Ditulis Oleh Al Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin
Dalam sebuah hadits dari Abi Qatadah Al-Harits bin Rib’i radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
اني لاقوم الى الصلاة و اريد ان اطول فيها فاسمع بكاء الصبي فاتجوزفي صلاتي كراهية ان اشق على امه
“Sesungguhnya saya hendak tunaikan shalat. Saya menginginkan shalat itu berlangsung lama. Lantas saya mendengar seorang anak menangis, maka saya pun lantas meringkas shalat saya itu. Khawatir (tangis anak itu) itu membuat galau sang ibu”. (HR. Al-Bukhari)
Hadits di atas menggambarkan betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan seorang yang penyayang. Sosok yang begitu peduli dan peka dengan lingkungan yang berkembang di sekitarnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan sosok yang tak mengutamakan kepentingannya sendiri. Walau keinginannya yang kuat untuk berlama-lama tunaikan shalat, namun saat mendengar seorang anak menangis, beliau merubah keinginannya tersebut. Beliau ringkas shalatnya karena khawatir ibu dari anak itu gelisah tak menentu. Begitu penuh lembut, sarat rahmah, sangat peduli dan tak ingin menyusahkan orang lain, itulah diantara kepribadian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terekam melalui hadits di atas.
Melalui hadits itu pula, terkandung pelajaran bahwa ada orang tua yang mengajak anaknya ke masjid. Tindakan mengajak anak ke masjid tentu saja bukan merupakan larangan. Barangkali ada orang beranggapan, mengajak anak ke masjid hanya akan membuat gaduh di masjid. Dengan kegaduhan yang ditimbulkan anak akan menjadikan tidak khusyu’nya dalam beribadah. Apakah dengan alasan keinginan khusyu’ beribadah lantas melarang anak ke masjid? Tentu, alasan ini perlu dikaji kembali. Memang benar beribadah memerlukan kekhusyu’an, ketenangan dan tidak diiringi kegaduhan. Namun, bukankah tidak lantas harus mencegah anak dari masjid?
Bagaimana pun anak memiliki hak untuk dekat dan mengenal masjid. Menanamkan pada jiwa anak cinta kepada masjid sebagai tempat ibadah yang mulia harus dilakukan sedini mungkin. Dalam hal ini, sistem pengelolaan dan pengaturan oleh pengurus masjid bekerja sama dengan orang tua, harus ditata sebaik mungkin. Sehingga, anak tidak menjadi korban lantaran keinginan beribadah yang khusyu’ dan tenang. Dengan penataan yang baik, insya Allah kekhusyu’an dan ketenangan beribadah tercapai dan anak pun tak mesti harus dilarang mendekat ke masjid.
Menanamkan pada diri anak senang mengunjungi masjid merupakan tanggung jawab orang tua. Masjid adalah tempat yang mulia, sebuah tempat yang sangat kondusif dalam menumbuhkan kecintaan anak kepada Allah Ta’ala, menanamkan nilai-nilai sosial, kebersamaan, dan tasamuh (tenggang rasa dan lapang dada). Dari masjid, kehidupan beragama pada diri anak ditumbuhkan. Sebuah penanaman moral tingkat tinggi bisa dirintis dari masjid. Masjid memberi keteduhan bagi hati nan gersang.
Dekatkan anak-anak kita dengan masjid. Biarkan jiwanya tumbuh dan tergantung kepada masjid. Sungguh, sebuah kenyataan yang tak menyamankan hati kala masjid banyak dibangun namun tak dimakmurkan kaum muslimin. Akhirnya, masjid menjadi bangunan tak bermakna. Apalagi anak-anak, orang tua pun enggan melangkahkan kakinya ke masjid. Sebuah kenyataan di beberapa tempat yang harus dirubah tentunya. Semoga dari masjid lahir generasi muslim yang tangguh dan mampu menghadapi kehidupan zaman yang semakin tergerus hawa nafsu. Wallahu a’lam.