Di tulis Oleh Al Ustadz Idral
Peristiwa ini terjadi tahun kedelapan hijriah, pada bulan Jumadil Akhirah, beberapa hari sesudah meletusnya perang Mu’tah, di balik lembah Wadil Qura yang berjarak sepuluh hari dari Madinah.
Sebuah berita sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa sepasukan orang dari Qudha’ah[1] telah berkomplot untuk mendekati ujung kota Madinah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memanggil ‘Amr bin Al-‘Ash z.
‘Amr bin Al-’Ash menceritakan:
قَالَ لِي رَسُولُ اللهِn : يَا عَمْرُو ،اشْدُدْ عَلَيْكَ سِلَاحَكَ وَثِيَابَكَ وَأْتِنِي. فَفَعَلْتُ فَجِئْتُهُ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ فَصَعَّدَ فِيَّ الْبَصَرَ وَصَوَّبَهُ وَقَالَ: يَا عَمْرُو، إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَبْعَثَكَ وَجْهًا فَيُسَلِّمَكَ اللهُ وَيُغْنِمَكَ وَأَرْغَبُ لَكَ مِنَ الْمَالِ رَغْبَةً صَالِحَةً. قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي لَمْ أُسْلِمْ رَغْبَةً فِي الْمَالِ إِنَّمَا أَسْلَمْتُ رَغْبَةً فِي الْجِهَادِ وَالْكَيْنُونَةِ مَعَكَ. قَالَ: يَا عَمْرُو، نَعِمَّا بِالْمَالِ الصَّالِحِ لِلرَّجُلِ الصَّالِحِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku: “Hai ‘Amr. Ketatkan pakaian dan senjatamu, dan menghadaplah kepadaku.” Akupun melakukannya lalu mendatangi beliau yang sedang berwudhu. Kemudian beliau mengangkat pandangannya ke arahku, memerhatikanku seraya berkata: “Hai ‘Amr, sungguh aku ingin mengirimmu ke satu tujuan, lalu Allah menyelamatkanmu dan memberimu ghanimah. Aku pun harapkan untukmu harta itu, harapan yang baik.”
Kata ‘Amr: Aku pun berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh, saya masuk Islam bukan karena menginginkan harta, tapi saya masuk Islam karena memang ingin berjihad dan tetap bersama anda.” Beliaupun berkata: “Wahai ‘Amr, harta yang baik itu adalah untuk orang yang baik pula.” (HR. Al-Imam Ahmad dalam Musnad Syamiyyin)
Sikap ini menunjukkan betapa kuat iman, kejujuran, dan keikhlasan ‘Amr dalam ber-Islam, juga semangatnya untuk selalu menyertai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal inipun diakui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam sebuah hadits yang disahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t (Ash-Shahihah 1/154 no. 155), beliau bersabda:
“Orang-orang sudah masuk Islam, sedangkan ‘Amr telah beriman.”
Asy-Syaikh Al-Albani menerangkan: “Dalam hadits ini tersirat keutamaan ‘Amr bin Al-’Ash karena dipersaksikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keimanannya. Persaksian ini menunjukkan berita tentang surga bagi beliau. Karena dalam sebuah hadits (Muttafaq ‘alaihi), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إلاَّ نَفْسٌ مُؤْمِنَةٌ
“Tidak akan masuk surga kecuali jiwa yang beriman.”
Kemudian Rasulullah n membelitkan bendera putih dan menyerahkan bendera hitam kepadanya. Setelah itu beliau melepas ‘Amr bersama 300 orang Muhajirin dan Anshar. Di antaranya 30 orang pasukan berkuda. Pasukan muslimin mulai bergerak keluar kota Madinah. Di siang hari pasukan berhenti, istirahat. Malamnya, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Ini adalah salah satu bukti kecerdikan dan keahlian ‘Amr bin Al-’Ash dalam berperang. Taktik ini sangat menguntungkan pasukan muslimin karena:
– menjaga agar stamina pasukan tetap segar, tidak dilemahkan oleh rasa haus dan panasnya matahari
– menyembunyikan gerak pasukan di malam hari dari intaian musuh
Setibanya di sana, ‘Amr mendengar banyaknya jumlah musuh. Beliaupun mengirim surat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta bala bantuan. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan bantuan 200 orang Muhajirin, termasuk di dalamnya Abu Bakr dan ‘Umar serta mengangkat Abu ‘Ubaidah Ibnul Jarrah , sebagai komandan mereka.
Berselisih Adalah Kelemahan
Musa bin ‘Uqbah menceritakan dalam Sirah-nya:
Setelah bertemu ‘Amr, Abu ‘Ubaidah hendak maju mengimami pasukan, tetapi ditahan oleh ‘Amr, dia berkata: “Kalian datang kepadaku adalah sebagai bala bantuan. Aku panglima (di sini).” Orang-orang Muhajirin berkata: “Engkau adalah komandan pasukanmu ini, sedangkan Abu ‘Ubaidah komandan orang-orang Muhajirin.”
‘Amr membantah: “Tapi kalian adalah bala bantuan yang saya minta.” Melihat keadaan ini, Abu ‘Ubaidah yang wataknya lembut, berkata: “Engkau tahu wahai ‘Amr, terakhir yang ditetapkan Rasulullah n ialah: ‘Jika engkau sampai kepada teman-temanmu, maka hendaklah kalian saling menurut (kerja sama)’, dan engkau, kalau engkau tidak menaatiku, pasti saya tetap menaati engkau.”
Maka Abu ‘Ubaidah pun menyerahkan kepemimpinan kepada ‘Amr bin Al-’Ash, . Sejak itu, ‘Amr pun menjadi imam bagi pasukan tersebut. Alangkah indahnya, kehidupan mereka. Serba mudah dalam urusan dunia, jauh dari ambisi kepemimpinan.
Alangkah tanggap Abu ‘Ubaidah melihat kenyataan ini. Sekecil apapun perselisihan di dalam tubuh pasukan muslimin dalam perang Dzatu Salasil ini, pasti akan membuahkan kelemahan dan kekalahan. Sebab itulah dengan segera beliau memadamkan api perselisihan itu dengan menyerahkan kepemimpinan kepada ‘Amr.
Malam harinya, pasukan muslimin beristirahat. Sebagian mereka ingin menyalakan api unggun untuk berdiang. Tetapi ‘Amr sang panglima melarang mereka. Bahkan mengancam: “Siapa yang berani menyalakan api unggun, akan saya lemparkan dia ke dalamnya.”
Sikap tegas ini menyusahkan pasukan tersebut, apalagi rasa dingin yang sangat menusuk. Beberapa tokoh Muhajirin membujuk ‘Amr, tapi ditanggapi dengan pedas oleh ‘Amr. Bahkan kata ‘Amr: “Kamu diperintah untuk mendengar dan taat kepada saya?”
Sahabat itu berkata: “Betul.”
“Kalau begitu, kerjakan!” kata ‘Amr.
Berita ini terdengar juga oleh ‘Umar dan membuatnya berang hingga berniat ingin mendatangi ‘Amr. Tapi kemudian, dia ditahan oleh Abu Bakr Ash-Shiddiq . Kata beliau: “Sesungguhnya Rasulullah n tidak mengangkatnya menjadi panglima melainkan karena keahliannya dalam berperang.”
Seketika ‘Umar pun terdiam. Semoga Allah meridhai Abu Bakr Ash-Shiddiq dan seluruh sahabat Rasulullah n. Betapa dalamnya pengetahuan Abu Bakr Ash-Shiddiq tentang Rasulullah n, yang sudah tentu dalam hal-hal penting seperti ini, tidak mungkin bertindak sia-sia.
Malam semakin dingin, tidak ada api yang menghangatkan. Namun ketaatan mereka kepada pemimpin luar biasa. Suka atau tidak, kesulitan seperti itu harus juga mereka tanggung.
Di malam yang dingin itu, ‘Amr junub. Dia bertanya kepada sahabat-sahabatnya: “Bagaimana pendapat kalian? Demi Allah, saya junub. Kalau saya mandi, saya tentu mati.”
Lalu diapun meminta dibawakan air. Kemudian dia membasuh kemaluannya, berwudhu’ dan tayammum. Setelah itu dia pun shalat mengimami pasukan tersebut.
Kemudian, mereka mulai menyergap musuh yang lengah. Setelah bertempur kira-kira satu jam, musuh merasakan kekuatan pasukan ‘Amr bin Al-’Ash. Akhirnya mereka pun lari bercerai berai. Kaum muslimin ingin mengejar mereka, namun dilarang oleh ‘Amr bin Al-’Ash.
Setelah perang usai, dan pasukan bersiap-siap kembali ke Madinah, sang panglima mengutus ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i menemui Rasulullah n untuk menyampaikan berita tentang keadaan pasukan dan kejadian yang ada selama di sana.
Setibanya di Madinah, ‘Auf menceritakan bagaimana Abu ‘Ubaidah menuruti ‘Amr, hingga akhirnya ‘Amr mengimami pasukan dan tetap menjadi panglima mereka. Diceritakannya pula bagaimana ‘Amr melarang pasukan muslimin menyalakan api unggun di tengah malam yang sangat dingin itu, dan mencegah mereka mengikuti musuh mereka, serta shalat bersama pasukan dalam keadaan junub.
Setelah ‘Amr dan pasukannya tiba di Madinah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajaknya bicara dan menanyakan apa-apa yang disampaikan oleh ‘Auf . ‘Amr bin Al-’Ash menjelaskan kepada beliau tentang larangannya kepada mereka mengikuti jejak musuh dan menyalakan api, dia berkata: “Saya tidak suka mereka menyalakan api, karena bisa jadi musuh akan melihat betapa sedikitnya jumlah mereka (kaum muslimin). Saya melarang mereka mengejar, karena khawatir musuh mempunyai bala bantuan yang bersembunyi di balik bukit itu, sehingga kemudian berbalik menyerang pasukan muslimin.”
Dikisahkan, setelah mendengar penjelasan tersebut, Rasulullah n memuji Allah atas tindakan ‘Amr ini. Kemudian beliau bertanya pula:
يَا عَمْرُو صَلَّيْتَ بِأَصْحَابِكَ وَأَنْتَ جُنُبٌ؟
“Hai ‘Amr, engkau shalat bersama pasukanmu dalam keadaan engkau sedang junub?”
Kata ‘Amr: Sayapun menerangkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam apa yang menghalangiku untuk mandi. Saya katakan: “Sesungguhnya saya mendengar Allah Subhanahuwat’ala berfirman:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang terhadap kalian.” (An-Nisa`: 29)
Mendengar keterangan ‘Amr, Rasulullah n tertawa dan tidak mengomentarinya. Dari kisah ini diambillah beberapa kesimpulan, antara lain:
- Membuktikan kefakihan ‘Amr bin Al-’Ash padahal dia baru beberapa bulan masuk Islam.
- Boleh berijtihad di masa Rasulullah n. Di sini terdapat pula persetujuan (taqrir) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap ijtihad ‘Amr.
- Bolehnya tayammum walaupun ada air, karena alasan (udzur) yang dibolehkan syariat, seperti dingin yang sangat berat.
- Bolehnya imam yang tayammum mengimami makmum yang berwudhu.
Dengan berhasilnya pasukan ini memukul mundur musuh, menjadi amanlah kedaulatan Islam terutama dari serangan musuh yang ada di sebelah utara (Syam). Islampun semakin menyebarkan dakwahnya ke beberapa wilayah Arab lainnya. Terlebih dengan terikatnya Quraisy serta para sekutunya dengan perjanjian Hudaibiyah, maka kaum muslimin aman dari gangguan dan tekanan mereka dalam berdakwah dan beribadah. Walaupun itu hanya sementara, karena beberapa waktu kemudian, pihak Quraisy menodai kesepakatan yang mereka buat dengan Rasulullah n, hingga meletuslah peristiwa Fathu Makkah.
(bersambung, insya Allah)
[1] Bani Qudha’ah termasuk kerabat ‘Amr. Banu Bila adalah khali (paman dari pihak ibu) Al-‘Ash bin Wail. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimnya ke daerah ini untuk melunakkan mereka.