a. Menyembelih kurban harus lillahi ta’ala
Firman Allah Ta’ala (artinya): ”Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, penyembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan Penguasa semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama berserah diri (kepada-Nya).” (Al-An’am: 162-163)
“Maka dirikanlah shalat untuk Tuhanmu dan sembelihlah kurban (untuk-Nya).” (Al-Kautsar: 2)
Ali Radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menuturkan kepadaku empat kalimat: “Allah melaknat orang yang menyembelih binatang dengan berniat bukan Lillah, Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat orang yang melindungi seorang pelaku kejahatan, Allah melaknat orang yang merubah tanda batas tanah.” (H.R. Muslim)
Thariq bin Syihab menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ada seseorang masuk surga karena seekor lalat, dan ada seseorang masuk neraka karena seekor lalat pula.” Para sahabat bertanya: “Bagaimana hal itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Ada dua orang berjalan melewati suatu kaum yang mempunyai berhala, yang mana tidak seorangpun melewati berhala itu sebelum mempersembahkan kepadanya suatu kurban. Ketika itu, berkatalah mereka kepada salah seorang dari kedua orang tersebut: “Persembahkan kurban kepadanya.” Dia menjawab: “Aku tidak mempunyai sesuatu yang dapat kupersembahkan kepadanya.” Merekapun berkata kepadanya lagi: “Persembahkan sekalipun seekor lalat.” Lalu orang itu mempersembahkan seekor lalat dan merekapun memperkenankan dia untuk meneruskan perjalanannya, maka dia masuk neraka karenanya. Kemudian berkatalah mereka kepada seorang yang lain: “Persembahkan kurban kepadanya.“ Dia menjawab: “Aku tidak patut mempersembahkan sesuatu kurban kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla.” Kemudian mereka memenggal lehernya. Karenanya, orang ini masuk surga.” (H.R. Imam Ahmad)
Kesimpulan :
1. Tafsiran ayat dalam surah Al-An’am. Ayat ini menunjukkan bahwa penyembelihan binatang untuk selain Allah adalah syirik, sebagaimana shalat selain Allah.
2. Tafsiran ayat dalam surah Al-Kautsar. Ayat ini menunjukkan bahwa shalat dan penyembelihan adalah ibadah yang harus diniati untuk Allah semata-mata, dan penyelewengan niat ini dengan ditujukan untuk selain Allah adalah syirik.
3. Dalam hadits tersebut diatas, pertama kali yang dilaknat adalah orang yang menyembelih binatang dengan niat bukan Lillah.
4. Dilaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya; dan diantaranya adalah dengan melaknat bapak ibu orang lain, lalu orang lain ini melaknat bapak ibu orang tersebut.
5. Dilaknat orang yang melindungi seorang pelaku kejahatan yaitu orang yang memberikan perlindungan kepada seseorang yang melakukan tindak kejahatan yang wajib diterapkan kepadanya hukum Allah.
6. Dilaknat pula orang yang merubah tanda batas tanah, yaitu mengubah tanda yang membedakan antara hak milik seseorang dengan hak milik tetangganya dengan digeser maju atau mundur.
7. Ada perbedaan melaknat orang tertentu dan melaknat orang yang berbuat maksiat secara umum.
8. Kisah seekor lalat tersebut merupakan kisah yang penting sekali.
9. Bahwa seorang yang masuk neraka itu disebabkan karena ia persembahkan kurban lalat yang dia sendiri tidak sengaja berbuat demikian, akan tetapi dia melakukan hal tersebut untuk melepaskan diri dari perlakuan buruk para pemuja berhala itu.
10. Mengetahui kadar syirik dalam hati orang yang beriman, bagaimana ketabahan hatinya dalam menghadapi eksekusi hukuman mati dan penolakannya untuk memenuhi permintaan mereka, padahal mereka tidak meminta kecuali amalan lahiriah saja.
11. Orang yang masuk neraka tersebut adalah seorang muslim sebab seandainya dia orang kafir, Rasulullah tidak akan bersabda: ”…masuk neraka karena seekor lalat…”
12. Hadits ini merupakan suatu bukti bagi hadits shahih yang menyatakan: “Surga itu lebih dekat kepada seseorang diantara kamu daripada tali sandalnya sendiri, dan nerakapun demikian halnya.”
13. Mengetahui bahwa amalan hati adalah tolok ukur yang penting, sampaipun bagi para pemuja berhala.
(Dikutip dari “Kitab Tauhid”, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Kerjasama Da’wah dan Bimbingan Islam, Riyadh 1418H).
b. Pertanyaan : Apakah ada perintah dalam Al-Qur’an untuk menyembelih hewan Qurban pada hari idul Adhha ?
Jawab :
Diriwayatkan dari Qatadah , ‘Athaa dan Ikrimah bahwa yang dimaksud dengan Shalat dan menyembelih dalam firman Allah : (Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkorbanlah. (QS. 108:2 ) adalah shalat ied dan menyembelih hewan qurban, akan tetapi pendapat yang benar adalah bahwa maksud dari firman Allah tersebut adalah : bahwa Allah memerintahkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menjadikan shalatnya- yang wajib dan yang sunnah- dan penyembelihannya murni hanya untuk Allah sebagaimana dalam firman-Nya : “Katakanlah:”Sesungguhnya shalatku,
ibadatku, hidupki dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, (QS. 6:162) Tiada sekutu baginya;dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. (QS. 6:163 ).
Adapun syari’at menyembelih hewan qurban pada hari Ied adalah telah tetap berdasarkan perbuatan dan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak harus segala hukum itu disyari’atkan dalam Al-Qur’an secara rinci akan tetapi cukup dengan ketetapan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdasarkan firman Allah
: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah;. (QS. 59:7)
Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan, (QS. 16:44)
c. Pertanyaan : Apakah hukumnya menyembelih qurban, dan mana yang lebih utama, dagingnya dibagikan mentah atau matang, karena ada yang mengatakan bahwa sepertiga dari daging hewan qurban yang dikhususkan untuk bersedekah tidak boleh dimasak dan tidak boleh dipotong-potong tulangnya ?
Jawab :
Menyembelih hewan qurban hukumnya sunnah kifayah, dan sebagian ulama ada yang mewajibkannya ( fardlu ‘ain), mengenai pembagian dagingnya, baik dalam keadaan
dimasak atau mentah boleh keduanya, dan disyari’atkan agar yang berqurban memakan sebagian dari qurbannya, menghadiahkannya ( kepada kerabat atau tetangga dll ) serta bersedekah. ( maksudnya agar daging hewan qurban tersebut, dibagi menjadi tiga bagian : pertama untuk dimakan oleh yang berkurban dan keluarganya, kedua dibagikan kepada
kerabat, tetangga atau kenalan dan ketiga untuk kaum faqir-miskin, red)
d. Pertanyaan : Mana yang lebih utama, berqurban dengan menyembelih sapi atau domba ?
Jawab :
Berqurban yang paling utama adalah dengan unta, kemudian sapi kemudian kambing kemudian unta atau sapi yang disembelih oleh tujuh orang berserikat, berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang shalat Jum’at ( barang siapa pergi ( ke masjid
untuk shalat Jum’at ) pada jam pertama maka
seakan-akan dia telah berqurban dengan seekor unta, dan barang siapa pergi pada jam kedua maka seakan-akan dia telah berqurban dengan seekor sapi, dan barang siapa pergi pada jam ketiga maka seakan-akan dia telah
berqurban dengan seekor domba yang bertanduk, dan barang siapa pergi pada jam keempat maka seakan-akan dia telah berqurban dengan seekor ayam, dan barang
siapa pergi pada jam kelima maka seakan-akan dia telah berqurban dengan sebutir telur. (HR. Ahmad, Malik, Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi)
Hadits di atas menunjukkan mufadhalah (mengutamakan satu dengan lainnya), dalam mendekatkan diri kepada Allah antara unta, sapi dan kambing, dan tidak diragukan bahwa berqurban adalah termasuk ketaatan yang paling agung di sisi Allah Ta’ala, dan karena
unta lebih mahal, lebih banyak dagingnya dan
manfaatnya, pendapat ini dikeluarkan oleh Abu Hanifah, Syafi’I dan Ahmad, namun Imam Malik berkata : yang utama adalah (berqurban) dengan domba yang berumur
enam bulan masuk ke bulan ke tujuh dari umurnya, kemudian dengan sapi kemudian dengan unta, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berqurban dengan dua ekor domba, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukan kecuali yang lebih utama.
Jawaban atas pendapat Imam Malik adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kadang-kadang memilih yang tidak utama untuk meringankan ummat, karena mereka akan selalu berusaha mencontohnya, dan
dia shallallahu ‘alaihi wasallam tidak suka
memberatkan ummatnya, dan dia shallallahu ‘alaihi wasallam telah menerangkan keutamaan unta dari sapi
dan kambing sebagaimana hadits di atas.
e. Bolehkah berpatungan ( urunan/ berserikat ) dalam menyembelih hewan qurban, dan berapa jumlah orang yang
berpatungan dalam satu ekor hewan qurban, apakah mereka harus dari satu keluarga, dan apakah berpatungan dalam berqurban termasuk perbuatan bid’ah ?
Jawab :
Sseseorang boleh berqurban untuk dirinya dan
keluarganya dengan seekor kambing, dalilnya adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berqurban dengan seekor kambing untuk dirinya dan keluarganya. HR. Bukhari dan Muslim. dan bahwa ‘Atha bin Yasar berkata : hai Abu Ayyub ! bagaimanakah
berqurban di antara kalian (para sahabat) di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ? maka dia menjawab : adalah seseorang diantara kita di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berqurban dengan
menyembelih seekor kambing untuk dirinya dan keluarganya, lalu mereka makan dan memberi makan orang lain ( dengan daging tsb ) sampai banyak orang saling
berbangga lalu menjadi seperti yang engkau saksikan. (HR. Malik, Ibnu Majah, dan Tirmidzi, dan Tirmidzi berkata : hadits hasan shahih)
Dan syah menyembelih seekor unta atau sapi untuk tujuh orang, baik mereka itu dari satu keluarga atau bukan, baik mereka ada hubungan keluarga atau tidak, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengizinkan para sahabat untuk berserikat ( patungan/ urunan ) dalam menyembelih seekor unta atau sapi, setiap tujuh orang seekor sapi/ unta, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak merinci itu semua.
Wallahu A’lam
f. Pertanyaan : Ada seseorang yang bapaknya meninggal, dan dia ingin menyembelih hewan qurban untuknya, maka salah seorang gurunya berkata : tidak boleh menyembelih seekor unta untuk satu orang, lebih baik kamu menyembelih seekor kambing untuknya, dan orang yang mengatakan kepadamu : sembelihlah seekor unta adalah salah, karena tidak boleh menyembelih seekor unta kecuali untuk jama’ah (tujuh orang ) ?
Jawab :
Boleh menyembelih hewan qurban untuk orang yang telah meninggal ( pahalanya untuknya ) baik berupa seekor kambing atau unta, dan orang yang mengatakan : bahwa
seekor unta tidak boleh kecuali untuk berjama’ah adalah salah, akan tetapi seekor kambing tidak syah kecuali untuk satu orang dan baginya boleh menyertakan keluarganya dalam mendapatkan pahalanya, adapun unta
maka boleh untuk satu orang atau tujuh orang
berserikat dalam membelinya, maka sepertujuhnya merupakan qurban tersendiri bagi tiap orang yang berserikat, dan sapi sama hukumnya seperti unta.
g. Tolong beritahukan kepada kami tentang hewan qurban, sahkah berqurban dengan seekor kambing yang berumur enam bulan, karena mereka mengatakan bahwa tidak sah
berqurban dengan kambing kecuali yang umurnya sudah sempurna satu tahun ?
Jawab :
Tidak sah berqurban dengan kambing domba kecuali yang umurnya sudah sempurna enam bulan dan telah memasuki bulan ke tujuh atau lebih, baik kambing jantan atau betina, dan inilah yang disebut dengan jadza’, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, dan Nasa’I bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : sesungguhnya jadza’ (kambing
domba yang telah berumur enam bulan dan masuk ke bulan ke tujuh) mencukupi apa yang dicukupi oleh kambing yang sudah berumur satu tahun dan memasuki tahun ke
dua. Dan tidak sah berqurban dengan kambing kacang, atau unta atau sapi kecuali yang sudah berumur, baik betina atau jantan, hewan disebut telah berumur,kambing jika sudah genap satu tahun dan memasuki tahun kedua, sapi jika sudah genap berumur dua tahun dan memasuki tahun ke tiga, dan unta jika sudah genap berumur lima tahun dan memasuki tahun ke enam, berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam : Jangan kamu menyembelih kecuali yang sudah berumur, kecuali jika kalian kesulitan mendapatkannya, maka sembelihlah jadz dari kambing domba. (HR. Muslim)
g. Pertanyaan :
Cacat apakah yang ada pada hewan yang dapat menghalangi menjadi hewan qurban ?
Jawab :
Yang tidak shah dijadikan hewan qurban adalah yang buta sebelah mata, yang buta, yang sakit, yang sangat kurus, yang pincang, yang patah tanduknya dan yang terpotong telinganya.
h. Pertanyaan :
Bolehkah mengucapkan niat misalnya jika saya ingin menyembelih hewan qurban untuk orang tua saya yang telah meninggal, lalu saya mengucapkan : Ya Allah, qurban ini untuk orang tua saya si fulan, atau saya melakukan hajat saya tanpa mengucapkan niat dan cukup.?
Jawab :
Niat tempatnya di hati, dan cukup dengan apa yang diniatkan dalam hati, dan tidak mengucapkannya dan dia harus mengucapkan Bismillah dan Allahu Akbar ketika akan menyembelih, berdasarkan riwayat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berqurban dengan dua domba, dia sembelih keduanya dengan tangan beliau sendiri, membaca Bismillah dan Allahu Akbar. (HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’I dan Ibnu Majah).
Dan tidak ada larangan, jika dia (yang berqurban ketika menyembelih) mengucapkan : Ya Allah, qurban ini untuk orangtuaku, dan ini adalah bukan termasuk
mengucapkan niat.
i. Pertanyaan : Telah terjadi diskusi sekitar masalah qurban, sebagian mengatakan bahwa wasiat atas orang mati agar berqurban
( menyembelih hewan qurban yang pahala untuk yang mati) adalah tidak disyari’atkan, karena para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berwasiat untuk itu, begitu juga para khulafa’ur Rasyidin. Dan para peserta diskusi juga berpendapat bahwa bersedekah dengan harga hewan qurban lebih utama dari
menyembelihnya ?
Jawab :
Menyembelih hewan qurban adalah sunnah muakkadah menurut pendapat kebanyakan ulama, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah berqurban dan menganjurkan ummatnya untuk berqurban, dan qurban
diperintahkan pada waktunya bagi orang yang masih hidup untuk dirinya dan keluarganya.
Adapun berqurban untuk orang yang telah meninggal, maka jika orang tersebut telah berwasiat dari sepertiga hartanya yang ditinggalkan, atau dia berwasiat dari sebagian hartanya yang telah dia wakafkan, maka wajiblah bagi orang yang diserahkan wakaf atau wasiat itu untuk melaksanakannya, jika ia
tidak berwasiat dan tidak menjadikan pada wakafnya, dan ada seseorang yang hendak berqurban untuk bapaknya atau ibunya atau untuk selain keduanya maka hal itu adalah baik, dan ini termasuk bersedekah untuk orang yang sudah mati dan sedekah untuk orang yang sudah mati adalah disyari’atkan menurut perkataan ahlus sunnah waljama’ah.
Adapun bersedekah dengan harga hewan qurban dengan dasar bahwa yang sedemikian adalah lebih utama dari menyembelihnya, maka jika berqurban tersebut tertulis dalam wasiatnya atau wakafnya, maka tidak boleh
bersedekah dengan harganya, adapun jika hal itu bersifat tathawwu’ ( sedekah ) dari orang lain untuknya, maka hal itu luas ( boleh dengan harga dan boleh dengan hewan qurban, pent ) dan adapun berqurban
untuk seorang muslim dan keluarganya yang masih hidup maka hal itu adalah sunnah mu’akkadah bagi orang yang mampu, dan menyembelihnya lebih utama dari membayar
harganya, karena mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
j. Apakah orang yang telah meninggal mengetahui apa yang dikerjakan oleh keluarganya ? Jika seseorang berqurban untuk bapaknya yang telah meninggal, bersedekah untuknya atau mendo’akannya,
atau berziarah ke makamnya apakah dia (yang telah meninggal) merasakan atau mengetahui bahwa itu anaknya ?
Jawab : Apa yang ditunjukkan oleh dalil syari’at bahwa orang yang telah meninggal akan mendapatkan manfaat dari sedekah yang masih hidup yang diniatkan untuknya,
dan do’a darinya, dan berqurban untuknya adalah bagian dari sedekah, maka jika orang yang bersedekah untuk yang telah meninggal itu ikhlas dalam bersedekah atau berdo’a untuknya maka yang telah meninggal akan
mendapatkan manfaat dan yang berdo’a atau bersedekah akan mendapatkan pahala, karena karunia dari Allah dan rahmat-Nya, dan cukuplah bahwa Allah mengetahui bahwa
dia telah ikhlas dan melakukan amal yang baik dan Allah memberikan balasan bagi keduanya (bagi yang telah meninggal dan berdo’a atau bersedekah untuknya), adapun perkara bahwa yang telah meninggal mengetahui siapa yang telah berbuat baik kepadanya maka tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut sebagaimana kami
ketahui, dan hal ini adalah perkara ghaib yang tidak diketahui kecuali dengan wahyu dari Allah Ta’ala untuk Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.
k. Pertanyaan : Siapakah yang berhak menerima daging hewar qurban, dan apa hukumnya mereka yang memberikan daging hewan qurban kepada yang menyembelih, dan juga kebanyakan kaum muslimin di negeri kami, jika mereka menyembelih
seekor kambing, maka mereka tidak langsung membagikan dagingnya pada hari itu juga, dan mereka mendiamkannya
sampai hari esok, dan saya tidak mengetahui , apakan yang sedemikian itu sunnah, atau dalam melakukan yang
sedemikian mendapatkan pahala ?
Jawab :
Yang berqurban hendaknya memakan sebagian daging qurbannya, memberikan sebagiannya kepada kaum faqir untuk memenuhi hajat mereka pada hari itu, kepada
kerabat untuk menyambung silaturrahmi, kepada tetangga untuk membatu mereka dan teman untuk memperkuat persaudaraan, dan bersegera memberikannya pada hari ied adalah lebih baik dari menundanya sampai
hari esok atau sesudahnya guna melapangkan kebutuhan mereka pada hari itu, dan memasukkan kegembiraan di hati mereka pada hari itu, dan karena umumnya perintah Allah (Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan
bumi (QS. 3:133)
Dan firman-Nya (Maka berlomba-lombalah kamu (dalam membuat) kebaikan. (QS. 2:148)
Dan boleh memberikan sebagian dari daging qurban kepada yang menyembelih tetapi bukan sebagai upah penyembelihan, dan upahnya diberikan dari yang lainnya.
k. Pertanyaan : Bolehkah orang non-muslim memakan daging qurban pada
hari Iedul adha ?
Jawab :
Ya, boleh bagi kita memberikan makan kepada orang kafir mu’ahad ( yang terikat perjanjian yaitu yang tunduk kepada negara Islam ) dan tawanan dari daging qurban, dan boleh memberikannya karena kefaqirannya,
atau kekerabatannya atau karena tetangga, atau untuk mengambil hatinya ( supaya masuk Islam ) karena hewan qurban merupakan ibadah pada penyembelihannya sebagai qurban karena Allah, dan ibadah kepada-Nya, adapun dagingnya, maka yang paling utama adalah yang berqurban memakan sepertiganya, memberikan sepertiganya kepada kerabat, tetangga dan
teman-temannya, dan bersedekah dengan sepertiganya lagi untuk kaum faqir, jika dia melebihkan atau mengurangi dari bagian-bagian ini, atau mencukupi dengan sebagiannya maka tidak apa-apa, dalam hal ini ada kelapangan, dan tidak boleh memberikan daging qurban kepada musuh, karena seharusnya kita mematahkan musuh dan melemahkannya tidak membantu dan
menguatkannya dengan sedekah, begitu juga hukum sedekah sunnah, karena umumnya firman Allah : “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. 60:8)
Dan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan Asma’ bintu Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma untuk berbuat baik kepada ibunya dengan harta sedang ibunya seorang musyrikah dalam keadaan damai.
l. Pertanyaan : Benarkah bahwa orang yang menyembelih hewan qurbannya sebelum imam menyembelih adalah tidak shah ?
Jawab : Yang benar bahwa yang menyembelih hewan qurban setelah shalat ied adalah shah, walaupun dia menyembelih sebelum imam menyembelih, adapun mereka
yang menyembelih hewan qurban sebelum shalat ied, maka tidaklah shah qurbannya itu, dan itu hanyalah makanan yang dia percepat untuk keluarganya.
Barang siapa ingin berqurban, maka janganlah dia mengambil ( memotong )rambut dan kukunya.
m. Pertanyaan : Hadits : Barang siapa hendak berqurban atau orang lain berqurban untuknya, maka dari awal bulan dzulhijjah janganlah dia memotong rambut atau kukunya, sampai dia selesai berqurban, maka apakah larangan ini untuk seluruh keluarganya, yang dewasa dan belum dewasa atau khusus untuk yang sudah dewasa saja ?
Jawab :
Kami tidak mengetahui bahwa lafadz hadits sebagaimana penanya sebutkan, dan lafadz yang kami ketahui sebagaimana diriwayatkan oleh Jama’ah kecuali Bukhari dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha adalah bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : (Jika kalian melihat awal bulan Dzulhijjah dan seseorang di antara kamu ingin berqurban, maka hendaklah ia menahan (dari memotong) rambut dan kukunya. Dan lafadz riwayat Abu Daud, Muslim dan
Nasa’I : ( Barang siapa mempunyai sembelihan (hewan
qurban) yang akan disembelihnya, maka jika telah terbit bulan sabit dari bulan Dzulhijjah, maka janganlah dia mengambil ( memotong ) dari rambut dan kukunya sampai dia menyembelih ).
Hadits ini menunjukkan larangan dari memotong sebagian rambut atau kuku setelah masuknya sepuluh pertama bulan
Dzulhijjah bagi mereka yang hendak menyembelih hewan qurban, dan dalam riwayat yang pertama terdapat perintah dan menahan, dan perintah menunjukkan suatu
kewajiban dan kami tidak mengetahui ada dalil lain yang memalingkannya dari ma’na asli (wajib) dan dalam riwayat yang kedua ada larangan dari memotong, dan larangan menunjukkan haram, maksud kami, keharaman memotong, dan kami tidak mengetahui adanya dalil yang memalingkan dari ma’na haram tersebut, dengan demikian
jelaslah bahwa hadits ini khusus bagi orang yang akan menyembelih saja, adapun orang yang disembelihkan baginya baik dewasa ataupun belum dewasa, maka tidak ada larangan bagi mereka untuk memotong sebagian rambut atau kukunya berdasarkan hukum asal yaitu boleh, dan tidak ada dalil yang menunjukkan hukum yang
bertentangan dari hukum asal itu ( boleh ).
n.Tanya : Saya mempunyai saudara sepupu yang selalu menyembelih sembelihan untuk bapaknya/kakeknya setiap tahun dan saya telah menasihatinya lebih dari sekali, namun ia selalu berkata : aku sudah bertanya dan mereka mengatakan tidak ada dosanya, maka bagaimanakah hukum yang benar berdasarkan syari’ah ?
Jawab : Apabila ia menyembelih dan maksudnya berkurban di hari raya Idul Adha dan tiga hari sesudahnya ( 11,12 dan 13 dzulhijjah ) untuk bapaknya atau kakeknya dll , maka hal itu tidak apa-apa, atau ia menyembelih dan maksudnya untuk sedekah bagi mereka ( bapaknya/kakeknya dll ) yang akan dibagikan kepada kaum faqir, maka tidak apa-apa, karena sedekah dengan daging atau makanan lainnya , semuanya itu bermanfaat bagi yang hidup dan yang sudah meninggal berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika beliau ditanya oleh seseorang tentang sedekah untuk ibunya yang telah meninggal dunia,
“apakah boleh saya bersedekah untuk ibuku?” maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab : “ya , bersedekahlah untuknya” . (HR.Bukhari) dan dalam riwayat Muslim: “apakah ia akan mendapatkan pahala ,jika aku bersedekah untuknya ? maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab : ” ya”.
Singkat kata, para ulama sepakat bahwa sedekah bagi yang seudah meninggal bermanfaat baginya, begitu juga dengan do’a. Oleh karena itu jika ia bermaksud dari sembelihan itu sedekah bagi bapaknya atau kakeknya atau ia menyembelih sembelihan itu sebagai kurban di hari Idul Adha yang pahalanya ditujukan kepada Bapaknya dll yang sudah meninggal karena mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, maka tidak apa-apa dan dia akan mendapatkan pahala begitu juga yang sudah meniggal sesuai dengan keikhlasannya dan kesucian sumber harta yang digunakan untuk itu.
Adapun jika ia melaksanakan itu untuk mendekatkan diri kepada yang sudah meninggal, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang menyembelih untuk ahli kubur, berhala, jin dll agar mendapatkan pertolongan mereka, atau agar mereka memberikan manfaat dan menjauhkan mereka dari penyakit dan segala bahaya, maka itu adalah perbuatan syirik, sebagaiman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah,” (HR.Muslim)
(Dikutip dari Fatwa-fatwa tentang Qurban, Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin; Syaikh Abdul Aziz Abdullah Bin Baz, Majmu’ Fatawa, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Jilid 6 hal,385)