Oleh ustadz Kharisman
Apakah Mani Najis?
Jawab : Pendapat yang benar adalah pendapat al-Imam asy-Syafi’i dan riwayat dari al-Imam Ahmad bahwa mani tidaklah najis, karena:
- Ia adalah asal penciptaan manusia. Tidak mungkin manusia diciptakan dari sesuatu yang najis.
- Tidak pernah ada perintah secara tegas dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam kepada para Sahabat untuk mencuci pakaian yang terkena mani. Berbeda dengan perintah tegas Nabi kepada para Sahabat wanita untuk mencuci pakaian yang terkena haidh.
Sedangkan apa yang dilakukan Aisyah yang berusaha menghilangkan mani yang ada pada pakaian Nabi adalah upaya untuk membersihkan pakaian itu dari hal-hal yang mengotori. Seperti seseorang yang berusaha menghilangkan ingus, ludah, dan semisalnya dari pakaian meski hal-hal tersebut tidaklah najis. Karena tidak semua yang kotor adalah najis.
Apakah Perbedaan Antara Madzi, Wadi, dan Mani?
Jawab :
- Madzi : cairan tipis dan lengket, keluarnya tidak memancar, pada saat timbul syahwat, tidak menyebabkan tubuh merasa lemas setelahnya. Terkadang keluarnya tidak terasa. Madzi adalah najis, membersihkannya cukup dengan menciduk segenggam telapak tangan kemudian dipercikkan pada bagian pakaian yang terkena. Bagian kemaluan dicuci semua termasuk buah dzakar. Keluarnya madzi menyebabkan batalnya wudhu’.
- Wadi : cairan putih mirip dengan kencing. Keluarnya setelah kencing atau karena kecapekan. Wadi menyebabkan batalnya wudhu’. Wadi adalah najis, dan cara membersihkannya adalah dengan mencucinya, sama dengan cara mensucikan pakaian dari kencing.
- Mani : cairan kental dan lengket yang keluar karena memuncaknya syahwat. Biasanya diiringi dengan rasa nikmat. Mani tidak najis, namun seseorang yang mengeluarkan mani harus mandi janabah.
Kesimpulan : madzi dan wadi najis dan membatalkan wudhu’ sedangkan mani tidak najis namun mengharuskan mandi janabah.
Apakah Darah secara Mutlak adalah Najis?
Jawab : Pendapat yang benar adalah tidak semua darah najis. Ini adalah pendapat dari al-Imam asy-Syaukaany. Darah yang najis adalah darah haidh dan nifas saja. Para Sahabat tetap sholat meski mereka berlumuran darah akibat luka. Seperti yang dilakukan Umar, yang sholat meski darah terus mengucur dari lukanya.
فَصَلَّى وَجُرْحُهُ يَثْعَبُ دَمًا
Maka Umar kemudian sholat sedangkan lukanya terus mengucurkan darah (H.R Ibnu Abi Syaibah dari al-Miswar bin Makhromah)
Nabi juga memerintahkan merawat sebagian Sahabat yang terluka di masjid seperti Sa’ad bin Muadz (hadits riwayat alBukhari dan Muslim). Nabi juga membolehkan wanita yang mengalami istihadhah (darah karena penyakit) untuk sholat di masjid.
Demikian juga darah dari hewan ternak/ sesembelihan tidaklah najis. Abu Jahl dan musyrikin Quraisy pernah meletakkan kotoran hewan (yang halal dimakan dagingnya) dan darah hewan sesembelihan tersebut di atas punggung Nabi yang sedang sholat, dan Nabi tidak menghentikan atau mengulangi sholatnya (hadits riwayat alBukhari dan Muslim)
Ibnu Mas’ud juga pernah sholat sedangkan pada pakaiannya terdapat kotoran dan darah hewan sesembelihan
صَلَّى بْنُ مَسْعُوْدٍ وَعَلَى بَطْنِهِ فَرْثٌ وَدَمٌ مِنْ جَزُوْرِ نَحْرِهَا وَلَمْ يَتَوَضَّأ
Ibnu Mas’ud sholat sedangkan pada perutnya terdapat kotoran dan darah dari unta yang disembelihnya, dan beliau tidak (mengulang) wudhu’ (H.R atThobarony, Ibnu Abi Syaibah, Abdrurrozzaq)
Apakah Khomr itu Najis?
Jawab : Pendapat yang benar adalah khomr tidak najis. Hal ini dikarenakan:
- Pada saat diumumkan pengharaman khomr, Anas bin Malik menumpahkan khomr di jalan-jalan. Jika khomr najis, tidak layak untuk ditumpahkan di jalan-jalan yang biasa dilalui kaum muslimin.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كُنْتُ سَاقِيَ الْقَوْمِ فِي مَنْزِلِ أَبِي طَلْحَةَ وَكَانَ خَمْرُهُمْ يَوْمَئِذٍ الْفَضِيخَ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنَادِيًا يُنَادِي أَلَا إِنَّ الْخَمْرَ قَدْ حُرِّمَتْ قَالَ فَقَالَ لِي أَبُو طَلْحَةَ اخْرُجْ فَأَهْرِقْهَا فَخَرَجْتُ فَهَرَقْتُهَا فَجَرَتْ فِي سِكَكِ الْمَدِينَةِ
Dari Anas –radhiyallaahu ‘anhu – beliau berkata : Aku sedang menyuguhkan minuman khamr dari perasan anggur pada sekelompok orang di rumah Abu Tholhah. Kemudian, Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan seseorang untuk mengumumkan bahwa khamr telah diharamkan. Kemudian Abu Tholhah berkata kepadaku: Keluarlah dan buang (khamr). Maka kemudian aku keluar dan membuang (mengalirkan) khamr itu sehingga mengalir di jalan-jalan Madinah (H.R alBukhari dan Muslim)
- Pada saat diharamkan khamr, Nabi melihat Sahabat yang menumpahkan khamr, namun beliau tidak memerintahkan untuk mencuci wadah yang tadi digunakan untuk menyimpan khamr dan juga tidak memerintahkan untuk mencuci bagian yang terkena khamr yang telah dibuang.
إِنَّ رَجُلًا أَهْدَى لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَاوِيَةَ خَمْرٍ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ عَلِمْتَ أَنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَهَا قَالَ لَا فَسَارَّ إِنْسَانًا فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَ سَارَرْتَهُ فَقَالَ أَمَرْتُهُ بِبَيْعِهَا فَقَالَ إِنَّ الَّذِي حَرَّمَ شُرْبَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا قَالَ فَفَتَحَ الْمَزَادَةَ حَتَّى ذَهَبَ مَا فِيهَا
Sesungguhnya seseorang menghadiahkan satu wadah berisi khamr. Kemudian Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Apakah kalian tahu bahwa Allah telah mengharamkannya? Kemudian orang itu berbisik kepada satu orang lain. Kemudian Nabi bertanya: Apa yang engkau bisikkan? Ia berkata: Aku memerintahkan kepadanya untuk menjual khamr itu. Nabi bersabda: Sesungguhnya (Allah) Yang mengharamkan meminumnya telah mengharamkan untuk menjualnya. Maka orang itu kemudian membuka penutup wadah khamr dan menumpahkannya (H.R Muslim)
Apakah Muntah dan Nanah Najis?
Jawab : Tidak ada dalil shahih yang menunjukkan bahwa muntah dan nanah najis. Prinsipnya adalah: segala sesuatu secara asal adalah suci, hingga terdapat dalil yang shahih yang menunjukkan bahwa itu najis. Tidak semua yang kotor adalah najis.
Jika Suatu Benda Terkena Najis, dan Dibiarkan Hingga Kering dan Tidak Nampak Lagi Tanda Najis, Apakah Menjadi Suci?
Jawab : Ya, jika suatu benda yang sebelumnya terkena najis, kemudian secara alamiah hilang warna, rasa, dan bau najis tersebut karena angin, panas matahari, dan sebab-sebab yang lain, maka najisnya juga telah hilang. Pada masa Nabi anjing berkeliaran dan kencing di dalam masjid, kemudian sisa kencing itu hilang dengan sendirinya tanpa ada yang menyiramnya dengan air.
كَانَتْ الْكِلَابُ تَبُولُ وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِي الْمَسْجِدِ فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ
Dahulu anjing-anjing kencing berlalu-lalang di masjid pada zaman Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam dan para Sahabat sama sekali tidak memerciki tempat yang terkena kencing itu dengan air (H.R alBukhari)
Apakah Bagian Tubuh Anjing Seluruhnya Najis, ataukah Hanya Air Liurnya Saja?
Jawab : Seluruh bagian tubuh anjing adalah najis. Namun, yang harus dicuci 7 atau 8 dan ditambah dengan tanah adalah jika terkena jilatannya saja. Najis karena bagian tubuh yang lain cukup dicuci sekali seperti najis-najis yang lain. Dalilnya:
ثُمَّ وَقَعَ فِي نَفْسِهِ جِرْوُ كَلْبٍ تَحْتَ فُسْطَاطٍ لَنَا فَأَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِهِ مَاءً فَنَضَحَ مَكَانَهُ
Kemudian terbetik sesuatu pada diri Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam terhadap seekor anak anjing yang berada di bawah tenda kami kemudian Nabi memerintahkan agar anak anjing itu dikeluarkan, kemudian beliau mengambil air dengan tangannya dan memercikkan tempat yang terkena anak anjing tadi (H.R Muslim dari Maimunah)
Apakah najisnya babi sama dengan najisnya jilatan anjing harus dicuci 7 kali salah satunya dengan tanah?
Jawab: Najisnya babi tidak sama dengan najisnya jilatan anjing sehingga tidak perlu dicuci 7 kali salah satunya dengan tanah. Ini adalah pendapat al-Imam asySyafi’i (Syarh Shahih Muslim karya anNawawy (3/185)). Najisnya babi sama dengan najis-najis yang lain cukup dicuci sekali.
Apakah Sisa Minum Binatang Keledai, binatang buas dan burung pemangsa adalah Najis?
Jawab : Air liur/ sisa minum semua hewan selain anjing dan babi adalah suci. Ini adalah pendapat al-Imam Malik, asy-Syafi’i dan riwayat dari al-Imam Ahmad. Demikian juga Fatwa al-Lajnah adDaaimah (fatwa nomor 8052).