Asy-Syaikh Al-Albani menukilkan keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (25/114) :
”Apabila seseorang melihat hilal Ramadhan atau Syawal apakah menjalankan ash-shaum atau berhari raya dengan ru’yahnya sendiri? Atau menjalankannya bersama kaum muslimin?”
Dalam masalah ini ada tiga pendapat semuanya diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad kemudian beliau menyebutkan pendapat tersebut satu-persatu dalam kitabnya dan yang perlu untuk kita sampaikan di sini adalah pendapat yang sesuai dengan hadits yaitu :
Pendapat ketiga : bershaum dan berhari raya bersama kaum muslimin adalah pendapat yang paling kuat berdasarkan hadits dari Abi Hurairah, bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata :
Artinya :
“Shaumnya kalian adalah pada hari dimana kaum muslimin bershaum, Idul Fitri kalian adalah pada hari kaum muslimin beridul fitri, dan Idul Adha kalian adalah pada hari kaum muslimin beridul Adha.”([1])
H.R. Tirmidzi dan menyatakan hadits ini adalah hasan ghorib. Kemudian Al-Imam At-Tirmidzi memberikan komentar :
” Sebagian ulama menafsirkan hadits ini bahwa maknanya adalah ash-shaum dan hari raya bersama jama’ah kaum muslimin dan mayoritas dari mereka. “([2])
Pendapat ini dipilih oleh Ibnul Qoyyim, Ash-Shan’ani, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Asy-Syaikh Al-Albani dan Asy-Syaikh Muqbil dalam kitab beliau Al-Jami’ush Shahih, ketika beliau menyebutkan sebuah bab :
Artinya :
Bab yang Menjelaskan Bahwasannya Ash-Shaum pada Saat Mayoritas Kaum Muslimin Bershaum
Kemudian Asy-Syaikh Muqbil menyebutkan hadits Abu Hurairah di atas. [3])
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menerangkan maksud hadits di atas yang terdapat dalam Ash-Shahihah hadist no.224, bahwa :
“Perkara inilah yang tepat dan sesuai dengan Asy-syariat yang bersifat selalu memberikan kemudahan ini, yang diantara tujuan utamanya adalah menyatukan barisan kaum muslimin dan menjauhkan semua sebab-sebab yang menimbulkan perpecahan diantara mereka dengan munculnya berbagai pendapat pribadi. Syariat ini tidak memperhitungkan pendapat pribadi – walaupun benar menurut dirinya – dalam sebuah ibadah yang bersifat jama’i (masal) seperti ash-shaum, hari raya, dan shalat berjama’ah. Bukankah anda mengetahui bahwa para Shahabat radhiallahu ‘anhum sebagian mereka berma`mum terhadap yang lainnya, sedangkan di antara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh perempuan dan kemaluan serta keluarnya darah termasuk pembatal wudhu`. Sedangkan shahabat lain menganggap hal tersebut tidak membatalkan. Di antara mereka ada yang menyempurnakan shalat (tidak mengqashar) ketika safar dan ada pula yang mengqashar. Namun perbedaan seperti ini tidak menghalangi mereka untuk bersama-sama shalat di belakang seorang imam (yang berbeda pendapat dengan mereka) dan memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada imam tersebut. Hal ini karena para shahabat mengetahui bahwa perpecahan dalam agama adalah lebih jelek dibandingkan perpecahan dalam masalah fiqh. Bahkan para shahabat meninggalkan pendapat yang ia yakini ketika menyelisih ketentuan imam ( kholifah ) dalam ruang lingkup masyarakat yang besar seperti di Mina. Sehingga mereka tidak mengamalkan secara mutlak pendapat yang mereka yakini dalam rangka menghindari dampak negatif (kejelekan) yang akan muncul setelahnya. Al-Imam Abu Dawud meriwayatkan bahwa Khalifah ‘Utsman radhiallahu ‘anhu tatkala shalat di Mina empat rakaat (tidak mengqashar shalat). Maka Ibnu Mas’ud mengingkari perbuatan Khalifah ‘Utsman tersebut seraya berkata : ‘Saya shalat di belakang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam serta di belakang Abu Bakr dan ‘Umar (mereka semua mengqashar shalat menjadi dua raka’at) kemudian muncul di masa Khalifah ‘Utsman, penyempurnaan shalat menjadi empat raka’at (di Mina). Sehingga kalian terpecah-belah. Sungguh saya berharap di terimanya dua rakaat dari empat rakaat yang aku lakukan bersama ‘Utsman. Setelah itu Ibnu Mas’ud shalat empat rakaat di belakang Utsman, kemudian beliau ditanya: “Anda mengkritik ‘Utsman sedangkan Anda sendiri Shalat empat raka’at (yakni berma`mum di belakang ‘Utsman).” Beliau berkata: ‘ (Karena) perselisihan (perpecahan) itu buruk.’
(Berkata Asy-Syaikh Al-Albani) : Sanad hadits ini shahih.
Al-Imam Ahmad meriwayatkan dalam musnadnya (V/155) dari Abu Dzarr kisah yang hampir sama.
Maka perhatikanlah hadits-hadits dan kisah-kisah di atas. Kemudian kita lihat keadaan kaum muslimin sekarang, mereka senantiasa terpecah pecah ketika shalat berjama’ah dan tidak mau shalat berma`mum di belakang sebagian imam-imam masjid, bahkan tatkala shalat witir pada bulan Ramadhan, dengan alasan beda madzhab atau beda pendapat. Yang lainnya lagi dari sekelompok orang yang mengaku menguasai ilmu falak, menjalankan shaum dan hari raya menyelisihi pemerintah kaum muslimin berdasarkan pada logika dan ilmu perbintangan mereka, tidak mau peduli dengan persatuan kaum muslimin.
Maka berbagai keterangan ini hendaknya diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Semoga mereka mendapatkan obat bagi kebodohan dan kesombongan yang ada pada dirinya, sehinga kaum muslimin bersatu padu. Sesungguhnya Tangan Allah bersama persatuan.” ([4])
Sudah seharusnya bagi kaum muslimin untuk berusaha melakukan ru’yatul hilal, karena akan banyak mendatangkan manfaat bagi mereka. Dan bagi pemerintah kaum muslimin hendaknya menyebarluaskan berita tentang hasil ru’yah hilal Ramadhan atau Idul Fitri agar semua pihak bisa menjalankan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan ru’yah hilal seperti shaum dan idul fitri.
Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Daud dan selainnya :
Artinya :
“Kaum muslimin berusaha hilal, kemudian saya mengabarkan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa saya melihatnya, maka beliau menjalankan ash-shaum dan memerintahkan kaum muslimin untuk bershaum.”(Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` hadits no. 908) ([5](
Dari hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma di atas diambil kesimpulan diterimanya khabar wahid (kabar dari satu orang) dalam ru’yatul hilal Ramadhan dan tidak disyaratkan lebih dari satu orang. Ini adalah pendapat kebanyakan dari para ulama sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dan juga pendapatnya Al-Imam Asy-Syafi`i dan Al-Imam Ahmad. Kata Al-Imam An Nawawi rahimahullah : “Dan ini adalah pendapat yang paling benar.” Al-Imam Abu Daud membuat bab dalam Sunannya “Bab Tentang Persaksian Satu Orang dalam Ru’yatul Hilal”
kemudian disebutkan hadits di atas.
Footnote :
[1] H.R. Tirmidzi Abwaabush Shaum, bab 11, hadits no. 693,lihat Ash-Shohihah karya Syaikh Al-Albani no. 224, Irwaul gholil no. 905.
[2] Lihat Tamamul minnah hal. 359.
[3] Lihat Al-Jaami’ush Shahih jilid 2 hal. 373.
[4] Silsilah Al Ahaadiits As-shohiihah.no.224
[5] H.R. Abu Daud Kitabush Shiyaam, bab 14, hadits no.2339, Daruquthni no. 227, Ibnu Hiban no. 871, Al-Baihaqi 4/212, dan Ad-Darimi 2/4 hadits no. 1697 (di nukil dari Al Irwa’ (hadits no.908)
(Dikutip dari artikel “Orang yang Melihat Hilal Sendirian”. Url sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=227)