Ditulis Oleh Ustadz Kharisaman
Hadits :
عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ قَالَ قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ
Dari Abul Hayyaj al-Asady beliau berkata: Ali bin Abi Tholib berkata kepadaku: Engkau aku utus (dengan tugas) sebagaimana Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam mengutusku, yaitu: Janganlah engkau tinggalkan patung/gambar makhluk bernyawa kecuali engkau hilangkan, dan kuburan yang ditinggikan kecuali engkau ratakan (H.R al-Jamaah, kecuali al-Bukhari dan Ibnu Majah)
Al-Imam asy-Syaukany rahimahullah menyatakan:
ومن رفع القبور الداخل تحت الحديث دخولا أوليا القبب والمشاهد المعمورة على القبور وأيضا هو من اتخاذ القبور مساجد وقد لعن النبي صلى الله عليه وآله وسلم فاعل ذلك كما سيأتي وكم قد سرى عن تشييد أبنية القبور وتحسينها من مفاسد يبكي لها الإسلام منها اعتقاد الجهلة لها كاعتقاد الكفار للأصنام وعظم ذلك فظنوا أنها قادرة على جلب النفع ودفع الضرر فجعلوها مقصدا لطلب قضاء الحوائج وملجأ لنجاح المطالب وسألوا منها ما يسأله العباد من ربهم وشدوا إليها الرحال وتمسحوا بها واستغاثوا وبالجملة إنهم لم يدعوا شيئا مما كانت الجاهلية تفعله بالأصنام إلا فعلوه فإنا لله وإنا إليه راجعون ومع هذا المنكر الشنيع والكفر الفظيع لا نجد من يغضب لله ويغار حمية للدين الحنيف لا عالما ولا متعلما ولا أميرا ولا وزيرا ولا ملكا وقد توارد إلينا من الأخبار ما لا يشك معه أن كثيرا من هؤلاء المقبوريين أو أكثرهم إذا توجهت عليه يمين من جهة خصمه حلف بالله فاجرا فإذا قيل له بعد ذلك احلف بشيخك ومعتقدك الولي الفلاني تلعثم وتلكأ وأبى واعترف بالحق وهذا من أبين الأدلة الدالة على أن شركهم قد بلغ فوق شرك من قال إنه تعالى ثاني اثنين أو ثالث ثلاثة فيا علماء الدين ويا ملوك المسلمين أي رزء للإسلام أشد من الكفر وأي بلاء لهذا الدين أضر عليه من عبادة غير الله وأي مصيبة يصاب بها المسلمون تعدل هذه المصيبة وأي منكر يجب إنكاره إن لم يكن هذا الشرك البين واجبا
Di antara perbuatan yang pertama kali masuk (larangannya) dalam hadits adalah membangun kubah-kubah dan cungkup-cungkup di atas kubur. Lagipula yang demikian itu termasuk menjadikan kubur sebagai masjid, padahal Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam telah mengutuk orang yang melakukan itu.
Banyak sudah kerusakan yang ditangisi Islam (kaum muslimin,pent) akibat dari pendirian bangunan-bangunan di atas kubur dan tindakan memperindahnya. Di antara kerusakan-kerusakan itu adalah kepercayaan orang-orang bodoh terhadap kubur seperti kepercayaan orang-orang kafir terhadap berhala. Dan semakin menjadi-jadi sehingga mereka menganggap bahwa kubur tersebut mampu mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan. Lalu mereka menjadikan kubur-kubur itu sebagai tempat tujuan untuk mencari hal-hal yang dapat menutupi kebutuhan mereka dan untuk keberhasilan maksud-maksud mereka. Mereka meminta kepada kubur-kubur itu apa yang diminta oleh hamba kepada Tuhannya.
Mereka bersusah payah melakukan perjalanan (syaddur rihaal) ke kubur-kubur tersebut lalu mengusap-usapnya serta meminta tolong agar terhindar dari bahaya. Walhasil, mereka tidak meninggalkan satupun dari apa yang dilakukan orang-orang Jahiliyyah terhadap berhala, melainkan pasti mereka kerjakan juga. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’un.
Tetapi meski ada kemungkaran yang keji dan kekufuran yang nyata ini, kami tidak menemukan seorangpun yang marah karena Allah dan tersinggung demi menjaga agama Allah yang lurus. Baik ia Ulama’, pelajar, gubernur, Menteri, ataupun raja. Padahal telah sampai kepada kita berita-berita yang tidak diragukan lagi kebenarannya bahwa para penyembah kubur itu atau sebagian besarnya, apabila diminta bersumpah atas nama Allah oleh pihak lawannya, mereka akan bersumpah palsu atas nama-Nya. Tetapi kalau sesudah itu mereka diminta bersumpah atas nama syekhnya atau wali fulan yang diyakininya, mereka menjadi bimbang dan menolak bersumpah lalu mengakui kesalahannya.
Demikian ini merupakan bukti yang paling jelas yang menunjukkan bahwa kesyirikan mereka telah melampaui kesyirikan orang yang mengatakan Allah itu oknum kedua atau ketiga dari tiga tuhan (Nashrani, pent).
Hai Ulama Islam dan para penguasa muslim, bencana apakah yang lebih berbahaya dari kekufuran?! Cobaan manakah yang lebih menimbulkan mudharat (bahaya/kerugian) terhadap agama daripada penyembahan kepada selain Allah. Musibah macam manakah yang menimpa kaum muslimin yang dapat menyamai musibah ini, dan kemungkaran yang bagaimana yang wajib ditentang jika kesyirikan yang nyata ini tidak wajib diingkari?! (Nailul Authar karya asy-Syaukany bab Tasliimul Qobri wa rosysyihi bil maa’ wa ta’liimihi li yu’rof juz 4 halaman 131)).
Beberapa pelajaran yang bisa diambil dari ucapan/ penjelasan seorang ‘alim ini adalah:
- Perbuatan kesyirikan yang dilakukan dalam pengagungan terhadap kuburan itu sama dengan yang dilakukan kaum musyrikin jahiliyyah terhadap berhalanya.
- Bahkan, kesyirikan yang dilakukan oleh orang-orang itu lebih besar dibandingkan kesyirikan trinitas, ketika mereka mau berdusta dalam bersumpah atas nama Allah, namun justru tidak mau berdusta jika bersumpah atas nama syaikh atau wali yang diagungkannya.
- Melakukan safar (bersusah payah menempuh perjalanan jauh/ syaddur rihaal) dalam rangka mendatangi kubur orang shalih, mengusap kuburnya dan meminta agar dihindarkan dari bahaya adalah kesyirikan seperti perbuatan kaum musyrikin di masa Jahiliyyah.
- Tidak ada musibah yang lebih dahsyat bagi kaum muslimin selain terjadinya kesyirikan dan kekufuran.
- Membangun kubah-kubah dan cangkup-cangkup di atas kubur juga termasuk dalam larangan Nabi menjadikan kuburan sebagai masjid.
- Para pemimpin, para Ulama’, dan kaum muslimin seluruhnya wajib mengingkari terjadinya perbuatan-perbuatan kesyirikan semacam itu.
Dalam pernyataan tersebut, al-Imam Muhammad bin Ali asy-Syaukany banyak menyoroti perbuatan kesyirikan yang banyak terjadi di daerahnya pada masa beliau hidup. Beliau memiliki tulisan yang bagus dalam masalah aqidah berjudul: ad-Durrun Nadhiid fii ikhlaashi kalimatit tauhiid.
Sebagian orang menganggap bahwa pihak yang mengingkari perbuatan-perbuatan kesyirikan itu sebagai wahabi1(pengikut Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab). Al-Imam asy-Syaukany hidup satu masa dengan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Asy-Syaukany (masa hidup: 1173-1250H) berada di Yaman, sedangkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (masa hidup:1115-1206H ) berada di Najd (sekarang Saudi Arabia). Mereka juga hidup satu jaman dengan al-Imam (Muhammad bin Ismail al-Amiir) as-Shon’aany (masa hidup: 1099-1182 H) penulis kitab Subulus Salam syarh Bulughul Maram2.
Al-Imam asy-Syaukaany juga pernah menyatakan dalam kitabnya al-badrut Thooli’ bi mahaasini min ba’dil qornis- saabi’ (2/7) :
Pada tahun 1215 Hijriyah sampai kepadaku risalah dua jilid dari penduduk Najd yang dikirim oleh Maulana al-Imam hafidzhahullah. Salah satunya risalah-risalah dari Muhammad bin Abdil Wahhab seluruhnya berupa petunjuk tentang memurnikan tauhid dan menjauhkan dari kesyirikan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkeyakinan terhadap kubur. Itu adalah risalah-risalah yang baik, banyak mengandung dalil dari al-Quran dan as-Sunnah…
Mungkin saja ada yang meragukan bait-bait syair pujian al-Imam asy-Syaukany saat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab meninggal dunia. Namun yang jelas, aqidah keduanya adalah sama dan termaktub dengan tegas dalam kitab Nailul Authar yang mudah dijumpai di toko-toko buku dan perpustakaan Islam. Kitab Nailul Authar karya asy-Syaukaany dalam pembahasan fiqh dijadikan rujukan oleh banyak kaum muslimin hingga saat ini. Termasuk saudara-saudara kita yang belajar dan mengajar di pondok-pondok pesantren tradisional yang tersebar di pelosok-pelosok Indonesia.
(Abu Utsman Kharisman)
Catatan Kaki :
1) Orang sering tidak paham dengan tuduhan wahabi. Padahal, dari sisi penisbatannya saja sudah salah. Selain itu, seorang ahlussunnah tidaklah mengkultuskan seorang ulama pun dengan mengesampingkan Ulama yang lain. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah salah seorang Ulama’ yang berjasa dalam dakwahnya, setelah taufiq dari Allah. Namun, para Ulama’ setelahnya yang mensyarah kitab-kitab beliau tetap obyektif dalam menilai. Jika didapati ada hadits yang lemah, mereka jelaskan. Sebagai bentuk bukti bahwa kebenaran (al-haq) lebih dicintai ahlussunnah dibandingkan kecintaannya kepada guru atau orang yang berjasa padanya. Bagi Ahlussunnah, tidak ada yang bisa diikuti secara mutlak ucapannya selain Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Beliaulah Imam yang paling utama.
2) Dari sisi urutan usia : al-Imam as-Shon-‘aany, kemudian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, kemudian al-Imam asy-Syaukaany. Al-Imam as-Shon-‘aany juga memiliki tulisan yang bagus dalam hal aqidah yang berjudul Tath-hiirul I’tiqaad ‘an Adroonil Ilhaad.