MENJAUHI PERBUATAN DUSTA

MENJAUHI PERBUATAN DUSTA

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

 

Dusta harus dijauhi dalam segenap waktu dan keadaan. Pada saat berpuasa lebih ditekankan lagi menjauhi dusta, karena bisa mengurangi atau membatalkan pahala puasa.

✅Definisi Dusta

Dusta adalah ucapan yang tidak sesuai dengan kenyataan secara sengaja padahal ia mengetahui keadaan yang sebenarnya. Dusta adalah akhlaq tercela dan termasuk dosa besar.

✅Kerugian Perbuatan Dusta

Beberapa kerugian dan kerusakan karena perbuatan dusta:

1. Menyeret seseorang ke neraka. Satu dusta akan menyeret pada dusta berikutnya, hingga mengarah pada perbuatan kefajiran dan perbuatan kefajiran akan menyeret pada neraka.

وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

Jauhilah kedustaan karena kedustaan menyeret pada perbuatan fajir (menyimpang) dan perbuatan fajir menyeret menuju neraka. Seseorang senantiasa berdusta dan menyengaja memilih berdusta hingga tercatat di sisi Allah sebagai tukang dusta (H.R al-Bukhari dan Muslim)

2. Allah ancam para pendusta dengan adzab yang pedih:

…وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

…dan bagi mereka adzab yang pedih disebabkan kedustaan mereka (Q.S alBaqoroh:10)

3. Mendapat laknat Allah

قُتِلَ الْخَرَّاصُونَ

Terlaknatlah para pendusta (Q.S adz-Dzaariyaat:10)

Para Ulama menjelaskan bahwa al-Khorroshuun yang disebut dalam ayat adalah para pendusta yang membangun kedustaannya pada dugaan yang tidak berdasar.

4. Satu kedustaan yang tersebar hingga seluruh penjuru dunia dari seseorang, akan menyebabkan dia disiksa dengan dirobek-robek sudut mulutnya di alam barzakh (alam kubur) hingga hari kiamat:

عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِي قَالَا الَّذِي رَأَيْتَهُ يُشَقُّ شِدْقُهُ فَكَذَّابٌ يَكْذِبُ بِالْكَذْبَةِ تُحْمَلُ عَنْهُ حَتَّى تَبْلُغَ الْآفَاقَ فَيُصْنَعُ بِهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

dari Samuroh bin Jundub radhiyallahu anhu beliau berkata: Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda: Aku melihat tadi malam dua laki-laki yang datang dan berkata: Sesungguhnya yang engkau lihat tentang seseorang yang dirobek-robek ujung mulutnya adalah pendusta yang berdusta dengan satu kedustaan dinukil terus hingga mencapai ufuk (penjuru dunia) maka demikianlah dia disiksa hingga hari kiamat (H.R al-Bukhari)

Allah perintahkan kepada orang beriman untuk bertaqwa dan berjalan bersama orang-orang yang jujur

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan jadilah bersama orang-orang yang jujur (Q.S atTaubah:119)

Seseorang diperintahkan untuk tidak berdusta baik dalam keadaan sungguhan atau main-main. Tidak boleh bagi seseorang menjanjikan sesuatu kepada anaknya (yang masih kecil) kemudian tidak dia penuhi. Sahabat Nabi Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu berkata:

لَا يَصْلُحُ الْكَذِبُ فِي جِدٍّ وَلَا هَزْلٍ، وَلَا أَنْ يَعِدَ أَحَدُكُمْ وَلَدَهُ شَيْئًا ثُمَّ لَا يُنْجِزُ لَهُ

Tidak boleh berdusta dalam keadaan sungguh-sungguh atau main-main. Tidak boleh seseorang menjanjikan sesuatu kepada anaknya (yang masih kecil) kemudian tidak dia tepati (riwayat al-Bukhari dalam Adabul Mufrad, dishahihkan oleh Syaikh al-Albany)

Ada ancaman yang keras bagi seseorang yang berdusta untuk membuat tertawa orang lain:

وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

Celakalah orang yang bercerita dan berdusta untuk membuat tertawa suatu kaum. Celaka baginya. Celaka baginya (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, anNasaai, dihasankan Syaikh al-Albany)

Rasulullah shollallahu alaihi wasallam hanya memberikan keringanan berdusta untuk 3 keadaan yaitu: dalam perang, dusta suami ke istri atau sebaliknya dalam rangka menyenangkan hati dan semakin merekatkan hubungan, dusta untuk mendamaikan di antara dua orang yang sedang berselisih (perkataan Ummu Kultsum radhiyallahu anha yang diriwayatkan oleh Muslim).

✅Tauriyah, Penghindar dari Dusta

Dalam keadaan yang dibutuhkan, seperti karena dipaksa atau didzhalimi, maka seorang muslim boleh bersikap tauriyah. Tauriyah adalah mengatakan sesuatu yang multitafsir, yang dipahami oleh orang yang diajak bicara sebagai sesuatu, namun ia bisa bermakna sesuatu yang lain.

Contoh: Ketika dalam perjalanan hijrah, Abu Bakr ditanya oleh seseorang yang mengenalnya: Siapa yang bersamamu? Abu Bakr menjawab: Ia adalah penunjuk jalanku. Maksud Abu Bakr adalah beliau adalah Rasulullah shollallahu alaihi wasallam sebagai penunjuk jalan menuju jalan Allah, namun orang itu menganggap bahwa itu adalah orang yang diupah khusus sebagai penujuk jalan menuju tempat yang dituju (disarikan dari penjelasan Syaikh Abdul Muhsin alAbbad dalam syarh Sunan Abi Dawud)

Demikian juga ketika Nabi Ibrahim dan istrinya sedang berada di wilayah yang dikuasai oleh raja yang sangat dzhalim. Sang raja bertanya kepada Ibrahim: Siapa wanita itu? Nabi Ibrahim menjawab: Dia adalah saudaraku. Raja itu mengira bahwa yang dimaksud Ibrahim adalah saudara kandung, padahal maksudnya adalah saudara seagama. Hal itu dilakukan oleh Nabi Ibrahim untuk mencegah kedzhaliman dari raja tersebut.

Tauriyah disebut juga al-Ma’aaridh dan merupakan jalan keluar dari perbuatan dusta.

Umar radhiyallahu anhu berkata:

أَمَّا فِي الْمَعَارِيضِ مَا يَكْفِي الْمُسْلِمَ مِنَ الْكَذِبِ

Pada al-Ma’aaridh (tauriyah) terdapat hal yang mencukupi seorang muslim dari berbuat dusta (riwayat alBukhari dalam Adabul Mufrad dishahihkan Syaikh al-Albany)

Sahabat Nabi Imron bin Hushain radhiyallahu anhu menyatakan:

إِنَّ فِي الْمَعَارِيضِ لَمَنْدُوحَةً عَنِ الْكَذِبِ

Sesungguhnya pada al-Ma’aaridh terdapat alternatif untuk tidak terjatuh dalam kedustaan (riwayat alBukhari dalam Adabul Mufrad dishahihkan Syaikh al-Albany)

Hanya saja tauriyah/ al-Ma’aaridh tidak boleh dijadikan sebagai kebiasaan. Tidak boleh bermudah-mudahan melakukannya, namun hanya dilakukan ketika terdzhalimi atau terpaksa seperti keadaan pada Nabi Ibrahim dan Abu Bakr di atas.

(dikutip dari buku “Ramadhan Bertabur Berkah”, Abu Utsman Kharisman)