Prinsip-prinsip Aqidah Ahlusunnah Wal Jama’ah (IV)

Prinsip-prinsip Aqidah Ahlusunnah Wal Jama’ah (IV)

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Prinsip Keenam

Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bersihnya hati dan mulut mereka terhadap para sahabat Rasul Radhiyallahu ‘anhum sebagaimana hal ini telah digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika mengkisahkan Muhajirin dan Anshar dan pujian-pujian terhadap mereka.

Firman ALLAH yang artinya :”Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan : Ya Allah, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam iman dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kebencian kepada orang-orang yang beriman : Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. (Al-Hasyr : 10).

Dan sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,yang artinya : “Janganlah kamu sekali-kali mencela sahabat-sahabatku, maka demi dzat yang jiwaku ditangan-Nya, kalau seandainya salah seorang diantara kalian menginfakkan emas sebesar gunung uhud, niscaya tidak akan mencapai segenggam kebaikan salah seorang diantara mereka tidak juga setengahnya”. (Dikeluarkan oleh Bukhary 3/3673, dan Muslim 6/ Juz 16 hal 92-93 atas Syarah Nawawy).

Berlainan dengan sikap orang-orang ahlul bid’ah baik dari kalangan Rafidhoh maupun Khawarij yang mencela dan meremehkan keutamaan para sahabat.

Ahlus Sunnah memandang bahwa para khalifah setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhumajma’in.

Barangsiapa yang mencela salah satu khalifah diantara mereka, maka dia lebih sesat daripada keledai karena bertentangan dengan nash dan ijma atas kekhalifahan mereka dalam silsilah seperti ini.

Prinsip Ketujuh

Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mencintai ahlul bait sesuai dengan wasiat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya, yang artinya : “Sesungguhnya aku mengingatkan kalian dengan ahli baitku”. ( Dikeluarkan Muslim 5 Juz 15, hal 180 Nawawy, Ahmad 4/366-367 dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab As-Sunnah No. 629).

Sedang yang termasuk keluarga beliau adalah istri-istrinya sebagai ibu kaum mu’minin Radhiyallahu ‘anhunna wa ardhaahunna. Dan sungguh Allah telah berfirman tentang mereka setelah menegur mereka.

Firman ALLAH yang artinya :”Wahai wanita-wanita nabi ……..”.(Al-Ahzab : 32)

Kemudian mengarahkan nasehat-nasehat kepada mereka dan menjanjikan mereka dengan pahala yang besar, Allah berfirman yang artinya: “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya”. ( Al-Ahzab : 33)

Pada pokoknya ahlul bait itu adalah saudara-saudara dekat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang dimaksud disini khususnya adalah yang sholeh diantara mereka. Sedang sudara-saudara dekat yang tidak sholeh seperti pamannya, Abu Lahab maka tidak memiliki hak. Allah berfirman yang artinya: ” Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya celaka dia”. (Al-Lahab : 1).

Maka sekedar hubungan darah yang dekat dan bernisbat kepada Rasul tanpa keshalehan dalam ber-din (Islam), tidak ada manfaat dari Allah sedikitpun baginya, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Hai kaum Quraisy, belilah diri-diri kamu, sebab aku tidak dapat memberi kamu manfaat di hadapan Allah sedikitpun ; ya Abbas paman Rasulullah, aku tidak dapat memberikan manfa’at apapun di hadapan Allah. Ya Shofiyyah bibi Rasulullah, aku tidak dapat memberi manfaat apapun di hadapan Allah, ya Fatimah anak Muhammad, mintalah dari hartaku semaumu aku tidak dapat memberikan manfaat apapun di hadapan Allah”. (Dikeluarkan oleh Bukhary 3/4771, 2/2753, Muslim 1 Juz 3 hal 80-81 Nawawy).

Dan saudara-saudara Rasulullah yang sholeh tersebut mempunyai hak atas kita berupa penghormatan, cinta dan penghargaan, namun kita tidak boleh berlebih-lebihan terhadap mereka dengan mendekatkan diri dengan suatu ibadah kepada mereka. Adapaun keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk memberi manfaat atau madlarat selain dari Allah adalah bathil, sebab Allah telah berfirman yang artinya: “Katakanlah (hai Muhammad) : Bahwasanya aku tidak kuasa mendatangkan kemadlaratan dan manfaat bagi kalian”. (Al-Jin : 21).

Firman ALLAH yang artinya: “Katakanlah (hai Muhammad) : Aku tidak memiliki manfaat atau madlarat atas diriku kecuali apa-apa yang tidak dikehendaki oleh Allah , kalaulah aku mengetahui yang ghaib sunguh aku aka perbanyak berbuat baik dan aku tidak akan ditimpa kemadlaratan”. (Al-A’raf : 188)

Apabila Rasulullah saja demikian, maka bagaimana pula yang lainnya. Jadi, apa yang diyakini sebagian manusia terhadap kerabat Rasul adalah suatu keyakinan yang bathil.

Prinsip Kedelapan

Dan diantara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah membenarkan adanya karomah para wali yaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui tangan-tangan sebagian mereka, berupa hal-hal yang luar biasa sebagai penghormatan kepada mereka sebagaimana hal tersebut telah ditunjukkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Sedang golongan yang mengingkari adanya karomah-karomah tersebut daintaranya Mu’tazilah dan Jahmiyah, yang pada hakikatnya mereka mengingkari sesuatu yang diketahuinya.

Akan tetapi kita harus mengetahui bahwa ada sebagian manusia pada zaman kita sekarang yang tersesat dalam masalah karomah, bahkan berlebih-lebihan, sehingga memasukkan apa-apa yang sebenarnya bukan termasuk karomah baik berupa jampi-jampi, pekerjaan para ahli sihir, syetan-syetan dan para pendusta. Perbedaan karomah dan kejadian luar biasa lainnya itu jelas, Karomah adalah kejadian luar biasa yang diperlihatkan Allah kepada para hamba-Nya yang sholeh, sedang sihir adalah keluar biasaan yang biasa diperlihatkan para tukang sihir dari orang-orang kafir dan atheis dengan maksud untuk menyesatkan manusia dan mengeruk harta-harta mereka. Karomah bersumber pada keta’atan, sedang sihir bersumber pada kekafiran dan ma’shiyat.

Prinsip Kesembilan

Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bahwa dalam berdalil selalu mengikuti apa-apa yang datang dari Kitab Allah dan atau Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik secara lahir maupun bathin dan mengikuti apa-apa yang dijalankan oleh para sahabat dari kaum Muhajirin maupun Anshar pada umumnya dan khususnya mengikuti Al-Khulafaur-rasyidin sebagaimana wasiat Rasulullah dalam sabdanya, yang artinya: “Berpegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk”. (Telah terdahulu takhrijnya).

Dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mendahulukan perkataan siapapun terhadap firman Allah dan sabda Rasulullah. Oleh karena itu mereka dinamakan Ahlul Kitab Was Sunnah. Setelah mengambil dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka mengambil apa-apa yang telah disepakati ulama umat ini. Inilah yang disebut dasar yang pertama ; yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Segala hal yang diperselisihkan manusia selalu dikembalikan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Allah telah berfirman, yang artinya: “Maka jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari akhir, yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya”. (An-Nisaa : 59)

Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema’shuman seseorang selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka tidak berta’ashub pada suatu pendapat sampai pendapat tersebut bersesuaian dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Mereka meyakini bahwa mujtahid itu bisa salah dan benar dalam ijtihadnya. Mereka tidak boleh berijtihad sembarangan kecuali siapa yang telah memenuhi persyaratan tertentu menurut ahlul ‘ilmi.

Perbedaan-perbedaan diantara mereka dalam masalah ijtihad tidak boleh mengharuskan adanya permusuhan dan saling memutuskan hubungan diantara mereka, sebagaimana dilakukan orang-orang yang ta’ashub dan ahlul bid’ah. Sungguh mereka tetap metolerir perbedaan yang layak (wajar), bahkan mereka tetap saling mencintai dan berwali satu sama lain ; sebagian mereka tetap shalat di belakang sebagian yang lain betapapun adanya perbedaan masalah far’i (cabang) diantara mereka. Sedang ahlul bid’ah saling memusuhi, mengkafirkan dan menghukumi sesat kepada setiap orang yang menyimpang dari golongan mereka.

Penutup

Kemudian dengan adanya prinsip-prinsip yang dikemukakan dimuka, mereka senantiasa berakhlak mulia sebagai pelengkap aqidah yang diyakininya.

Diantara sifat-sifat yang agung itu adalah:

Pertama, Mereka beramar ma’ruf dan nahi mungkar seperti yang telah diwajibkan syari’at dalam firman Allah berikut.

“Firman ALLAH yang artinya : Jadilah kalian umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, beramar ma’ruf dan nahi munkar dan kalian beriman kepada Allah”. (Ali-Imran : 110).

Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam yang artinya: “Barangsiapa diantara kamu menyaksikan suatu kemunkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, apabila tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, dan apabila tidak mampu maka dengan hatinya dan yang demikian itulah selemah-lemah iman”. (Dikeluarkan oleh Muslim 1/Juz 2 hal. 22-25 syarah Nawawy dari Abu Sa’id Al-Khudry).

Sekali lagi, amar ma’ruf nahi munkar hanya terhadap apa-apa yang diwajibkan oleh syari’at. Sedangkan golongan Muta’zilah mengeluarkan amar ma’ruf dan nahi munkar dari apa-apa yang diwajibkan oleh syara, sehingga mereka berpandangan bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah keluar dari para pemimpin kaum muslimin apabila mereka melakukan ma’shiyat walaupun belum termasuk perbuatan kufur.

Sedang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah memandang wajib menasehati mereka dalam hal kema’shiyatannya tanpa harus memberontak kepada mereka. Hal ini dilakukan dalam rangka mempersatukan kalimat dan menghindari perpecahan dan perselisihan. Telah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah : Barangkali hampir tidak dikenal suatu kelompok keluar memberontak terhadap pemilik kekuasaan kecuali lebih banyaknya kerusakan yang terjadi ketimbang terhapusnya kemungkaran (melalui cara pemberontakan tersebut).

Kedua, Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjaga tetap tegaknya syi’ar Islam baik dengan menegakkan shalat Jum’at dan shalat berjama’ah sebagai pembeda terhadap kalangan ahlul bid’ah dan orang-orang munafik yang tidak mendirikan shalat Jum’at maupun shalat Jama’ah.

Ketiga, Menegakkan nasehat bagi setiap muslim dan bekerja sama serta tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya: “Ad-Din itu nasehat, kami bertanya : untuk siapa .? Beliau menjawab : Untuk Allah dan Rasul-Nya dan para imam kaum muslimin serta kaum muslimin pada umumnya”.(Dikeluarkan oleh Muslim I/Juz 2 hal. 36-37 syarah Nawawy, Abu Daud 5/49944, dan An-Nasaai 7/4197, Imam Ahmad 4/102 dari Tamiim Ad-Dary).

Sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam yang artinya: “Mu’min yang satu bagi mu’min yang lain bagaikan satu bangunan yang satu sama lain saling mengokohkan”. (Dikeluarkan oleh Bukhary 4/6026 dan Muslim 6/Juz 16 hal. 139 syarah Nawawy).

Keempat, Mereka tegar dalam menghadapi ujian-ujian dengan sabar ketika mendapat cobaan-cobaan dan bersyukur ketika mendapatkan keni’matan dan menerimanya dengan ketentuan Allah.

Kelima, Bahwasanya mereka selalu berahlak mulia dan beramal baik, berbuat baik kepada kedua orang tua, menyambung tali persaudaraan, berlaku baik dengan tetangga, dan mereka senantiasa melarang dari sikap bangga, sombong, dzalim (aniaya) sesuai dengan firman Allah, yang artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib, kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (An-Nisaa : 36)

Firman ALLAH yang artinya: “Sesempurna-sempurna iman seorang mu’min adalah yang baik ahlaknya”. (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad 13 No. 7396, Tirmidzi 3/1162, Abu Daud 5/4682, dan Al-Haitsamy dalam Mawarid No. 1311, 1926).

Kita memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar berkenan menjadikan kita semua bagian dari mereka dan tidak menjadikan hati kita condong kepada kekafiran setelah diberi petunjuk (hidayah-Nya) dan semoga shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya beserta shabat-sahabatnya. Aamin.

(Disalin dari Prinsip-prinsip Aqidah Ahlusunnah Wal Jama’ah, tulisan Syaikh Dr Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, diterbitkan oleh Dar Al-Gasem Saudi Arabia PO Box 6373 Riyadh 11442.)