al ustadz Abu Utsman Kharisman
Kondisi orang-orang yang menjadi penyampai berita bermacam-macam. Ada yang baik dan bisa dipercaya. Ada pula yang fasiq, banyak berbuat kemaksiatan, dan tidak takut untuk berdusta.
Allah Ta’ala memberikan bimbingan kepada kaum beriman dalam mengklarifikasi berita yang diterima:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasiq dengan membawa berita, klarifikasikanlah (kebenarannya) (Q.S al-Hujuraat ayat 6)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Si’diy rahimahullah menyatakan:
Ini juga termasuk adab bagi orang-orang yang berakal. (Diharapkan mereka) beradab dengannya dan mengamalkannya. Yaitu, jika seorang fasik menyampaikan khabar, hendaknya mereka memastikan terlebih dahulu kebenaran khabar itu. Jangan langsung diterima. Karena (jika langsung diterima), akan menimbulkan bahaya yang besar. Bisa terjatuh ke dalam dosa. Kalau khabar dari orang fasik itu disikapi seperti khabar orang yang jujur dan adil, kemudian diambil tindakan berdasarkan berita itu (tanpa klarifikasi), akan mengakibatkan kematian orang atau hilangnya harta seseorang tanpa hak. Hal itu akibat khabar (tidak benar) yang mengarah pada penyesalan.
Semestinya, yang wajib dilakukan saat menerima khabar dari orang yang fasik adalah memastikan kebenarannya dan melakukan klarifikasi. Jika petunjuk-petunjuk dan indikasi-indikasi yang ada menunjukkan kebenarannya, maka berita itu ditindaklanjuti dan dibenarkan. Jika menunjukkan pada kebohongan, maka berita itu didustakan (tidak diterima), dan tidak dilaksanakan.
Di dalam ayat ini juga terdapat dalil yang menunjukkan bahwa khabar dari orang yang jujur diterima. Sedangkan khabar dari pendusta, ditolak. Adapun khabar dari orang fasik disikapi sebagaimana yang telah kami sebutkan (di atas)(Taisiir Kariimir Rahmaan fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan(1/799))
Dahulu, jika ada seorang Sahabat Nabi yang menyatakan bahwa ia mendengar hadits dari Nabi, itu mudah diterima. Namun, setelah banyak para Sahabat meninggal dunia, dan mulai terjadinya fitnah, dengan fitnah pertama adalah terbunuhnya Utsman bin Affan radhiyallahu anhu, kaum muslimin mulai lebih selektif dalam menerima berita dan penyampaian hadits.
Muhammad bin Sirin (seorang tabi’i) rahimahullah menyatakan:
لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الإِسْنَادِ فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ قَالُوا سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلاَ يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ
Dulu mereka tidaklah bertanya tentang isnad. Ketika terjadi fitnah (munculnya kebid’ahan), mereka berkata: Sebutkanlah nama para perawi (hadits) kalian. Untuk dilihat (apakah berasal dari) Ahlussunnah, sehingga diambil (diterima) haditsnya. Dan dilihat (apakah berasal dari) Ahlul Bid’ah sehingga tidak diambil hadits mereka (Muqoddimah Shahih Muslim)
(dikutip dari naskah buku “Mudah Memahami Ilmu Mustholah Hadits (Syarh Mandzhumah al-Baiquniyyah), Abu Utsman Kharisman)