Telah kita sebutkan pada edisi yang lalu bahwa yang pertama kali menyambut dakwah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah istrinya, yaitu Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid. Ia seorang wanita yang hanif (condong kepada Al-Haq) dan yang tidak terbawa fitnah jahiliyah. Maka dengannya, Allah meringankan beban Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Apabila beliau mendengarkan sesuatu yang tidak ia sukai atau bantahan manusia terhadapnya, atau tuduhan-tuduhan mereka terhadapnya yang menjadikan beliau bersedih, semuanya itu akan hilang ketika beliau pulang ke rumah menemui istrinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mempersiapkan untuknya rumah dari mutiara di Surga, sebagaimana yang diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu anha.
æóáóÞóÏú ÃõãöÑó Ãóäú íõÈóÔøöÑóåóÇ ÈöÈóíúÊò ãöäú ÞóÕúÈò Ýöí ÇáúÌóäøóÉö ﴿ÑæÇå ãÓáã﴾
“… Beliau telah diperintahkan untuk memberi khabar gembira kepadanya dengan rumah dari mutiara di Surga.” (HR. Muslim)
Setelah itu, yang masuk Islam dari keluarga beliau adalah Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu yang ketika itu masih berumur 10 tahun.
Beliau (Ali) adalah anak paman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang dipelihara oleh beliau di rumahnya. Ali dididik dan dibesarkan di Madrasah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Mengapa Ali berada di bawah didikan/peliharaan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam? Kisahnya adalah sebagai berikut:
Diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam bahwa Quraisy ketika itu ditimpa musibah kelaparan, sedangkan Abu Thalib memiliki keluarga yang besar (banyak). Maka berkatalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada Al-Abbas bin Abdil Muthalib, turunan Bani Hasyim yang paling berkecukupan: “Wahai Abbas, sesungguhnya saudaramu Abu Thalib banyak keluarganya, sedang manusia sedang ditimpa (musibah) sebagaimana kamu ketahui. Maka berangkatlah bersama kami kepadanya untuk meringankan (beban) dari keluarganya! Saya mengambil seorang anaknya dan engkau mengambil seorang.” Maka Abbas berkata: “Baiklah.” Kemudian berangkatlah hingga keduanya mendatangi Abu Thalib, dan berkata: “Kami ingin meringankan kamu dari keluargamu hingga lepas dari manusia apa yang menimpa mereka.” Abu Thalib pun berkata: “Kalau engkau berdua meninggalkan Aqil untukku, silahkan kalian perbuat apa yang kalian maukan.” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengambil Ali dan dipeliharanya, sedangkan Abbas mengambil Ja’far kemudian dipeliharanya. (lihat Sirah Ibnu Hisyam 1/245 atau ringkasannya oleh Abdus Salam Harun hal. 55)
Ali bin Abi Thalib pun tinggal di rumah beliau shallallahu alaihi wa sallam sampai datangnya Islam dan Ali sebagai remaja yang pertama masuk Islam, shalat bersama beliau shallallahu alaihi wa sallam.
Ibnu Hisyam melanjutkan kisah di atas sebagai berikut: “Disebutkan oleh para ulama bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam jika masuk waktu shalat berangkat ke Bukit-Bukit Makkah. Ali bin Abi Thalib ikut bersamanya dengan sembunyi-sembunyi dari Ayahnya (Abu Thalib), paman-pamannya dan seluruh kaumnya. Kemudian keduanya mengerjakan shalat dan ketika petang keduanya pulang. Mereka tetap seperti ini sesuai dengan kehendak Allah. Ketika Abu Thalib mendapati keduanya shalat pada suatu hari, maka berkatalah dia kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam: “Wahai anak saudaraku, agama apa yang aku lihat kamu berpegang dengannya?” Beliau menjawab: “Wahai pamanku, ini adalah agama Allah, para malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya dan agama bapak kita Ibrahim alaihi salam. Allah mengutus aku sebagai Rasul-Nya membawa Dien ini kepada para hamba. Dan engkau wahai pamanku, yang paling berhak untuk aku beri nasehat dan aku ajak kepada petunjuk (hidayah). Engkaulah yang paling wajib untuk mengikutiku dan menolongku atas dakwah ini.” Abu Thalib berkata: “Wahai anak saudaraku, aku tidak bisa meninggalkan agama nenek moyangku dan adat yang mereka ada di atasnya. Tetapi, demi Allah! Tidak akan kubiarkan sesuatu yang tidak kau sukai mengenai/menimpa kamu selama aku hidup! (Sirah Ibnu Hisyam 1/245)
Demikianlah, walaupun paman beliau shallallahu alaihi wa sallam tidak mengikuti dakwahnya, tapi dia bersumpah untuk melindunginya. Inilah kehendak Allah dan tidak ada seorangpun yang dapat menghalangi kehendak-Nya.
Berikutnya, di antara keluarga beliau yang masuk Islam adalah anak angkatnya Zaid bin Haritsah. Dia asalnya budak milik Khadijah radhiallahu anha, istri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ketika Rasulullah melihatnya dan memintanya, maka Khadijah memberikannya. Setelah itu, Rasulullah memerdekakannya dan mengangkatnya sebagai anak. Zaid sangat bahagia dan cinta kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bahkan mengalahkan cintanya kepada orang tuanya dan pamannya.
Dikisahkan dalam Mukhtashar Sirah Muhammad bin Abdil Wahhab: Bahwa ayah Zaid yaitu Haritsah dan pamannya datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk menebusnya. Maka keduanya berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam: “Wahai anak pemimpin kaum. Kalian adalah penduduk tempat suci (Baitullah) dan tetangganya. Kalian melepaskan orang yang kesusahan dan memberi makan tawanan. Kami datang kepadamu untuk anakku, yaitu budakmu. Maka berbuat baiklah engkau kepada kami dalam tebusannya.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun berkata: “Maukah kalian selain itu?” Mereka berkata: “Apakah itu?” Beliau bersabda: “Aku panggil dia dan aku beri dia pilihan. Kalau dia memilih kalian maka dia untuk kalian dan kalau dia memilihku, maka sungguh demi Allah, aku tidak memilih atas orang yang telah memilihku (yakni tidak bisa memaksa selain itu).” Maka berkata mereka: “Engkau telah berbuat lebih dari sekedar adil, dan telah berbuat baik.” Maka dipanggillah Zaid kemudian beliau berkata: “Tahukah engkau siapa mereka?” Dia menjawab: “Ya, dia adalah ayahku dan pamanku.” Beliau berkata: “Sedangkan aku orang yang sudah kau ketahui dan telah kau lihat bagaimana persahabatanku padamu, maka apakah engkau memilihku atau memilih mereka?” Berkata Zaid: “Aku tidak memilih siapapun di atasmu. Engkau menduduki kedudukan ayah dan pamanku.”
Maka ayah Zaid dan pamannya berkata: “Celaka engkau wahai Zaid! Apakah engkau memilih perbudakan daripada kemerdekaan? Dan (memilih orang lain) daripada ayah dan pamanmu serta keluargamu?” Dia berkata: “Ya…! ya, aku melihat pada orang ini ada sesuatu. Aku tidak akan memilih di atas yang aku sudah pilih seorangpun selamanya” (Padahal kejadian ini sebelum beliau diangkat sebagai Nabi, pen). Melihat kejadian ini Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam keluar ke Hijir (dekat Ka’bah) dan berkata: “Aku persaksikan bahwa Zaid adalah anakku, aku mewariskan kepadanya dan dia mewarisiku!” Ketika melihat demikian, tenanglah jiwa ayah dan pamannya, kemudian keduanya pergi. Maka (sejak itu) dia dipanggil Zaid bin Muhammad sampai datangnya Islam dan Allah menurunkan ayat:
ÇÏúÚõæåõãú áöÂÈóÇÆöåöãú åõæó ÃóÞúÓóØõ ÚöäúÏó Çááøóåö ﴿ÇáÃÍÒÇÈ: ٥﴾
“Panggillah mereka dengan ayah-ayah mereka, itu lebih adil di sisi Allah.” (Al-Ahzab: 5)
Az-Zuhri berkata: “Aku tidak mengetahui seorangpun masuk Islam sebelum Zaid.” (Mukhtashar Sirah Muhammad bin Abdul Wahab hal. 57-58)
Selanjutnya, yang pertama masuk Islam dari kalangan laki-laki (dewasa) adalah Abu Bakar bin Abi Quhafah. Nama beliau adalah ‘Atieq dan nama ayahnya adalah Utsman dari Bani Taim bin Murrah Al-Quraisy. Beliau sebelumnya adalah shahabat dekat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, mengenali Nabi dan sifat-sifatnya yang terpuji. Tidak pernah Abu Bakar mendapati beliau berdusta sama sekali. Maka ketika Rasulullah mengabarkan tentang kerasulannya, dia segera menyambutnya tanpa ragu sedikitpun dan berkata: “Ayah ibuku sebagai jaminan sungguh engkau pemilik kejujuran. Aku bersaksi tidak ada sesembahan kecuali Allah dan engkau adalah Rasulullah.” (Nurul Yaqin Muhammad Hudhari Bik hal. 28)
Setelah masuk Islam, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu anhu menampakkan keislamannya dan berdakwah mengajak ke jalan Allah dan Rasul-Nya. Beliau adalah orang yang disukai di kaumnya, yang pandai bergaul dan dicintai oleh mereka. Beliau memiliki nasab (keturunan) yang mulia di Quraisy dan yang paling mengerti tentang Quraisy, baik dan buruknya. Dia seorang pedagang yang kaya dan memiliki akhlak yang dikenal baik. Orang-orang dari kaumnya berdatangan kepadanya untuk berbagai permasalahan, karena ilmu dan perdagangannya, dan juga karena baik pergaulannya.
Kemudian mulailah dia berdakwah mendukung Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan hartanya dan jiwanya hingga Rasulullah mengatakan di akhir hayatnya:
Åöäøó Ãóãóäøó ÇáäøóÇÓö Úóáóíøó Ýöíú ÕõÍúÈóÊöåö æó ãóÇáöåö: ÃóÈõæú ÈóßúÑò¡ æó áóæú ßõäúÊõ ãõÊøóÎöÐðÇ ÎóáöíúáÇð ÛóíúÑó ÑóÈøöí áÇóÊøóÎóÐúÊõ ÃóÈóÇ ÈóßúÑò¡ æóáóßöäú ÃõÎõæøóÉõ ÇáÅöÓúáÇóãö æó ãóæóÏøõÊõåõ¡ áÇó íóÈúÞóíóäøó Ýöí ÇáúãóÓúÌöÏö ÈóÇÈñ ÅöáÇøó ÓõÏøó ÅöáÇøó ÈóÇÈó ÃóÈöí ÈóßúÑò. ﴿ÑæÇå ÇáÈÎÇÑí – ÇáÝÊÍ ٧/۳٥٩﴾
“Sesungguhnya manusia yang paling banyak memberikan jasa kepadaku dalam persahabatan dan hartanya adalah Abu Bakar. Seandainya aku (boleh) mengambil khalil (kekasih) selain Rabbku niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar (sebagai khalil), tetapi persaudaraan Islam dan kasih sayangnya. Tidak akan tersisa satu pintu pun di masjid kecuali tertutup, melainkan pintu Abu Bakar.” (HR. Bukhari, Fathul Bari 7/359 hadits 3604)
Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan bahwa Abu Bakar adalah orang yang pertama masuk Islam dengan mengambil istinbath dengan hadits:
Åöäøó Çááåó ÈóÚóËóäöí Åöáóíúßõãú¡ ÝóÞõáúÊõãú ßóÐöÈúÊó æó ÞóÇáó ÃóÈõæú ÈóßúÑò: ÕóÏóÞó¡ æóæóÇÓóÇäöí ÈöäóÝúÓöåö æó ãóÇáöåö ﴿ÑæÇå ÇáÈÎÇÑí – ÇáÝÊÍ ٧/٢٦٦﴾
“Sesungguhnya Allah mengutusku kepada kalian. Maka kalian berkata (kepadaku): “Engkau dusta!” tapi Abu Bakar mengatakan: “Engkau benar!” Dan ia mendukungku dengan jiwa dan hartanya.” (HR. Bukhari, Fathul Bari 7/366. Lihat Sirah Shahihah 1/134 karya D. Akram Dhiaul Umari)
Orang-orang yang masuk Islam melalui dakwah Abu Bakar adalah: Utsman bin Affan bin Abil Ash dari Bani Umayah Al-Qurasyi yang kemudian dijuluki Dzun nurain (yang memiliki dua cahaya) karena pernikahannya dengan dua anak perempuan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Yang pertama beliau menikahi Ruqayyah radhiallahu anha tetapi kemudian meninggal dunia. Setelah itu beliau menikah dengan saudaranya yaitu Umi Kultsum radhiallahu anha.
Ketika pamannya Al-Hakim mengetahui keislamannya, beliau diikat tangannya dan dikatakan kepadanya: “Apakah kamu benci agama nenek moyangmu dan lebih menyukai agama yang baru? Demi Allah, aku tidak akan melepaskan kamu sampai kamu melepaskan apa yang kamu pegang.” Maka Utsman radhiallahu anhu berkata kepadanya: “Demi Allah, aku tidak akan melepaskan dan memisahkan diri darinya!” Ketika Al-Hakim melihat kekuatan hatinya dalam memegang al-haq, maka dia membiarkannya (membebaskannya). Ini semua ketika beliau waktu itu berumur kira-kira tiga puluh tahun. (Nurul Yakin hal 28)
Setelah Utsman, di antara yang masuk Islam melalui dakwah Abu Bakar adalah Zubair bin Awwam bin Khuwailid dari Bani Asad Al-Quraisy, dan ibunya Shafiyyah binti Abdil Muthalib. Ketika paman beliau mendengar keislamannya, dia menyodorkan asap (mendekatkan api) kepadanya sedangkan dia dalam keadaan terikat, agar kembali kepada agama bapak-bapaknya. Tetapi Allah kuatkan dan Allah mantapkan (dalam keislaman). Beliau waktu itu belum melewati umur baligh.
Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (239) dari riwayat Hisyam bin Urwah, dia berkata: “Zubair masuk Islam ketika berumur 16 tahun dan tidak pernah takhalluf (absen) dalam berbagai peperangan bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sampai beliau terbunuh dalam umur empat puluh sekian tahun.” (Berkata Al-Haitsami: riwayat ini mursal shahih, lihat Ta’liq Nurul Yakin hal 28)
Abdurrahman bin Auf dari Bani Zuhrah Al-Quraisy adalah yang berikutnya masuk Islam. Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu’jamul Kabir 253 dari Ibnu Sirin bahwa Abdurrahman bin Auf di zaman jahiliyah namanya adalah Abdul Ka’bah. Maka Rasulullah memberinya nama Abdurrahman. (sanadnya shahih, lihat Ta’liq Nurul Yakin hal 29) Beliau adalah salah seorang dari 10 orang yang diberi berita gembira dengan surga.
Setelah Abdurrahman bin Auf, disusul oleh Sa’ad bin Abi Waqqash dari Bani Zuhrah Al-Qurasyi yang masuk Islam dengan perantaraan dakwah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Dalam riwayat Muslim dan Tirmidzi disebutkan bahwa Hamunah binti Abi Sufyan, ibunya Sa’ad, ketika mengetahui keislaman anaknya, dia berkata: “Wahai Sa’ad, sampai kepadaku (berita) bahwa engkau sudah keluar dari agama bapak-bapakmu. Demi Allah! Atap tidak akan menaungiku dari panas dan dingin, makanan dan minuman haram bagiku, sampai engkau kafir kepada Muhammad!” Maka tetaplah ibunya dalam keadaan demikian selama tiga hari. Sa’ad pun kemudian datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengadukan perihal ibunya. Maka turunlah firman Allah Ta’ala sebagai pelajaran kepadanya:
æóæóÕøóíúäóÇ ÇáÅöäúÓóÇäó ÈöæóÇáöÏóíúåö ÍõÓúäðÇ æóÅöäú ÌóÇåóÏóÇßó áöÊõÔúÑößó Èöí ãóÇ áóíúÓó áóßó Èöåö Úöáúãñ ÝóáÇó ÊõØöÚúåõãóÇ Åöáóíøó ãóÑúÌöÚõßõãú ÝóÃõäóÈøöÆõßõãú ÈöãóÇ ßõäúÊõãú ÊóÚúãóáõæäó ﴿ÇáÚäßÈæÊ: ٨﴾
“Kami wasiatkan kepada manusia untuk berbakti pada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya mengajak engkau untuk menyekutukan Aku, apa-apa yang tidak ada ilmu padamu, maka jangan taati keduanya. Kepada-Ku-lah kamu kembali, kemudian Aku beritakan padamu apa-apa yang telah kamu kerjakan.” (Al-Ankabut: 8)
Dalam kitab Nurul Yaqin disebutkan bahwa Allah mewasiatkan beliau untuk berbakti pada kedua orang tuanya baik mukmin maupun kafir. Adapun jika keduanya mengajak kepada kesyirikan, maka ini jelas merupakan kemaksiatan kepada Allah. Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq (pencipta). (lihat Nurul Yaqin hal. 29)
Orang berikutnya yang mendapat dakwah Abu Bakar ialah Thalhah bin Ubaidillah dari Bani Taim bin Murrah Al-Quraisy. Beliau sebelumnya sudah mendengar tentang Rasul yang akan datang dan sifat-sifatnya dari pendeta-pendeta Yahudi. Maka ketika Abu Bakar mengajaknya, kemudian mendengar dari Rasul shallallahu alaihi wa sallam sesuatu yang memberikan manfaat kepadanya, juga karena dia melihat Dien ini mantap dan jauh dari kejelekan-kejelekan (cacat-cacat) yang biasa ada pada orang Arab, maka dia segera menyambutnya untuk masuk Islam. (HR. Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat 3/215 dan Baihaqi 2/185. Tapi riwayatnya dhaif) Beliau juga termasuk sepuluh orang yang diberi khabar gembira dengan jannah (surga).
Kemudian generasi pertama dari kalangan budak (mawali) adalah: Bilal bin Abi Rabah radhiallahu anhu, seorang budak dari Habsi milik Umayyah bin Khalaf. Yang kemudian dibeli oleh Abu Bakar dan dimerdekakan. Selanjutnya beliau ditunjuk sebagai muadzin Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Disusul kemudian oleh Khabab bin Arat keluarga Yasir, Suhai bin Ar-Rumi radhiallahu anhuma dan lain-lain. Dinukil dalam Sirah Shahihah: bahwa telah tsabit (shahih) riwayat bahwa Ammar bin Yasir masuk Islam di awal pertama munculnya Islam. Beliau menceritakan tentang dirinya dengan berkata: “Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan tidaklah bersamanya (pengikutnya) kecuali lima orang budak, dua orang wanita dan Abu Bakar.” (HR Bukhari). Berkata Ibnu Hajar: “Adapun lima orang budak. Mereka adalah Bilal, Zaid bin Haritsah, Amir bin Fuhairah, Abu Fakihah dan yang kelima bisa jadi Syaqran. Adapun dua orang wanita adalah Khadijah dan Ummu Aiman atau Sumayyah.” (Fathul Bari 7/373-374, Sirah Shahihah hal. 137)
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu juga termasuk generasi pertama pemeluk Islam. Beliau menceritakan kisah Islamnya sebagai berikut: “Waktu itu aku seorang remaja tanggung yang menggembalakan kambing milik Uqbah bin Abi Mu’ith di Makkah. Ketika itu datanglah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Abu Bakar kepadaku. Keduanya telah lari dari musyrikin, maka dia berkata: ‘Wahai ghulam (anak) apakah engkau memiliki susu untuk kami?’ Aku mengatakan: ‘Saya seorang yang diberi amanat. Aku tidak bisa memberi kamu berdua minum (susu).’ Keduanya berkata: ‘Apakah memiliki kambing betina yang muda, yang belum dikawini jantan?’ Aku katakan: ‘Ya.’ Kemudian aku bawa kepadanya. Maka Abu Bakar mengikatnya dan Rasulullah memegang susunya dan berdoa. Kemudian berkumpullah (membesarlah) susunya. Abu Bakar segera datang dengan membawa batu yang berlubang (sebagai gelas pent). Maka mulailah beliau memerasnya dan meminumnya. Beliau, Abu Bakar dan kemudian keduanya memberiku. Setelah itu beliau berkata: ‘berkerutlah!’ Maka berkerutlah (susu tersebut).
Setelah kejadian itu aku mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam aku mengatakan: ‘Ajarilah aku ucapan-ucapan yang baik itu (yang dimaksud adalah Al-Qur`an).’ Maka Rasulullah bersabda: ‘Sungguh engkau anak yang berpendidikan.’ Maka aku mengambil dari mulutnya tujuh puluh surat. Tidak ada seorang pun yang membantah aku padanya.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, dengan sanad hasan, Sirah Shahihah hal 137). Riwayat Al-Waqidi menyebutkan bahwa Abdullah bin Mas’ud masuk Islam sebelum Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam masuk ke rumah Arqam (Thabaqat Ibnu Sa’ad 1/151, juga lihat Sirah Shahihah halaman yang sama).
Berikutnya yang termasuk generasi pertama adalah Amru bin Absah As-Sulami radhiallahu anhu. Beliau menceritakan tentang keislamannya sebagai berikut: “Waktu itu di zaman jahiliyyah, orang sudah mengira bahwa manusia dalam keadaan sesat dan bahwasanya mereka tidak berada di atas agama apapun dan mereka dalam keadaan menyembah berhala. Kemudian aku mendengar seseorang di Makkah membawa berita-berita. Maka duduklah aku di atas kendaraanku, dan berangkatlah aku di sana. Ternyata dia adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan sembunyi dari kejaran kaumnya. Maka aku berpura-pura sampai aku masuk kepadanya dan berkata: “Siapa engkau?” Beliau menjawab: “Aku Nabi.” Aku mengatakan: “Apakah Nabi itu?” Beliau berkata: “Allah mengutusku.” Saya katakan: “Dengan apa Allah mengutusmu?” Beliau berkata: “Aku diutus untuk menyambung silaturahmi, menghancurkan berhala dan agar mengesakan Allah dan tidak disekutukan.” Saya berkata: “Siapa yang bersamamu (yang mengikuti, pent.) dalam masalah ini.” Beliau berkata: “Orang merdeka dan budak.” Dia (Amru) bermaksud berkata: “Yang bersamanya pada waktu itu dari orang-orang beriman adalah Abu Bakar dan Bilal.” Aku katakan padanya: “Sesungguhnya aku mengikutimu.” Beliau berkata: “Sungguh engkau tidak akan bisa pada saat sekarang ini. Tidakkah engkau melihat keadaanku saat sekarang ini. Tidakkah engkau melihat keadaanku dan keadaan manusia? Kembalilah engkau ke keluargamu, (nanti) jika engkau mendengar tentang aku dan aku sudah menonjol (dhahir) datanglah engkau kepadaku.” Dan Amru berkata: “Maka berangkatlah aku kembali ke keluargaku. Sampai ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam datang ke Madinah dan aku di keluargaku. Mulailah aku mencari-cari berita. Bertanya pada orang-orang yang datang dari Madinah sampai datanglah kepadaku beberapa orang dari penduduk Yatsrib (penduduk Madinah). Maka saya tanyakan pada mereka: “Apa yang dilakukan oleh orang yang datang ke Madinah?” Mereka berkata: “Manusia bersegera kepadanya sedang kaumnya ingin membunuhnya, tapi mereka tidak mampu.” Maka berangkatlah aku ke Madinah dan masuklah aku kepadanya.” (HR. Muslim 1/596, lihat Sirah Shahihah hal. 139)
Termasuk juga generasi pertama yang masuk Islam adalah Abu Dzar Al-Ghifari. Dia adalah seorang dari Arab gunung (Badui) yang manis tutur katanya dan fasih (demikianlah keistimewaan orang-orang Badui dalam segi bahasa mereka sangat fasih, pen).
Ketika dia mendengar diutusnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dia menyuruh saudaranya: “Naikilah kendaraanmu ke lembah ini dan beritahu aku tentang berita orang yang mengaku nabi dan datang kepadanya berita dari langit! Dengarlah ucapannya, dan bawalah kemari.” Maka berangkatlah ia sampai datang ke Makkah. Di sana ia mendengar ucapan Rasul shallallahu alaihi wa sallam, kemudian kembali kepada Abu Dzar dan berkata: “Aku melihat dia menyuruh agar kita berakhlak yang mulia dan dia mengucapkan ucapan yang bukan sya’ir.”
Abu Dzar berkata: “Engkau tidak mencukupi apa yang aku inginkan.” Kemudian dia mempersiapkan bekalnya, membawa tempat airnya dan berangkatlah beliau ke Makkah. Beliau mendatangi masjid dan mencari-cari Nabi shallallahu alaihi wa sallam (dalam keadaan tidak mengenalinya). Tapi dia tidak suka untuk bertanya tentangnya, karena dia mengetahui kebencian Quraisy kepada setiap orang yang berhubungan dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Ketika datang waktu malam, Ali radhiallahu anhu melihat dia. Maka tahulah Ali radhiallahu anhu bahwa dia orang asing. Diajaknya dia sebagai tamunya di rumahnya. Ali tidak bertanya tentang sesuatu (tujuan atau keperluan) satu sama lain sesuai dengan kaidah dalam menghormati tamu di kalangan Arab, yaitu tidak bertanya tentang tujuan dan maksud kedatangannya, kecuali setelah tiga hari.
Pada pagi harinya, kembali dia membawa tempat air dan bekalnya ke masjid sampai habis hari itu dan dia belum melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Maka ketika petang hari, dia kembali ke pembaringannya di masjid. Kemudian Ali melewatinya dan berkata: “Bukankah sudah waktunya seorang untuk mengetahui rumah yang kemarin dia diterima sebagai tamunya?” Maka dibangunkannya kemudian pergi bersamanya, juga tak saling bertanya satu sama lainnya. Pada hari yang ketiga, kembali dia seperti tadi, maka Ali berkata kepadanya: “Tidaklah engkau mau mengabarkan kepadaku apa yang menyebabkan engkau datang kemari?” Dia berkata: “Kalau engkau mau memberikan janji kepadaku mau menunjukkan aku, akan kerjakan (menjawab).” Maka Ali memberikan janjinya dan dia mengabarkan. Ali berkata: “Sesungguhnya itu adalah haq. Dia adalah utusan Allah. Jika pagi hari nanti, ikutilah aku. Kalau aku melihat sesuatu yang aku khawatirkan atasmu aku berhenti, seakan-akan aku menuangkan air. Dan jika aku berjalan, ikutilah aku sampai engkau masuk ke tempat aku masuk.” Abu Dzar pun mengerjakan yang demikian. Dia berangkat mengikuti jejak Ali sampai masuk ke tempat Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan mendengarkan ucapannya. Di situ beliau masuk Islam dan berkatalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam: “Pulanglah engkau ke kaummu dan khabarkanlah kepada mereka (tentang aku) sampai datang perintahku.” Dia berkata (Abu Dzar): “Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, aku akan menyeru dengannya di tengah-tengah mereka (kaum Quraisy).” Dia segera keluar hingga mendatangi masjid berseru dengan sekeras suaranya: “Asyhadu anla ilaha Illallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah!” Maka bangkitlah kaum Quraisy dan memukulinya hingga ia terbaring. Abbas pun datang memarahi mereka dan mengucapkan: “Celaka kalian! Tidakkah kalian tahu bahwa dia dari suku Ghifar? Jalan perdagangan kalian ke Syam melewati mereka.” Abbas segera menolongnya dan menyelamatkannya dari mereka. Tetapi kembali Abu Dzar mengulanginya pada keesokan harinya dan kembali mereka memukulinya sampai Abbas datang kembali. (HR. Bukhari dalam Manaqibul Anshar dan Muslim dalam Fadha`il Shahabah)
Setelah itu, banyak dari para shahabat yang masuk Islam, sampai turunnya perintah dari Allah untuk menjahrkan dakwah (dakwah secara terang-terangan) dan (sampai) masuk Islamnya Umar bin Khattab dan Hamzah bin Abdul Muthalib. Dan masalah ini akan kita bahas pada edisi mendatang. Insya Allah.
Maraji’:
1. Sirah Ibnu Hisyam
2. Mukhtashar Sirah Ibnu Hisyam oleh Abdus Salam Harun
3. Mukhtashar Sirah oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab
4. Nurul Yaqin oleh Muhammad Hudhari Bik
5. Sirah Shahihah oleh D. Akram Dhiaul Umari
(Dikutip dari http://salafy.iwebland.com/baca.php?id=43. Sumber: Majalah Salafy edisi IV/Dzulqa’dah/1416/1996 rubrik Sirah. Judul asli Para Sahabat Generasi Pertama Ummat ini. Penulis Ustadz Muhammad Umar As-Sewed.)