PENJELASAN SYARHUSSUNNAH LIL MUZANI (BAG KE-22)

PENJELASAN SYARHUSSUNNAH LIL MUZANI (BAG KE-22)

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Di tulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

SHOLAT DAN PUASA MUSAFIR

Al-Muzani rahimahullah menyatakan:

وَإِقْصَارُ الصَّلاَةِ فِي اْلأَسْفَارِ وْالْاِخْتِيَارُ فِيْهِ بَيْنَ الصِّيَامِ وَاْلِإفْطَارِ فِي اْلأَسْفَارِ إِنْ شَاءَ صَامَ وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ

Mengqoshor sholat dalam safar, dan pilihan bolehnya berpuasa atau berbuka dalam keadaan safar. Jika dia mau boleh berpuasa, boleh juga berbuka

PENJELASAN:

Pada bagian ini akan dijelaskan tentang mengqoshor sholat pada saat safar dan bolehnya memilih untuk berpuasa atau berbuka pada saat safar.

Mengqoshor Sholat pada Saat Safar

Mengqoshor adalah meringkas sholat fardlu yang berjumlah 4 rokaat (Dzhuhur, Ashar, dan Isya’) menjadi 2 rokaat. Qoshor terhadap sholat disyariatkan terhadap musafir, yaitu orang yang melakukan perjalanan safar.

Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا

Dan jika kalian melakukan perjalanan di muka bumi, tidak ada dosa bagi kalian untuk mengqoshor (meringkas) pada sebagian sholat jika kalian takut diserang oleh orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir adalah musuh yang nyata bagi kalian(Q.S anNisaa’:101)

Ayat tersebut adalah keringanan dari Allah bagi orang beriman yang bepergian (safar) untuk meringkas sholat yang berjumlah 4 rokaat menjadi 2. Asal pembolehan itu adalah jika mereka khawatir diserang oleh orang-orang kafir.

Ya’la bin Umayyah pernah bertanya kepada Umar bin al-Khoththob bahwa sekarang keadaannya sudah aman, masihkah ayat itu bisa diterapkan sehingga masih berlaku qoshor bagi musafir? Umar menjawab: Aku juga pernah heran seperti engkau, dan aku bertanya kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Beliau menjawab:

صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ

Itu adalah shodaqoh Allah untuk kalian. Maka terimalah shodaqohnya (H.R Muslim no 1108)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa keringanan itu masih tetap berlaku, meski keadaan sudah berubah. Dulu awal disyariatkan pada saat kondisi tidak aman. Namun tetap berlaku meski keadaan sudah aman, sebagai shodaqoh Allah untuk kita. Maka, perubahan keadaan tidak menyebabkan syariat qoshor sholat terhapus.

Sama juga dengan pertanyaan: Bukankah safar di masa dulu penuh dengan kesulitan. Pantas untuk disyariatkan. Bagaimana dengan sekarang yang sudah penuh dengan kemudahan dan kecanggihan teknologi. Safar tidak terasa memberatkan.

Maka jawabannya adalah : sama saja. Qoshor dalam sholat untuk musafir adalah shodaqoh dari Allah untuk kita, maka terimalah shodaqoh itu. Lakukan dengan penuh kebahagiaan dan syukur kepada Allah.

Bahkan, Rasulullah shollallahu alaihi wasallam selalu melakukan qoshor dalam setiap safar beliau. Abu Bakr, Umar, dan Utsman juga demikian.

Sahabat Nabi Ibnu Umar radhiyallahu anhuma menyatakan:

صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ لَا يَزِيدُ فِي السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَذَلِكَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ

Saya bersahabat dengan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Beliau tidaklah menambah jumlah rokaat sholat dalam safar lebih dari 2 rokaat. Abu Bakr, Umar, dan Utsman juga demikian. Semoga Allah meridhai mereka (H.R al-Bukhari no 1038)

Para Ulama’ berbeda pendapat tentang jarak suatu perjalanan terhitung safar hingga lebih dari 20 pendapat. Namun, jika diringkas, terdapat 2 pendapat utama yang bisa dipilih, yaitu:

  1. Sekitar 80 km.

Ini adalah pendapat Jumhur (mayoritas Ulama’), seperti Sahabat Nabi Ibnu Abbas, Imam Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad.

  1. Tidak ada penetapan khusus dalam hadits tentang jarak tertentu. Penentuan suatu perjalanan terhitung safar atau bukan dikembalikan pada urf (kebiasaan) masyarakat setempat. Ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Contoh: pada sebagian anggapan masyarakat, perjalanan lintas Kabupaten/ Kota di Jawa sudah dianggap sebagai safar.

Sebagian dalil yang dijadikan landasan pendapat ini hadits Anas bin Malik bahwa Nabi jika melakukan perjalanan 3 mil (sekitar 5,54 km) atau 3 farsakh (sekitar 16,6 km) beliau mengqoshor sholat menjadi 2 rokaat.

عَنْ شُعْبَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَزِيدَ الْهُنَائِيِّ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍعَنْ قَصْرِ الصَّلَاةِ فَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلَاثَةِ فَرَاسِخَ شُعْبَةُ الشَّاكُّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ

Dari Syu’bah dari Yahya bin Yazid al-Huna-i beliau berkata: Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang menqoshor sholat. Anas menyatakan: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam jika keluar sejarak 3 mil atau 3 farsakh –Syu’bah ragu-beliau sholat 2 rokaat (H.R Muslim no 1116).

Dalam riwayat Ahmad dinyatakan bahwa Yahya bin Yazid al-Huna-i (orang yang bermukim di Bashrah) menyatakan kepada Anas:

كُنْتُ أَخْرُجُ إِلَى الْكُوفَةِ فَأُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ حَتَّى أَرْجِعَ

Aku keluar menuju Kufah maka aku sholat dua rokaat sampai pulang.

Kemudian Anas menjelaskan bahwa jika Nabi melakukan perjalanan 3 mil atau 3 kilometer (perawi Syu’bah ragu dalam meriwayatkannya), beliau mengqoshor sholat 2 rokaat.

Seorang musafir yang menjadi Imam sholat, dia sebaiknya tetap melakukan sholat dua rokaat (untuk sholat Dzhuhur, Ashar dan Maghrib) jika tidak dikhawatirkan timbul fitnah bagi makmum. Orang-orang mukim yang bermakmum di belakangnya hendaknya menambah 2 rokaat lagi saat Imam salam.

Umar bin al-Khottohob jika tiba di Makkah, beliau menjadi Imam. Untuk sholat yang empat rokaat beliau sholat dua rokaat, kemudian selesai salam beliau berkata:

يَا أَهْلَ مَكَّةَ , أَتِمُّوا صَلاتَكُمْ , فَإِنَّا قَوْمٌ سَفْرٌ

Wahai penduduk Makkah, sempurnakan sholat kalian karena kami adalah orang yang safar (H.R Malik dalam al-Muwattha’)

Sebaliknya, jika seorang musafir sholat di belakang orang yang mukim pada sholat Dzhuhur, Ashar dan Isya’, maka ia menyempurnakan sholat menjadi 4 rokaat persis mengikuti Imam.

فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ صَلَّى أَرْبَعًا وَإِذَا صَلَّاهَا وَحْدَهُ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ

Ibnu Umar jika sholat (dalam safar) bersama Imam beliau sholat 4 rokaat. Jika beliau sholat sendirian beliau sholat 2 rokaat (H.R Muslim no 1120 dari Nafi’)

Musafir Boleh Berbuka Atau Berpuasa

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ غَزَوْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِسِتَّ عَشْرَةَ مَضَتْ مِنْ رَمَضَانَ فَمِنَّا مَنْ صَامَ وَمِنَّا مَنْ أَفْطَرَ فَلَمْ يَعِبْ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ وَلَا الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ

Dari Abu Said al-Khudry radhiyallahu anhu beliau berkata: Kami berperang bersama Rasulullah shollallahu alaihi wasallam pada 16 Ramadhan. Di antara kami ada yang berpuasa dan sebagian berbuka. Tidaklah yang berpuasa mencela yang berbuka dan yang berbuka mencela yang berpuasa (H.R Muslim no 1880)

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَّا الصَّائِمُ وَمِنَّا الْمُفْطِرُ فَلَمْ يَكُنْ يَعِيبُ بَعْضُنَا عَلَى بَعْضٍ

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhuma beliau berkata: Kami pernah keluar (safar) bersama Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Di antara kami ada yang berpuasa dan ada yang berbuka, namun tidak ada yang mencela satu sama lain (H.R Ahmad)