seorang fasik untuk suatu keperluan. Kemudian mereka berkata : ‘Kembalilah kepada kami besok!’ Lalu Allah membinasakan dan menimpakan gunung itu pada mereka dan sebagian mereka dirubah oleh Allah menjadi kera-kera dan babi-babi hingga hari kiamat” [Hadits Riwayat Bukhari 5590 secara muallaq dan bersambung menurut Abu Daud 4039, Al-Baihaqi 10/221 dan selainnya. berkata Al-Hafidzh dalam Hadyu As-Sari 59 : Al-Hasan bin Sufyan menyambungnya dalam Musnadnya, dan Al-Isma’ili, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir. Abu Nua’im dari empat jalan, dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya dan selain mereka. Aku katakan : Dalam hadits ini ada lafadh-lafadh yang asing, aku akan menjelaskannya dengan berurutan. Sabdanya, al Hira ialah al Faraj (kemaluan), maksudnya perzinaan. AL Ma’azif, Ibnu Atsir dalam an Nihayah 3/230 menjelaskan al Azf bermakna memainkan alat musik, yaitu rebana dan selainnya yang dipukul. Berkata adz Dzahabi (at Tadzkirah 4/1337) : Al Maazif ialah nama untuk semua yang dibunyikan seperti gendang dan lain-lain dari peralatan musik. Lihat Ta’liq yang sebelumnya. Sabdanya, ‘alamun ialah puncak gunung. Sabdanya Bisaarihatin, ialah hewan ternak yang keluar pada pagii hari ke pemiliknya. Fayubayituhum, yaitu dibinasakan. Yadah’ul Alam : menghancurkan mereka. Lihat Tahtim an Nard wasy Syathranji wal Malaahi, oleh al Ajurri (292-299), penting !!!]
Keempat : Masuk dan becengkerama dengan wanita-wanita yang bukan mahram.
Hal ini dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda beliau (yang artinya) : “ Hati-hatilah kalian masuk untuk menemui para wanita”. Maka berkata salah seorang pria Anshar : “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang Al-Hamwu” Beliau berkata : “Al-Hamwu adalah maut” [Hadits Riwayat Bukhari 5232, Muslim 2172 dari ‘Uqbah bin Amir].
Al- Allamah Az-Zamakhsyari berkata dalam menerangkan “Al-Hamwu”
“Al-Hamwu bentuk jamaknya adalah Ahmaa’ adalah kerabat dekat suami seperti ayah[Dia dikecualikan berdasarkan nash Al-Qur’anul Karim, lihat “Al-Mughni” 6/570], saudara laki-laki, pamannya dan selain mereka… Dan sabda beliau : “Al-Hamwu adalah maut” maknanya ia dikelilingi oleh kejelekan dan kerusakan yang telah mencapai puncaknya sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakannya dengan maut, karena hal itu merupakan sumber segala bencana dan kebinasaan. Yang demikian karena Al-Hamwu lebih berbahaya daripada orang lain yang tidak dikenal. Sebab kerabat dekat yang bukan mahram terkadang tidak ada kekhawatiran atasnya atau merasa aman terhadap mereka, lain halnya dengan orang yang bukan kerabat. Dan bisa jadi pernyataan “Al-Hamwu adalah mau” merupakan do’a kejelekan, yaitu seakan-akan kematian itu darinya, kedudukannya seperti ipar yang masuk menemuinya, jika ia meridhainya dengan itu” [“Al-Faiq fi Gharibil Hadits” 9 1/318, Lihat “An-Nihayah 1/448, Gharibul Hadits 3/351 dan Syarhus Sunnah 9/26,27]
Kelima : Wanita-wanita yang bertabarruj (berdandan memamerkan kecantikan) kemudian keluar ke pasar-pasar atau tempat lainnya.
Ini merupakan perbuatan yang diharamkan dalam syari’at Allah. Allah Ta’ala berfirman :
(yang artinya) : “ Hendaklah mereka wanita-wanita) tinggal di rumah-rumah mereka dan jangan bertabarruj ala jahiliyah dulu dan hendaklah mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat” [Al-Ahzab : 33]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ Dua golongan manusia termasuk penduduk neraka yang belum pernah aku melihatnya : …….. dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, berlenggak-lenggok[Menyimpang dari taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan keharusan mereka untuk menjaga kemaluan, “An-Nihayah” 4/382], kepala-kepala mereka bagaikan punuk-punuk unta[Berkata Al-Qadli ‘Iyadh dalam Masyariqul Anwar 1/79 : Al-Bukht adalah unta yang gemuk yang memiliki dua punuk. Maknanya -wallahu a’lam- wanita-wanita itu menggelung rambut mereka hingga kelihatan besar dan tidak menundukkan pandangan mata mereka.]. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan bau surga. Padahal bau suurga dapat tercium dari perjalanan sekian dan sekian” [Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam “Shahihnya” 2128, 2856 dan 52, Ahmad 2/223 dan 236 dari Abu Hurairah]
Keenam : Mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya, membagi-bagikan manisan dan makanan di pekuburan, duduk di atas kuburan, bercampur baur antara pria dan wanita, bergurau dan meratapi orang-orang yang telah meninggal, dan kemungkaran-kemungkaran lainnya.[Lihat perincian yang lain tentang bid’ah yang dilakukan di kuburan dalam kitab “Ahkamul Janaiz” 258-267 oleh Syaikh kami Al-Albani Rahimahullah]
Ketujuh : Boros dalam membelanjakan harta yang tidak ada manfaatnya dan tidak ada kebaikan padanya.
Allah berfirman (yang artinya) : “ Janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” [Al-An’am : 141]
(yang artinya) : “ Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang berbuat boros itu adalah saudaranya syaitan” [Al-Isra : 26-27]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ Tidak akan berpindah kedua kaki anak Adam pada hari kiamat dari sisi Rabb-nya hingga ditanya tentang … dan hartanya dari mana ia perolah dan ke mana ia infakkan” [Hadits Riwayat Tirmidzi 2416, Al-Khatib dalam Tarikh-nya 12/440 dari Ibnu Mas’ud, padanya ada kelemahan. Akan tetapi ada pendukungnya dari Abi Barzah di sisi Ad-Darimi (1/131), Abu Nua’im dalam al Hulyah (10/232), Ibnu Ad Daibsyi dalam Dzail Tarikh Baghdad 2/163. Dan dari Mu’adz di sisi Al-Khatib 11/441. Maka hadits ini Hasan.]
Kedelapan : Kebanyakan manusia meninggalkan shalat berjama’ah di masjid tanpa alasan syar’i atau mengerjakan shalat Id tetapi tidk shalat lima waktu. Demi Allah, sesungguhnya ini adalah salah satu bencana yang amat besar.
Kesembilan : Berdatangannya sebagian besar orang-orang awam ke kuburan setelah fajar hari raya, mereka meninggalkan shalat Id, dirancukan dengan bid’ah mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya. [Al-Madkhal 1/286 oleh Ibnu Hajj, Al-Ibda hal.135 oleh Ali Mahfudh dan Sunnanul Iedain hal.39 oleh Al-Syauqani]
Sebagian mereka meletakkan pada kuburan itu pelepah kurma[Lihat Ahkamul Jazaiz hal. 253, Ma’alimus Sunan 1/27 dan ta’liq Syaikh Ahmad Syakir atas Sunan Tirmidzi 1/103] dan ranting-ranting pohon !!
Semua ini tidak ada asalnya dalam sunnah.
Kesepuluh : Tidak adanya kasih sayang terhadap fakir miskin.
Sehingga anak-anak orang kaya memperlihatkan kebahagiaan dan kegembiraan dengan bebagai jenis makanan yang mereka pamerkan di hadapan orang-orang fakir dan anak-anak mereka tanpa perasaan kasihan atau keinginan untuk membantu dan merasa bertanggung jawab. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
(yang artinya) : “ Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya” [Hadits Riwayat Bukhari 13 dan Muslim 45, An-Nasa’i 8/115 dan Al-Baghawi 3474 meriwayatkan dengan tambahan ; “dari kebaikan” dan isnadnya Shahih]
Kesebelas : Bid’ah-bid’ah yang dilakukan oleh kebanyakan orang yang dianggap syaikh dengan pengakuan bertaqqarub kepada Allah Ta’ala, padahal tidak ada asalnya sama sekali dalam agama Allah. Bid’ah itu banyak sekali dilakukan muslimin [Lihat beberapa di antaranya dalam kitab A’yadul Islam 58 pasal Bida’ul Iedain]. Aku hanya menyebutkan satu saja di antaranya, yaitu kebanyakan para khatib dan pemberi nasehat menyerukan untuk menghidupkan malam hari Id (dengan ibadah) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Tidak hanya sebatas itu yang mereka perbuat, bahkan mereka menyandarkan hadits palsu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu hadits yang berbunyi.
(yang artinya) : “ Barangsiapa yang menghidupkan malam Idul Fithri dan Idul Adha maka hatinya tidak akan mati pada hari yang semua hati akan mati” [Hadits ini palsu (maudlu’), diterangkan oleh ustazd kami Al-Albani dalam “Silsilah Al-Ahadits Adl-Dlaifah” 520-521]
Maka tidak boleh menyandarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapan tersebut. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(Dinukil dari Ahkaamu Al’ Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari dan Syaikh Salim Al Hilali, edisi Tuntunan Ibadah Ramadhan dan Hari Raya, terbitan Maktabah Salafy Press, penerjemah ustadz Hannan Husein Bahannan)