You are currently viewing Tahun Perutusan

Tahun Perutusan

  • Post author:
  • Post category:Kisah

Oleh  Al-Ustadz Abu Muhammad Harits

 

Keberadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersama pasukan ‘usrah (kesulitan) beberapa malam di Tabuk tanpa ada upaya pihak Romawi melakukan penyerangan walau sekecil apa pun, telah menaikkan pamor kaum muslimin di mata bangsa Arab ketika itu. Bagi mereka, hal ini merupakan puncak kekuatan kaum muslimin, karena berani menyambut tantangan bangsa Romawi yang sebelumnya mengancam hendak menyerang Madinah.

Akhirnya, satu per satu kabilah Arab yang menjadi jajahan Romawi mulai melepaskan diri atau diam-diam mengikat perjanjian damai dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan di antara mereka ada yang terang-terangan memeluk Islam.

Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, mulailah berdatangan beberapa utusan kabilah Arab untuk menyatakan keislaman mereka dan membai’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sejumlah ahli sejarah menyebutkan bahwa jumlahnya mencapai kira-kira enam puluh utusan. Al-Bukhari menyebutkan di antaranya adalah utusan dari Bani Tamim, ‘Abdul Qais, Bani Hanifah, orang-orang Najran yang tidak masuk Islam tapi rela menyerahkan upeti, kaum Asy’ariyin, penduduk Yaman, suku Daus, dan ‘Adi bin Hatim ath-Tha’i serta lainnya.

Utusan Bani ‘Amir

Beberapa tokoh Bani ‘Amir, seperti ‘Amir bin Thufail, Arbad bin Qais, dan Jabbar bin Salma datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebelum itu, orang-orang Bani ‘Amir mengingatkan agar ‘Amir masuk Islam, tetapi dia berkata dengan pongahnya, “Sungguh, aku pernah bersumpah, tidak akan berhenti sampai bangsa Arab mengikutiku.”

Kemudian, dia berkata kepada Arbad, “Kalau kita sudah berjumpa dengannya, saya akan membuatnya sibuk dan lupa denganmu. Kalau dia sudah lengah, pukullah dia dengan pedangmu.”

Mereka pun tiba di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. ‘Amir berkata, “Hai Muhammad, biarkan aku berbicara denganmu berdua.”

Beliau menjawab, “Tidak. Demi Allah, sampai engkau beriman kepada Allah satu-satunya.”

‘Amir mengulangi permintaannya dan dijawab oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “(Tidak). Sampai engkau beriman kepada Allah satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya.”

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap menolak, dia berkata kepada beliau, “Demi Allah, pasti aku akan mengirimkan pasukan berkuda dan berjalan kaki menyerangmu.” Setelah dia pergi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa, “Ya Allah, cukupkanlah aku dari ‘Amir bin Thufail.”

Setelah mereka meninggalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Amir berkata kepada Arbad, “Sial kau, hai Arbad! Di mana engkau ketika aku menyuruhmu tadi? Demi Allah, tidak ada yang aku takuti di muka bumi ini terhadap diriku, selain engkau. Demi Allah, sesudah hari ini, aku tidak takut lagi kepadamu.”

Kata Arbad, “Matilah ayahmu, jangan terburu-buru. Demi Allah, aku tidak pernah memikirkan apa yang kau perintahkan tadi, kecuali engkau masukkan antara aku dan seseorang (maksudnya???), apakah aku harus menebas lehermu dengan pedang ini?”

Akhirnya, mereka pun meninggalkan kota Madinah pulang ke negeri mereka. Di tengah perjalanan, Allah Subhanahuwata’ala mengirimkan penyakit tha’un kepada ‘Amir yang mengantarkan pada kematiannya di rumah seorang wanita Bani Salul.

Begitu tiba di kampung halamannya, penduduk bani ‘Amir menanyakan berita yang mereka bawa. Kata Arbad, “Dia (Rasulullah) mengajakku beribadah kepada sesuatu (Allah). Kalau saja dia ada di dekatku, pasti aku panah sampai mati.”

Setelah mengucapkan kata-kata yang buruk ini, Arbad pergi sehari atau dua hari dengan seekor unta. Tiba-tiba, Allah Subhanahuwata’ala mengirimkan halilintar menyambarnya hingga membakarnya sampai mati.[1]

Utusan ‘Abdul Qais

Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dia mengatakan:

إِنَّ وَفْدَ عَبْدِ الْقَيْسِ أَتَوْا النَّبِيَّ n فَقَالَ: مَنِ الْوَفْدُ -أَوْ مَنِ الْقَوْمُ؟ قَالُوا: رَبِيعَةُ. فَقَالَ: مَرْحَبًا بِالْقَوْمِ -أَوْ بِالْوَفْدِ غَيْرَ خَزَايَا وَلَا نَدَامَى. قَالُوا: إِنَّا نَأْتِيكَ مِنْ شُقَّةٍ بَعِيدَةٍ وَبَيْنَنَا وَبَيْنَكَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ كُفَّارِ مُضَرَ وَلَا نَسْتَطِيعُ أَنْ نَأْتِيَكَ إِلَّا فِي شَهْرٍ حَرَامٍ فَمُرْنَا بِأَمْرٍ نُخْبِرُ بِهِ مَنْ وَرَاءَنَا نَدْخُلُ بِهِ الْجَنَّةَ. فَأَمَرَهُمْ بِأَرْبَعٍ وَنَهَاهُمْ عَنْ أَرْبَعٍ، أَمَرَهُمْ بِالْإِيمَانِ بِاللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَحْدَهُ. قَالَ: هَلْ تَدْرُونَ مَا الْإِيمَانُ بِاللهِ وَحْدَهُ؟ قَالُوا: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَإِقَامُ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ، وَصَوْمُ رَمَضَانَ، وَتُعْطُوا الْخُمُسَ مِنَ الْمَغْنَمِ. وَنَهَاهُمْ عَنْ الدُّبَّاءِ وَالْحَنْتَمِ وَالْمُزَفَّتِ -قَالَ شُعْبَةُ: رُبَّمَا قَالَ: النَّقِيرِ وَرُبَّمَا قَالَ: الْمُقَيَّرِ- قَالَ: احْفَظُوهُ وَأَخْبِرُوهُ مَنْ وَرَاءَكُمْ

Sesungguhnya utusan ‘Abdul Qais datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau berkata, “Siapa rombongan ini?”

“Dari Rabi’ah, “ jawab mereka.

Beliau berkata pula, “Selamat datang para utusan, tanpa rasa rendah dan penyesalan.”

Kata mereka, “Wahai Rasulullah, sebetulnya, antara kami dengan Anda ada orang-orang kafir dari Mudhar, sedangkan kami tidak mungkin sampai kepada Anda kecuali di bulan haram. Berikanlah suatu ketetapan untuk kami, yang akan kami pedomani dan kami perintahkan kepada orang-orang di belakang kami, sehingga dengan (mengamalkan) ketetapan itu kami masuk surga.”

Nabi memerintahkan empat hal kepada mereka dan melarang dari empat hal pula. Beliau n memerintahkan mereka agar beriman kepada Allah satu-satunya. Beliau bertanya: “Tahukah kalian apakah beriman kepada Allah itu?”

Kata mereka, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”

Beliau melanjutkan, “(yaitu) bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, kemudian mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan menyerahkan seperlima dari ganimah (pampasan perang).”

Beliau melarang mereka dari empat hal: dubba’, hantam, naqir, dan muzaffat. [2] –ucapan Syu’bah???– Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Jagalah semuanya dan ajaklah kepadanya orang-orang di belakang kamu semua.”

Ibnu Ishaq menceritakan bahwa dalam utusan itu terdapat al-Jarud bin Bisyr bin al-Mu’alla yang beragama Nasrani. Dia berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, saya memeluk satu agama dan akan meninggalkannya demi agama Anda. Apakah Anda akan menjamin untuk saya dengan apa yang ada di dalamnya?”

Kata beliau, “Ya, saya menjaminnya. Sesungguhnya apa yang saya sampaikan kepadamu lebih baik daripada yang engkau anut.” Dia pun memeluk Islam diikuti oleh teman-temannya. Kemudian, dia berkata, “Wahai Rasulullah, bebankanlah sesuatu kepada kami!”

“Demi Allah, saya tidak mempunyai sesuatu untuk membebanimu,” jawab beliau.

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya antara kami dan negeri kami ada barang-barang tercecer milik orang. Apakah boleh kami jadikan bekal?” tanya mereka.

“Tidak, itu adalah nyala api neraka.”[3]

Dalam kisah utusan  ‘ini terdapat beberapa faedah. Di antaranya:

1. Iman adalah kumpulan seluruh sikap yang disebutkan dalam hadits itu, baik ucapan maupun  perbuatan, sebagaimana dijalani oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, tabi’in, dan orang-orang yang mengikuti mereka.

2. Tidak boleh memanfaatkan harta tercecer milik orang lain, seperti unta, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang al-Jarud menaiki unta temuan.

3. Dalam riwayat Muslim ada tambahan, antara lain pujian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Asyaj ‘Abdul Qais, “Sesungguhnya pada dirimu ada dua perilaku yang disukai oleh Allah, yaitu santun (hilm) dan tenang (tidak terburu-buru).”

Al-Imam Ahmad meriwatkan pula tambahan lain, adanya pertanyaan Asyaj kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apakah kedua perilaku itu karena saya usahakan atau memang sudah diciptakan Allah untuk saya?”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Bahkan diciptakan oleh Allah untukmu.”

Dari riwayat-riwayat inilah para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah menyatakan bahwa manusia itu adalah ciptaan Allah Subhanahuwata’ala, zat maupun sifat-sifat mereka. Karena itu, orang-orang yang berkeyakinan bahwa perbuatan baik atau buruk yang dikerjakan seseorang adalah usahanya sendiri tanpa campur tangan Allah Subhanahuwata’ala, adalah sesat.

 

Utusan Bani Hanifah

Suatu ketika datang pula utusan Bani Hanifah bersama Musailamah al-Kadzdzab. Mereka singgah di rumah seorang wanita Anshar dari Bani Najjar. Kemudian, mereka menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya sambil memegang sebatang tongkat dari pelepah kurma. Setelah sampai di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka mengajak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berbicara.

Ketika giliran Musailamah berbicara dan dijawab oleh Rasulullah, beliau pun berkata kepadanya, “Seandainya engkau meminta tongkat ini pun tidak akan aku berikan.”

Ibnu Ishaq menceritakan bahwa Musailamah pernah menyurati Rasulullah, isinya:

Dari Musailamah utusan Allah kepada Muhammad Rasulullah. Amma ba’du; Sesungguhnya aku diikutkan bersamamu dalam urusan ini (Islam). Kami separuh, dan Quraisy separuhnya, sedangkan Quraisy bukan orang-orang yang adil.

Kemudian, datanglah utusannya membawa surat itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pun membalasnya:

Bismillahirrahmanirrahim, dari Muhammad Rasulullah, kepada Musailamah Si Pendusta. Kesejahteraan bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du;

Sesungguhnya bumi ini milik Allah Subhanahuwata’ala yang diwariskan-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, dan kesudahan yang baik hanya untuk orang-orang yang bertakwa.

Ibnul Qayyim menyebutkan, di dalam Shahihain, dari Nafi’ bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata, “Musailamah pernah menghadap Rasulullah di Madinah. Kemudian dia mengatakan, ‘Kalau Muhammad menyerahkan urusan ini kepadaku sepeninggalnya, pasti aku mengikutinya’.” Dia datang bersama rombongan kaumnya yang sangat banyak.

Tak lama, datanglah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyambut mereka sambil menggenggam sebatang pelepah kurma, bersama Tsabit bin Qais bin Syammas. Setelah berhadapan dengan rombongan Musailamah, beliau berkata, “Seandainya engkau meminta potongan pelepah ini pun, aku tidak akan menyerahkannya kepadamu. Engkau tidak akan melampaui ketetapan Allah Subhanahuwata’ala atas dirimu. Seandainya engkau berbalik (murtad), pasti Allah akan membinasakanmu. Aku mengira engkaulah yang aku lihat dalam mimpi. Tsabit bin Qais inilah yang akan menjawabmu.”

Kemudian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pergi.

Kata Ibnu ‘Abbas, “Saya bertanya-tanya, apakah maksud perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Aku mengira engkaulah yang aku lihat dalam mimpi?’.”

Kemudian Abu Hurairah  radhiyallahu anhu  menceritakan kepada saya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bercerita, “Ketika saya sedang tidur, saya bermimpi melihat sepasang gelang emas di kedua lengan saya. Kedua gelang itu merisaukan saya. Lalu saya diberi wahyu agar meniup kedua gelang tersebut. Saya pun meniup kedua gelang itu sampai lenyap. Kemudian saya menakwilkannya, bahwa ada dua pendusta akan muncul sepeninggalku.”

Itulah mereka, Al-‘Ansi di Shan’a dan Musailamah al-Kadzdzab di Yamamah.

Beberapa faedah yang dapat diambil dari kisah ini di antaranya ialah sebagai berikut.

  1. Seorang utusan, walaupun murtad tidak boleh dibunuh. Hal ini menjadi sebuah ketetapan (sunnah).
  2. Keutamaan Abu Bakr ash-Shiddiq z, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam meniup kedua gelang emas itu hingga lenyap, dan Abu Bakr-lah udara yang ditiupkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
  3. Seorang pemimpin boleh menyurati orang-orang murtad dan mengatakan, “Kesejahteraan atas orang-orang yang mengikuti petunjuk.”

(Insya Allah bersambung)



[1] Lihat Sirah Ibnu Hisyam 2/568—569 op.cit Zadul Ma’ad (3/604).

[2] Dubba’ artinya qara’???, hantam adalah jarrar??? hijau, naqir adalah batang pohon yang dilubangi untuk dijadikan tempat penyimpanan (perasan kurma), muzaffat ialah semua yang dicat dengan zaffat???. Yang dimaksud di sini ialah larangan membuat nabidz (minuman keras) dari tempat penyimpanan ini, karena sangat cepat fermentasinya menjadi alkohol. Setelah itu ada rukhshah (keringanan) tetapi tetap diharamkan meminum semua yang memabukkan. Lihat Shahih al-Bukhari (1/120,125) dan Muslim (17).

[3] Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (5/80), at-Tirmidzi (1882) dari al-Jarud al-‘Abdi, sanadnya sahih. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah (no. 2502) dari Abdullah bin asy-Syikhkhir, disahihkan oleh Ibnu Hibban (1171), lihat tahqiq Zadul Ma’ad (3/606).