Jika mau jujur, syariat sesungguhnya menyuguhkan keselarasan dalam kehidupan manusia. Jilbab, misalnya. Syariat ini tak terhitung lagi kontribusinya dalam menciptakan kehidupan masyarakat yang bersusila. Namun syariat yang mulia ini justru hendak dicerabut oleh para aktivis perempuan dengan dalih kebebasan (berbusana). Padahal, sekali lagi jika mau jujur, apa kontribusi yang ditawarkan emansipasi dalam kehidupan masyarakat? Menurunkah kejahatan seksual seiring dengan makin lantangnya teriakan emansipasi?
Dalam hadits Mu’awiyah ibnul Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, diungkapkan sebuah dialog antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan seorang budak wanita:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: ‘Di mana Allah?’ Budak wanita itu menjawab: ‘Di (atas) langit.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kembali: ‘Siapa saya?’ ‘Anda Rasulullah,’ jawab budak wanita itu. Kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Bebaskan dia. Karena sesungguhnya dia seorang wanita yang beriman’.” (HR. Abu Dawud. Dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu dalam Sunan Abi Dawud, no. 930)
Cermatilah kisah mulia di atas. Sejenak saja merenungi, niscaya akan banyak didapat mutiara hikmah dari hadits tersebut. Akan ditemukan, betapa kemuliaan seorang wanita bukan semata keelokan paras dan tubuhnya. Bukan pula semata karena kekayaan yang menyelimutinya. Tidak juga lantaran semata keturunan. Kisah hadits di atas membeberkan demikian gamblang, betapa keimanan yang kokoh menyembul di kalbu mampu mengantarkan seseorang memperoleh kemuliaan. Keimanan dan ilmu yang dimiliki jariyah (budak wanita) itu telah mengurai belenggu budak yang melekat padanya. Ia menjadi seorang wanita yang dengan leluasa menghirup udara kebebasan senyatanya.
Cermatilah, dengan keimanan yang menggumpal di relung hatinya, sang budak wanita itu dengan penuh keyakinan mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala di (atas) langit dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Rasulullah. Kenapa ia mampu menjawab? Tak lain karena ilmu yang ia miliki. Ya, melalui keimanan dan ilmu, maka akan terangkatlah martabat dan harkat seseorang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadilah: 11)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu menyatakan: “Allah k tidak menentukan (kadar, pen) derajat, karena derajat ini terkait faktor keimanan dan keilmuan yang ada pada seseorang. Semakin kokoh keimanan dan semakin banyak keilmuan yang bisa bermanfaat bagi dirinya dan orang lain, maka akan makin banyak (tinggi, pen.) pula derajatnya.” (Syarh Riyadhish Shalihin, hal. 1473)
Karenanya, sungguh teramat tidak santun bila ada seorang muslimah menyuarakan bahwa kemuliaan wanita bisa tergapai manakala keseteraan jender terpenuhi. Naif, dan teramat naif, bila seorang muslimah masih beragitasi meneriakkan emansipasi wanita sebagai upaya memuliakan kehidupan kaum wanita. Bagai menegakkan benang basah, ia tengah berlari mengejar fatamorgana yang tiada kunjung akan direguknya. Saat dirinya menyuarakan emansipasi wanita, saat itu pula setali demi setali ikatan Islam terlepas dari dirinya. Setan menyeretnya secara halus, yang berujung pada terjerembabnya para pegiat emansipasi ke kubang kehinaan. Hina karena syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dipinggirkan. Tak dijadikan rujukan. Selisiklah apa yang terjadi pada Kongres Perempuan Pertama yang dimulai tanggal 22 Desember 1928. Kongres, yang merupakan awal pergerakan emansipasi di Indonesia, dalam berbagai paparan sebagian pesertanya telah mengarah kepada pelecehan nilai-nilai agama Islam. Sebut misal masalah poligami. Dalam Kongres itu nampak sebagian peserta lebih membanggakan nilai-nilai Barat, meski ada pula coba yang menetralisir. (Lihat Kongres Perempuan Pertama, Tinjauan Ulang, Susan Blackburn)
Ini hanya sebuah kasus. Cuplikan dari perjalanan sejarah pergerakan emansipasi wanita di Bumi Nusantara ini. Betapa kelam jalan yang akan ditempuh para muslimah kala mereka menanggalkan nilai-nilai Islam. Keterpurukan, kehinaan, dan kerendahan akan selalu membayangi jalan hidupnya. Singkaplah apa yang telah diperingatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa keterpurukan itu terjadi lantaran agama tak lagi dipatuhi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا
“Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit.” (Thaha: 123-124)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, kata beliau radhiyallahu ‘anhuma: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila kalian telah terlibat jual beli ‘inah (riba), kalian telah mengambil ekor-ekor sapi, merasa senang dengan pertanian dan kalian tinggalkan jihad, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan timpakan kehinaan kepada kalian. Tak akan dicabut kehinaan itu hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3458)
Lihatlah, hina dina seseorang atau suatu kaum lebih disebabkan faktor kepatuhan dan ketaatan kepada risalah yang mulia ini, yaitu Islam. Kaum muslimah tak akan menuai kemuliaan dengan meniru sepak terjang para wanita kafir, meniru langkah-langkah para wanita Barat.
Terkait masalah ini, bahwa mengikuti atau meniru orang-orang kafir, termasuk mengikuti atau meniru gaya hidup orang-orang Barat, adalah salah satu hal yang bisa melemahkan dan menjadikan kaum muslimin hina. Ini sebagaimana diungkapkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu. Kata beliau, “Sebagaimana telah ditetapkan dalam syariat, sesungguhnya tidak boleh bagi kaum muslimin, laki-laki atau wanita, bertasyabbuh (meniru) orang-orang kafir dalam bentuk peribadatan-peribadatan mereka, perayaan-perayaan mereka, atau pakaian-pakaian khusus mereka. Ini merupakan kaidah yang luhur yang terdapat dalam syariat Islam. Terlepas dari itu semua, sekarang ini –maaf– banyak dari kalangan kaum muslimin (sampaipun mereka yang sibuk dengan urusan agama dan dakwah) masih diliputi ketidaktahuan terhadap agamanya. Masih suka mengikuti hawa nafsunya, larut bersama kebiasaan-kebiasaan temporer kekinian (yang bertentangan dengan syariat, pen.), atau bersikap taqlid (membebek) kepada orang-orang kafir Eropa. Hingga yang demikian ini menjadi sebab terpuruk (hina) dan lemahnya kaum muslimin. Maka, orang-orang asing itupun menekan kaum muslimin dan menjajahnya.
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d: 11)
Jika mereka mengetahui.” (Hijab Al-Mar`ah Al-Muslimah fil Kitabi was Sunnah, hal. 161)
Bercerminlah dari kisah Asiyah istri Fir’aun. Atas keteguhan hati untuk mengikut apa yang dititahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dirinya memperoleh kemuliaan hakiki. Allah Al-Karim menyediakan baginya rumah di surga sesuai permohonannya. Firman-Nya:
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ آمَنُوا امْرَأَتَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِندَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِن فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِي
“Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: ‘Ya Rabbku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu di dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, serta selamatkanlah aku dari kaum yang dzalim.” (At-Tahrim: 11)
Istiqamah di atas jalan-Nya, walau kegetiran hidup melanda, telah mengantarkannya menjadi wanita mulia di surga. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggores di tanah empat guratan garis. (Kemudian) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Apakah kalian mengetahui hal ini?’ Para sahabat menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Seutama-utama para wanita penghuni surga adalah Khadijah putri Khuwailid, Fathimah putri Muhammad, Maryam putri ‘Imran, dan Asiyah putri Muzahim, istri Fir’aun’.” (HR. Al-Imam Ahmad dalam Al-Musnad 1/293, Ath-Thabarani dalam Al-Kabir no. 11928, dan Abu Ya’la dalam Musnad-nya no. 2714. Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawa`id, 9/262, mengatakan: “Rijalnya rijal shahih.” Hadits ini telah pula dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu. Lihat Mukhtashar Tafsir Al-Qur`an Al-’Azhim, Asy-Syaikh Ahmad Muhammad Syakir rahimahullahu hal. 550)
Islam tak semata memuliakan kaum pria. Kehadiran Islam telah memupus sejarah kelam kehidupan kaum wanita. Sebelum Islam memancarkan cahayanya, perlakuan terhadap kaum wanita di kalangan bangsa Arab begitu buruk. Mengubur hidup-hidup bayi-bayi perempuan adalah tradisi Arab masa itu. Perasaan malu, jatuh martabatnya di hadapan masyarakat manakala bayi yang lahir adalah perempuan.
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُم بِالْأُنثَىٰ ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِي
يَتَوَارَىٰ مِنَ الْقَوْمِ مِن سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ ۚ أَيُمْسِكُهُ عَلَىٰ هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ ۗ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Dia menyembunyikan dirinya dari banyak orang disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan atau akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl: 58-59)
Selain itu, adat jahiliah Arab memperlakukan wanita sebagai barang warisan. Bila seorang istri ditinggal wafat suaminya, maka anak laki-lakinya berhak mewarisinya. Demikian keadaan senyatanya saat Islam belum hadir. Amat sangat terpuruk nasib wanita.
Kini, dengan kehangatan cahaya Islam, kaum wanita mendapat tempat laik. Islam menghasung setiap wanita muslimah untuk beramal shalih. Menunaikan segala aktivitas yang syar’i tanpa merobek-robek fitrahnya sebagai wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)
Renungkanlah wahai para pegiat emansipasi, adakah dalam ayat di atas sikap diskriminatif antara pria dan wanita? Sekali-kali tidak. Dalam masalah berbuat kebajikan, Islam senantiasa mendorong kaum pria maupun wanita. Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 35)
Al-Imam Ahmad rahimahullahu meriwayatkan dari Abdurrahman bin Syaibah yang mengatakan: “Saya mendengar Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata: ‘Saya mengatakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Wahai Rasulullah, mengapa dalam Al-Qur`an tidak menyebutkan kami (kaum wanita) sebagaimana menyebutkan laki-laki?’ Ummu Salamah berkata: ‘Dalam beberapa hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengunjungiku kecuali (saya) mendengar seruan beliau dari atas mimbar. Saya pun menggeraikan rambut lantas memintalnya. Kemudian saya menuju salah satu kamar di rumah saya. Maka saya lantas melekatkan pendengaran ke dinding, dan terdengarlah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dari atas mimbar: ‘Wahai manusia, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, ….” dst. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir ketika memberi tafsir ayat di atas, juga Tafsir Ath-Thabari, 19/110-111)
Sekali lagi, kepada para pegiat emansipasi atau mereka yang masih meragukan sikap adil Islam terhadap kaum wanita, adakah sikap diskriminatif syariat Islam terhadap kaum wanita? Maka, hanya orang-orang yang dibimbing hawa nafsunya yang akan terus-menerus menyemburkan celaan terhadap agama mulia ini. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi petunjuk kepada mereka.
Dalam lapangan pendidikan dan pengajaran. Saat Eropa dikungkung cengkeraman gereja hingga akhir abad ke-18, yang berakibat dilecehkannya kaum wanita dan gelapnya dunia ilmu pengetahuan, maka Islam telah mendorong umatnya untuk giat dalam pendidikan. Ini terjadi jauh dalam rentangan abad. Dalam riwayat dituturkan bahwa Asy-Syifa` bintu Abdillah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku, yang kala itu aku tengah di sisi Hafshah. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku:
“Tidakkah engkau mengajari (Hafshah) ini ruqyah an-namlah sebagaimana engkau telah mengajarinya menulis?” (Sunan Abu Dawud, no. 3887. Hadits ini dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 178)
Dengan keteladanan seorang shahabiyah bernama Asy-Syifa` Al-’Adawiyah, apakah para pegiat emansipasi tetap bersikukuh bahwa keterpurukan kaum Hawa disebabkan kungkungan agama? Apa yang diperbuat Asy-Syifa` radhiyallahu ‘anha adalah wujud kesadaran untuk berbagi ilmu. Melalui penguasaan ilmu itulah kaum Hawa akan mampu berkiprah. Inilah proses pemberdayaan kaum wanita yang hakiki. Mengentaskan kebodohan yang menyelimuti kaum wanita. Maka, saat para pegiat emansipasi masih melakukan retorika semu, Islam telah mendorong umatnya beramal nyata memerhatikan nasib kaum wanita. Maha Benar Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan firman-Nya:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya`: 107)
Perhatian Islam terhadap pemberdayaan kaum wanita, tak semata memotivasi agar mencintai dan menguasai ilmu itu sendiri. Tapi lebih dari itu, Islam memerhatikan pula proses pencapaian ilmu tersebut. Misal, kaum wanita tetap harus menunaikan adab-adab di luar rumah, di tempat belajar, tidak berbaur dengan lawan jenis yang bukan mahram, dan lainnya. Semua ini merupakan bagian dari proses memuliakan kaum wanita. Termasuk di antaranya tetap menjaga hijab. Menutup seluruh auratnya yang tak boleh dilihat laki-laki di luar mahram. Menutup anggota tubuh bagi wanita merupakan kewajiban yang ditentukan syariat. Ini salah satu aturan kesusilaan dalam Islam. Hikmah adanya ketentuan menutup seluruh anggota tubuh wanita adalah sebagai bukti perlindungan dan pemeliharaan dari hal-hal yang tidak diinginkan. Kaum wanita diperintah menutup tubuh agar mereka mudah dikenal sebagai mukminah (wanita beriman). Sehingga, orang-orang yang munafik atau fasik tidak mengganggunya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 59)
Timbul suara sumbang dari kalangan pengusung emansipasi. Mereka katakan, tak ada kaitan antara liberalisasi (kebebasan) berpakaian seorang wanita dengan tindak pelecehan terhadap wanita. Pernyataan ini sebagai wujud pembelaan terhadap para wanita yang berbusana tanpa menutup aurat. Pembelaan ini diberikan mengingat ide-ide emansipasi memberi kebebasan pada kaum wanita untuk berpakaian sesuai selera mereka. Karena itu, bisa dimafhumi bila memperjuangkan emansipasi setali tiga uang dengan memperjuangkan terlucutinya hijab dari kaum wanita. Maka, bagi seorang muslimah, ada atau tidak ada kaitan antara liberalisasi berpakaian dengan tindak pelecehan terhadap kaum wanita, tak begitu urgen. Sebab bagi seorang muslimah, dikenakannya busana yang menutup tubuh merupakan implementasi syariat. Meski tak menampik kenyataan, busana yang menutupi sekujur tubuhnya dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala bisa meminimkan bangkitnya birahi kaum pria. Ini merupakan bentuk kontribusi sosial yang tak ternilai dalam menciptakan kehidupan masyarakat yang bersusila. Bandingkan dengan apa yang diusung para pengikut emansipasi wanita. Dengan ide-ide kebebasan bagi kaum wanita, termasuk kebebasan berpakaian, maka apa yang disumbangkan kepada masyarakat? Tak lain, sebuah masyarakat dengan konstruksi yang melecehkan wanita, mengumbar syahwat, pornografi dan berbagai kerusakan lainnya. Masyarakat menjadi ‘sakit’. Maka ketentuan syariat yang mewajibkan setiap wanita menutup sekujur tubuhnya adalah rahmat.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya`: 107)
Melalui ketentuan safar (bepergian) bagi kaum wanita, akan nampak bahwa Islam begitu memuliakan martabat dan kehormatan wanita. Siapa saja yang mengetahui ihwal safar pada masa kini, serta mengetahui betapa dahsyatnya kerusakan pola gaul pria dan wanita, niscaya akan bisa memahami hikmah larangan bepergian sendirian bagi wanita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak boleh seorang wanita melakukan safar kecuali disertai mahramnya. Dan tidak boleh pula seorang laki-laki bersama dengan seorang wanita kecuali ada bersamanya mahram.” Maka seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya menginginkan keluar bersama pasukan (untuk) begini dan begini, sementara istri saya menginginkan berhaji.” Kemudian kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Pergilah bersama istrimu.” (HR. Al-Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Bab Hajjin Nisa`, no. 1862, dan Muslim, Bab Safar Al-Mar`ah ma’a Mahramin ila Hajj wa ghairih, no. 1341)
Maka bepergian sendirian tanpa mahram, bergaul dengan pria yang bukan mahram, berada di tempat sepi bersama pria bukan mahram, semua itu merupakan tradisi yang bakal mengantarkan kaum wanita pada malapetaka, kehancuran moral, kerendahan martabat, dan kehormatan sebagai wanita. Demikian pula, apa yang akan berdampak pada pria pun sama. Namun ketahuilah, bahwa akibat yang akan ditanggung wanita di dunia jauh lebih buruk. Karena ini menyangkut kehormatan diri, kesehatan, dan status sosial kemanusiaan. Sedangkan apa yang kelak ditanggung di akhirat tentu lebih dahsyat lagi bagi wanita maupun pria yang bersangkutan. Kita memohon keselamatan dari itu semua.
Bisa jadi ada yang berpendapat bahwa bepergian haji bagi wanita pada masa sekarang ini tak mengapa. Zaman sudah berubah, keamanan bisa terjaga. Kalau ini yang dijadikan alasan, maka akan timbul pertanyaan: di manakah letak ketaatan terhadap larangan yang disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Para ulama sendiri telah sepakat bahwa seorang wanita bepergian sendirian adalah terlarang. Seperti diungkapkan Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, bahwa tiap sesuatu yang disebut safar (bepergian) adalah terlarang bagi wanita kecuali disertai mahram atau suaminya. Disebutkan pula oleh Asy-Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri hafizhahullah, banyak kalangan ulama yang tidak membolehkan wanita tanpa mahram safar (bepergian) untuk berhaji. Bila tidak didapati mahram yang menyertainya berhaji, maka dia tergolong orang yang belum mampu berhaji. Allah k berfirman:
ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (Ali ‘Imran: 97)
Maka, tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan haji kecuali kepada yang mampu. Sedangkan pada wanita, apabila tidak ada mahram yang menyertainya berarti dirinya termasuk orang yang tidak memiliki kemampuan tersebut. Ini adalah pendapat yang rajih (unggul, kuat) berdasar keumuman dalil-dalil dalam masalah larangan safar bagi wanita tanpa mahram. Tak ada pula dalil yang mengkhususkan kebolehan safar bagi wanita tanpa mahram untuk berhaji. Adapun dalil yang berbunyi:
“Seorang wanita bertanya (kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam): ‘Sesungguhnya ayahku tak mampu haji dan umrah. Apakah aku boleh menghajikan baginya?’ Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Hajikanlah olehmu ayahmu’.”
Ini tidaklah mengandung pengertian telah diizinkan bagi wanita tersebut untuk safar tanpa mahram. Akan tetapi, sesungguhnya hal itu merupakan bentuk izin bagi wanita tersebut untuk menghajikan ayahnya. Adalah sesuatu yang sudah maklum bahwa untuk bisa menghajikan itu perlu syarat adanya mahram bersamanya. Ini sebagaimana telah ditunjukkan dalam dalil-dalil yang ada. (Kasyful Wa’tsa`, hal. 53-54)
Maka, hayati dan pikirkanlah! Jika bepergian untuk menunaikan suatu hal yang wajib, yang merupakan rukun Islam kelima yaitu haji, seorang wanita tetap tidak diperkenankan, maka apatah lagi jika bepergian tersebut sesuatu yang bersifat mengisi waktu senggang. Cuma sekadar tamasya dan bersenang-senang.
Paham emansipasi telah mewabah. Tak sedikit muslimah yang benaknya terjangkiti paham ini. Tentunya, keadaan nyaris sama terjadi pula pada kaum pria. Emansipasi dijadikan alasan untuk melampiaskan ekspresi kebebasan yang tiada batas. Menggelandang tanpa terukur dan terkendali, melabrak nilai-nilai agama. Melalui alasan emansipasi ini, ketentuan syariat seperti poligami, talak, pembagian warisan, hijab, hingga masalah khatib Jum’at pun coba didongkel untuk dipermasalahkan.
Beberapa masalah yang disebutkan tadi hanya sebagian saja yang mencuat. Masih banyak agenda lainnya dari kalangan wanita –dengan alasan emansipasi– yang akan atau sedang ‘diperjuangkan’. Dengan bahasa ‘ilmiah’ mereka kemas dengan ungkapan ‘rekonstruksi nilai-nilai Islam dalam masalah jender’ atau yang semakna. Intinya, ingin memuaskan hawa nafsunya melepaskan diri dari ikatan agama. Atau, bisa juga lantaran ingin mengubah tatanan beragama hingga selaras dengan pemikiran-pemikirannya yang telah terwarnai pemikiran kufur. Wallahu ta’ala a’lam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (Ash-Shaff: 8)
Wallahu a’lam.
Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=613