PENJELASAN SYARHUSSUNNAH LIL MUZANI (BAG 21)

PENJELASAN SYARHUSSUNNAH LIL MUZANI (BAG 21)

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Di Tulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

SHOLAT DI BELAKANG PEMIMPIN MUSLIM

Al-Muzani rahimahullah menyatakan:

وَلاَ نَتْرُكُ حُضُوْرَ صَلاَةِ الْجُمُعَةِ وَصَلاَتِهَا مَعَ بِرِّ هَذِهِ اْلأُمَّةِ وَفَاجِرِهَا لَازِمٌ مَا كَانَ مِنَ الْبِدْعَةِ بَرِيًّا فَإِنِ ابْتَدَعَ ضَلاَلاً فَلاَ صَلاَةَ خَلْفَهُ وَالْجِهَادَ مَعَ كُلِّ إِمَامٍ عَدْلٍ أَوْ جَائِرٍ وَالْحَجُّ

Dan kita tidaklah meninggalkan (keharusan) menghadiri sholat Jumat. (Tetap wajib) melakukan sholat tersebut bersama (pemimpin) dari umat ini (Islam) yang baik ataupun fajir (banyak berbuat dosa), selama pemimpin tersebut bersih dari kebid’ahan. Jika ia melakukan kebid’ahan yang sesat (yang menyebabkan kekafiran), tidaklah boleh sholat di belakangnya. Dan jihad dilakukan bersama pemimpin yang adil atau tidak adil. Demikian juga haji.

PENJELASAN:

Pada bagian ini, al-Imam al-Muzani rahimahullah menjelaskan tentang kewajiban sholat Jumat, berjihad, dan berhaji di bawah kepemimpinan seorang pemimpin muslim. Selama seorang pemimpin itu masih muslim, maka wajib untuk tetap sholat Jumat di belakangnya. Dulu, seorang pemimpin muslim adalah juga pemimpin sholat 5 waktu dan sekaligus Imam dan Khotib dalam sholat Jumat.

Untuk saat ini, jika sang pemimpin tidak langsung menjadi pemimpin sholat dan dia menunjuk orang sebagai pemimpin sholat, maka tidak boleh meninggalkan sholat 5 waktu atau sholat Jumat di belakang orang-orang tersebut selama mereka masih muslim.

Selain sholat, jihad juga harus memperhatikan aturan tersebut. Salah satu syarat berjihad di jalan Allah adalah dilakukan bersama Waliyyul Amr (pemimpin kaum muslimin). Jihad harus dalam satu komando, tidak boleh dilakukan sendiri-sendiri. Atau justru bergerak melawan pemerintah muslim. Hal itu adalah kesalahan yang fatal.

Hadits berikut ini memberikan dasar yang jelas bahwa jihad harus dilakukan bersama/ di belakang kepemimpinan seorang pemimpin muslim.

إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْه

Hanyalah pemimpin itu sebagai tameng, manusia berperang di belakangnya dan dijadikan sebagai pelindung. Jika ia memerintah dengan ketakwaan kepada Allah Azza Wa Jalla dan adil maka dengan itu ia mendapatkan pahala. Jika ia perintahkan selain itu, maka dosanya untuk dia (pemimpin itu)(H.R Muslim no 3428)

Demikian juga dengan pelaksanaan ibadah haji, harus tunduk dengan ketentuan dan aturan yang ditetapkan pemerintah muslim sebagai Amirul Hajj.

Seorang muslim diajarkan untuk taat aturan, sabar, dan mudah diarahkan.

وَعَلَيْكُمْ بِالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّمَا الْمُؤْمِنُ كَالْجَمَلِ الْأَنِفِ حَيْثُمَا قِيدَ انْقَادَ

Wajib bagi kalian untuk bersikap taat (kepada pemimpin) meski ia adalah budak dari Habasyah (Etiopia). Hanyalah seorang mukmin itu bagaikan unta jinak. Ke mana diarahkan, ia mengikuti (H.R Ibnu Majah no 43, dishahihkan oleh al-Hakim dan al-Albany)

Dalam hal-hal ijtihadiyyah, seorang muslim semestinya tunduk pada keputusan pemimpin/ pemerintahnya. Seperti penentuan penetapan awal Romadhon, awal Syawwal (Iedul Fitri), maupun penetapan Iedul Adha. Karena amal ibadah yang dilakukan terkait dengan shoum Romadhon, pelaksanaan sholat Iedul Fitri, Iedul Adha maupun ibadah kurban adalah amal jama’i (amal ibadah yang terkait jamaah), sehingga tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri.

Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

Puasa (Ramadhan) kalian adalah pada saat kalian bersama-sama berpuasa. Berbuka kalian adalah pada saat kalian sama-sama berbuka, dan penyembelihan kurban kalian adalah pada saat kalian bersama-sama menyembelih kurban (H.R atTirmidzi no 633, dishahihkan oleh Syaikh al-Albany)

Suatu hari pada saat kebanyakan manusia di daerah itu melakukan shaum hari Arafah (9 Dzulhijjah), Aisyah memerintahkan kepada Masruq untuk menyiapkan hidangan buka puasa. Namun Masruq menyatakan : Tidaklah ada yang menghalangi untuk berpuasa kecuali aku khawatir hari ini sudah masuk yaumun Nahr (hari Iedul Adha). Maka Aisyah menyatakan:

النَّحْرُ يَوْمَ يَنْحَرُ النَّاسُ ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ

Hari anNahr adalah hari pada saat manusia menyembelih, dan hari Iedul Fithri adalah pada saat manusia berbuka (merayakan Iedul Fithri)(H.R al-Baihaqy dalam Sunan al-Kubro, dinyatakan sanadnya jayyid oleh Syaikh al-Albany)

Hadits dan atsar di atas menjadi dalil bahwa urusan penentuan awal puasa, awal berbuka (Iedul Fithri), dan Iedul Adha tidaklah ditetapkan secara perorangan, namun dikembalikan pada keputusan pemimpin. Apa yang diputuskan pemimpin muslim menjadi rujukan bagi komunitas muslim yang dipimpinnya. Demikian yang dijelaskan oleh as-Sindi dalam syarh Sunan Abi Dawud dan disepakati oleh Syaikh al-Albany. Demikian juga dengan Syaikh Bin Baz, Syaikh Ibnu Utsaimin. Hal ini akan menjaga persatuan bagi kaum muslimin di wilayah tersebut dan akan semakin terasa syiar Islam pada pelaksanaan puasa Ramadhan, Iedul Fitri maupun Iedul Adha karena dilaksanakan secara bersama-sama.

Bisa jadi tiap pribadi menyampaikan masukan kepada pemerintah, namun keputusan akhir di tangan pemerintah sesuai dengan ijtihadnya. Apapun hasil keputusan itu selama masih berlandaskan aturan-aturan syar’i dalam berijtihad, maka semestinya dipatuhi dan dilaksanakan oleh rakyatnya.