Tahun Perutusan 3

Tahun Perutusan 3

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Oleh  Al-Ustadz Abu Muhammad Harits

Utusan Suku Thayyi’

Mereka datang bersama pemimpin mereka, Zaid al-Khail. Kedatangan mereka disambut oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Zaid al-Khail aslinya bernama Zaid bin Muhalhil. Beliau dikenal sebagai seorang yang mulia. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya, beliau berkata, “Hai Zaid, setiap orang yang diceritakan kepadaku sifat-sifatnya tentu kurang dari yang sebenarnya kecuali engkau. Ternyata sifat-sifatmu melampaui apa yang diceritakan kepadaku.”

Pada waktu itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya Zaid al-Khair. Sahabat ini masuk Islam dan berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam perjalanan pulang, Zaid meninggal dunia karena demam yang berat.

 

Islamnya ‘Adi bin Hatim radhiyallahu anhu

‘Adi bercerita, “Aku datang ke Madinah langsung menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang di Masjid. Kemudian aku memberi salam.”

“Siapakah ini?” tanya beliau.

“Adi bin Hatim, “ kataku.

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membawaku ke rumahnya. Di tengah jalan seorang wanita tua menahan beliau mengadukan persoalannya. Aku tertegun melihat kejadian ini dan berkata dalam hati, “Demi Allah, ini bukan watak seorang raja.”

Setelah tiba di rumah, beliau menawarkan bantal agar aku duduk di atasnya. Aku menolak dan meminta agar beliau yang duduk di atasnya. Namun, beliau tetap mendesak, hingga aku duduk di atasnya, sementara beliau di atas tanah.

Aku pun berkata dalam hati, “Demi Allah, ini bukan raja.”

Ketika aku sedang berbincang-bincang dengan beliau, datanglah seseorang mengadukan kemiskinannya. Lalu ada lagi yang mengadukan adanya gangguan di jalanan.

Setelah itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Hai ‘Adi, pernahkah engkau melihat negeri al-Hairah? Kalau panjang umurmu, engkau akan melihat seorang wanita bepergian dari al-Hairah hingga thawaf di Ka’bah. Tidak ada yang ditakutinya selain Allah. Sungguh, kalau panjang umurmu, engkau pasti akan membuka perbendaharaan Kisra Persia. Dan kalau panjang umurmu, engkau akan melihat seseorang membawa segenggam emas dan perak untuk diinfakkan, tetapi tidak dia dapati seorang pun yang mau menerimanya….”[1]

Sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Adi melihat semua kejadian itu, kecuali yang terakhir. Beliau z berkata, “Demi Allah, pasti akan terjadi juga yang ketiga; berlimpahnya harta hingga tak ada yang mau menerimanya.”

 

Utusan dari Najran

Datanglah 60 utusan kaum Nasrani Najran. Tiga di antaranya adalah pemimpin mereka, yaitu ‘Abdulmasih, al-Aiham, dan seorang uskup bernama Abu Haritsah bin ‘Alqamah dari Bani Bakr bin Wail.

Abu Haritsah ini dimuliakan oleh penguasa Romawi yang beragama Nasrani. Dia diberi harta, kedudukan, dan dibangunkan sebuah gereja besar oleh penguasa tersebut.

Ketika hendak berangkat ke Madinah menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bighal Kurz, saudara Abu Haritsah, tergelincir. Serta merta, Kurz mencela Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Abu Haritsah yang mendengarnya menegur, “Engkaulah yang celaka.”

Kurz heran, mengapa saudaranya malah mencelanya, “Mengapa begitu, hai saudaraku?”

Abu Haritsah berkata, “Demi Allah, sungguh, dia adalah nabi yang ummi, yang kita tunggu-tunggu.”

Kurz mengejar, “Lalu apa yang menghalangimu menemui beliau, padahal engkau mengetahuinya?”

Kata Abu Haritsah, “Semua itu karena kebaikan penguasa Romawi. Mereka sudah memuliakan kita, memberi kita harta, sedangkan mereka tidak suka mengikuti beliau. Kalau saya masuk Islam, pasti mereka akan mengambil semua yang ada ini.”

Kurz menyimpan apa yang dikatakan saudaranya sampai akhirnya dia masuk Islam.

Setelah mereka tiba di Madinah dan bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka berbincang-bincang dengan beliau.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajak mereka kepada Islam dan membacakan ayat Al-Qur’an kepada mereka, tetapi mereka menolak. Mereka bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang ‘Isa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak segera menjawab sampai turun firman Allah Subhanahuwata’ala:

إِنَّ مَثَلَ عِيسَىٰ عِندَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ ۖ خَلَقَهُ مِن تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُن فَيَكُونُ () الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلَا تَكُن مِّنَ الْمُمْتَرِينَ () فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِن بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنفُسَنَا وَأَنفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَل لَّعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ

Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia. (Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari Rabbmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu. Siapa yang membantahmu tentang kisah `Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la`nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (Ali ‘Imran: 59—61)

Keesokan harinya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan kepada mereka perihal ‘Isa sebagaimana dijelaskan Allah dalam ayat tersebut. Mereka minta diberi kesempatan berpikir. Beliau memberi mereka waktu tiga hari. Setelah itu mereka menemui beliau dan menyatakan menolak keterangan beliau tentang ‘Isa.

Akhirnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajak mereka bermubahalah (saling mendoakan laknat). Beliau pun datang membawa al-Hasan, al-Husan, dan Fathimah.

Melihat kesungguhan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, utusan Najran bermusyawarah, akhirnya kata mereka, “Jangan turuti. Demi Allah, kalau dia seorang nabi dan kita saling mendoakan laknat dengannya, kita pasti hancur. Tidak satu pun rambut dan kuku yang tumbuh melainkan pasti binasa.”

Kemudian mereka setuju untuk menerima keputusan hukum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Akhirnya, beliau bersedia menerima upeti dan berdamai dengan mereka. Setiap tahun, dua kali beliau menerima 2.000 pakaian yang masing-masing berisi satu uqiyah perak, yaitu bulan Rajab dan Shafar. Imbalannya, beliau memberi jaminan dari Allah dan Rasul-Nya kepada mereka sepenuhnya, termasuk urusan ibadah mereka.

Setelah mereka kembali, perlahan-lahan berita tentang Islam menyebar di kalangan mereka. Sebagian ahli sejarah menyebutkan bahwa pemimpin mereka, Sayyid dan ‘Aqib telah masuk Islam setibanya di Najran.

Begitu Islam mulai diterima, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus ‘Ali bin Abi Thalib memungut zakat dari kaum muslimin di antara mereka dan upeti dari mereka yang belum memeluk Islam.

Hikmah Kisah Ini

Ibnul Qayyim  menyebutkan bahwa salah satu hikmah kisah ini adalah bolehnya berdialog dengan ahli kitab dan mendebat mereka. Bahkan wajib jika maslahatnya lebih jelas….

Kalau bukan karena khawatir memperpanjang pembahasan, beliau akan menceritakan alasan-alasan yang menuntut pengakuan ahli kitab bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Rasul Allah. Alasan-alasan itu adalah keterangan yang ada di dalam kitab mereka sendiri. Mereka meyakininya dan tidak mungkin menolaknya.

Lebih dari seratus jalan yang membuktikannya, dan sudah beliau sendirikan dalam kitab Hidayatul Hayara.

Dalam sebagian diskusinya dengan ulama ahli kitab, Ibnul Qayyim menyebutkan:

Kritikan kalian terhadap kenabian Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak lengkap kecuali dengan mengkritik dan mengecam Allah Subhanahuwata’ala, serta menisbahkan kezaliman, kebodohan, dan kerusakan yang sangat besar kepada-Nya. Mahasuci Allah dari hal yang demikian.

Pendeta itu menjawab, “Mengapa begitu?”

Ibnul Qayyim mengatakan, “Bahkan lebih parah lagi, pengingkaran kalian terhadap kenabian Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan sempurna melainkan dengan mengingkari wujud Allah Subhanahuwata’ala.”

Adapun penjelasannya, sebagai berikut.

Kalau Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bukan nabi yang benar (jujur), apalagi menurut keyakinan kalian, beliau adalah raja yang lalim, berarti beliau telah mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa ilmu. Itu terus berlanjut hingga kalian menghalalkan (apa yang diharamkan-Nya), mengharamkan (apa yang dihalalkan-Nya), menetapkan kewajiban (yang tidak ditetapkan-Nya), menetapkan syariat (tanpa seizin Allah), menghapus agama sebelumnya, membantai manusia, membunuh pengikut para rasul, padahal mereka orang-orang yang benar, menawan wanita dan anak-anak mereka, merampas harta dan rumah mereka sebagai ghanimah. Hal itu berlangsung selama 23 tahun, sementara Allah tetap membela, menolong, dan memenangkan urusan beliau.

(Selama itu pula), Allah memberi beliau jalan kemenangan yang jauh di luar dugaan manusia. Lebih mengherankan lagi, dalam keadaan beliau (menurut kalian raja adalah yang lalim), Allah mengabulkan doa beliau. Dia hancurkan musuh-musuhnya tanpa usaha dari beliau sendiri, bahkan tanpa sebab. Kadang hanya karena doa beliau, dan kadang mereka dihancurkan Allah meskipun tanpa ada doa dari beliau.

Selain itu, Allah juga selalu memenuhi kebutuhan beliau setiap kali beliau memintanya kepada Allah. Dia memberi janji yang baik, bahkan membuktikan janji tersebut. Akan tetapi, semua ini kalian anggap sebagai kedustaan dan kezaliman yang hebat. Padahal, tidak ada kedustaan yang lebih buruk daripada kedustaan terhadap Allah dan terus-menerus melakukannya. Tidak ada kezaliman yang lebih berat daripada membatalkan syariat para nabi dan rasul-Nya, serta berbuat kerusakan di muka bumi….

Akan tetapi, ternyata Allah menyetujui perbuatan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak menghukum beliau, padahal beliau menyampaikan wahyu dari Allah Yang berfirman:

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ قَالَ أُوحِيَ إِلَيَّ وَلَمْ يُوحَ إِلَيْهِ شَيْءٌ

Tidak ada yang lebih zalim daripada mereka yang mengada-adakan dusta terhadap Allah, atau mengatakan, “Telah diturunkan wahyu kepadaku,” padahal tidak ada sesuatu yang diwahyukan kepadanya. (al-An’am: 93)

Semua ini mengharuskan kalian, wahai orang-orang yang mendustakan kerasulan beliau, menerima salah satu dari dua konsekuensi logis ini, yaitu:

Yang pertama, kamu meyakini tidak ada yang menciptakan dan mengatur alam semesta ini. Kalau alam semesta ini ada yang menciptakan dan mengaturnya, Mahakuasa lagi Mahabijaksana, pasti Dia akan menghukum dan memberi balasan yang setimpal serta menjadikannya tanda bagi orang-orang yang zalim. Tidak ada yang layak bagi para raja selain bertindak demikian. Terlebih lagi Penguasa langit dan bumi, dan hakim yang seadil-adilnya.

Konsekuensi kedua, menganggap Allah zalim, jahat, bodoh, menyesatkan manusia selama-lamanya, membela orang yang berdusta, memberinya kekuasaan di muka bumi, mengabulkan doanya, menjaga urusannya sepeninggalnya, meninggikan kalimatnya, memenangkan dakwahnya, mempersaksikan kenabiannya generasi demi generasi di hadapan seluruh manusia sepanjang masa. Kalau sudah demikian, di manakah sifat-Nya sebagai hakim yang seadil-adilnya, Penyayang dari semua yang menyayangi?

Sungguh, kalian sudah mengecam dan mengkritik Pencipta dan Penguasa alam semesta dengan seburuk-buruknya ….

Kami mengakui orang zalim itu banyak dan berkuasa serta memiliki kekuatan. Akan tetapi, urusan mereka tidak ada yang sempurna dan utuh. Allah memberi kekuatan kepada para rasul untuk menguasai mereka, melenyapkan pengaruh mereka dan memusnahkan mereka. Inilah ketetapan Allah pada hamba-hamba-Nya sejak dunia ini ada sampai Dia mewarisinya.

Kata Ibnul Qayyim, “Ketika mendengar perkataan ini, mereka berseru:

“Mahasuci Allah, kami tidak mengatakan beliau zalim dan pendusta. Siapa saja yang jujur dan adil di kalangan ahli kitab pasti mengakui bahwa orang-orang yang mengikuti jejak beliau dan menempuh jalannya adalah orang-orang yang selamat dan berbahagia di akhirat.”

“Bagaimana mungkin kalian anggap orang-orang yang menempuh jalan beliau dan mengikuti jejaknya berbahagia? Kalau begitu, tidak ada jalan selain mengakui kerasulannya ….”

Akhirnya, mereka terdiam dan pergi dengan segera.[2]

Wallahu a’lam.


[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhari.

[2] Lihat Zadul Ma’ad, 3/640-642.