Makna, Hikmah, dan Masa Haid

Makna, Hikmah, dan Masa Haid

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Makna haid

makna haid secara etimologi (bahasa) maknanya adalah aliran sesuatu. Adapun secara etomologi (istilah) syar’i maknanya adalah aliran darah yang terjadi pada wanita secara alami tanpa suatu sebab dan terjadi pada waktu yang diketahui.

Haid merupaka darah yang alami, walaupun haid ini sesuatu yang alami, akan terjadi berbeda-beda keadaanya sesuai dengan kondisi masing – masing wanita, lingkungan dan iklimnya.

Hikmah Haid

                Adapun hikmah yang terjadi haid pada seorang wanita, bahwa janin yang ada di dalam rahim tidaklah mendapatkan makanan sebagaimana jika dia sudah lahir. Maka Allah Ta’ala menjadikan pada tubuh wanita adanya saluran darah yang menjadi jalan sari – sari makanan untuk sampai kepada janin tanpa harus dengan proses makan dan minum. Maha suci Allah, dialah sebaik – baik pencipta.

                Inilah hikmahnya, jika seorang wanita dalam keadaan hamil akan berhenti haidnya, kecuali pada sebagian kecil wanita saja. Begitu pula wanita yang menyesui, khususnya pada awal-awal masa menyesuinya, hanya sedikit dia antara mereka yang mengalamai haid.

Masa haid dan rentan waktunya

                Waktu atau masa haid mencakup dua pembahasan, yaitu ;

1. Usia awal seorang wanita mulai haid.

                Usia awal keumuman wanita yang mengalami haid adalah sekitar 12- 15 tahun. Terkadang wanita mengalami haid sebelum mencapai rentan usia atau melewatinya, tergantung pada kondisinya, lingkunganya, dan iklim yang ditempati.

                Para ulama berbeda pendapat tentang batas awal usia terjadi haid pada seorang wanita serta batas akhirnya. Sehingga jika datang darah sebelum batas usia tersebut atau sesudah melewati batas akhir haidnya dianggap sebagai darah penyakait, bukan darah haid.

                Al Imam Ad-Darimi sesudah beliau membawakan khilaf dalam perkara ini, beliau berkata :

“semua pendapat ini menurutku salah, karena sandaran penentuan haid kembali kepada terjadi atau tidaknya haid itu pada seorang wanita. Sehingga pada batasan pada batasan manapun di dapati haid itu serta pada keadaan serta usia berapapun terjadinya wajib untuk di hukumi.”

                Pendapat beliau ini adalah pendapat yang benar dan merupakan pendapat yang di pilih oleh Syaikh Islam Ibnu Tamiyah. Alasan karena Allah dan Rosul-nya mengaitkan hukum – hukum haid dengan keberadaannya  (kapanpun terjadinya). Maka yang wajib dalam penentuan haid adalah keberadaan haid itu, yang dengan keberadaanya itulah di kaitkan hukum – hukumya.

2. Lamanya berlangsungnya masa haid

                Adapaun lama berlangsungnya masa haid , dalam perkara inipun terjadi khilaf di kalangan para ulama hingga mencapai enam atau tujuh pendapat. Aku (Ibnul  ‘Utsaimin) katakan : Pendapat ini sebagaimana pendapat Ad – Darimi terdahulu, dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikh Islam Ibnu Tamiyah merupakan pendapat yang benar yang didukung oleh dalil-dalil dari Al – Kitab dan As – Sunnah serta i’tibar (Qiyas/Analogi).

Dalil pertama firman Allah Ta’ala :

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ

“ dan mereka bertanya kepadamu tentang darah haid. Katakan : Dia adalah sesuatu yang kotor, maka jauhilah wanita di saat haid. Dan janganlah kalian dekati hingga mereka suci” (Al Baqarah : 222)

Dalil kedua :

Telah tetap di dalam Shahih Muslim2 bahwa Nabi bersabda kepada ‘Aisyah ketika dia dalam keadaan haid juga dalam keadaan muhrim ( sedang umroh) :

“Lakukan apa saja yang di lakukan oleh orang yang berhaji kecuali thawaf hingga engkau suci (dari haid)”.

Aisyah berkata : Ketika masuk hari nahar aku pun bersih ( dari haid )…(Al Hadist)

Disebutkan di dalam Shahih Al-Bukhari, bahwa beliau bersabda kepada ‘Aisyah :

“ Tunggulah hingga engkau suci, setelah itu engkau boleh menuju tan’im”.

Dalil ketiga

Bahwa batasan-batasan dan rincian tentang haid yang disebutkan oleh sebagian ulama tidak terdapat di dalam Al Kitab dan As Sunnah, padahal penjelasan tentang perkara tersebut adalah suatu kebutuhan bahkan darurat. Kalau seandainya batasan-batasan dan rincian – rincian tersebut dibutuhkan, niscaya Allah dan Rasul-Nya menjelaskan seccara jelas karena begitu pentingnya hukum yang berkaitan dengan masalah ini.

Maka dari itu, ketika tidak di dapati adanya pembatasan dan rincian dari kitabullah dan sunnah Rasulullah jelaslah bahawa tidak ada pegangan yang bisa menjadikan dasar pada rincian – rincian dan pemabatasan-pembatasan tersebut. Maka yang menjadi pegangan dalam hal penentuan haid adalah apa yang telah di tetapkan hukum – hukum syar’i yang terkait dengan ada atau tidaknya darah haid itu.

Syaikhlul Islam Ibnu Tamiyah berkata di dalam Qoidahnya: “di antara contohnya adalag haid. Di dalam Al Kitab dan As Sunnah, Allah mengaitkan dengan haid ini sekian banyak hukum. Allah tidak membatasi masa haid: minimalnya maupun maksimalnya serta waktu suci di antara dua haid, bersamaan kejadian ini menimpa ummat dan butuhnya mereka kepada keterangan ini”.

Dalil ke empat

Al – I’tibar : yakni qiyas yang shahih dan memiliki kepastian.

Allah Ta’ala menetapkan bahwa haid merupkan sesuatu yang kotor. Maka kapan saja haid itu terjadi, berarti kotoran itu ada. Tidak ada bedanya, apakah terjadi di hari kedua atau pertama, ketiga atau kelima belas tidak pula antara hari kedelapan belas dengan ketujuh belas. Maka sebab yang ada di antara dua hari tersebut dihukumi sama.

Dalil Kelima

Terjadinya perbedaan pendapat serta kebingungan yang muncul dari orang – orang yang menetapkan batasan lamanya waktu haid. Hal itu menunjukan bahwa dalam masalah haid ini tidak ada dalil yang menawajibkan untuk berjalan diatasnya. Batasan tadi hanyalah hukum hasil Ijtihad yang mungkin benar mungkin juga salah. Sedangkan suatu perkara yang diperselisihkan, hendaklah dikembalikan kepada  Al-Kitab dan As-Sunnah

Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah berkata : “hukum asal unutk setiap darah yang keluar dari rahim adalah darah haid, sampai datang dalil yang mununjukan bahwa darah tersebut adalah darah istihadhah.

Haid Wanita Hamil

Secara umum seorang wanita yang sedang hamil akan berhenti haidnya. Al Imam Ahmad berkata : Sesungguhnya seorang wanita diketahui kehamilannya dengan terhenti haidnya.

Jika seorang wanita yang sedang hamil mendapati darah keluar darah rahimnya, jika terjadi beberapa saat sebelumnya kelahiran seperti dua atau tiga dan keluarnya disertai dengan rasa sakit, maka dihukumi sebagai darah nifas. Akan tetapi jika terjadi selain di waktu itu maka bukan darah nifas.

Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Apakah masuk darah haid ataukah darah fasad (istihadhah). Adapun pendapat yang benar bahwa darah tersebut adalah darah haid jika terjadi pada masa kebiasaan haidnya.

Tidak ada keterngan dalam Al – Kitab dan As Sunnah yang menhalangi terjadinya haid pada wanita yang sedang hamil. Inilah pendapat Al Imam dan As –Syafi’i serta pendapat yang di pilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah. Dengan demikian berlakulah hukum haid pada wanita yang sedang hamil, kecuali dalam dua masalah :

                A.  Masalah Talaq.

                Haram melakukan talaq kepada wanita yang memerlukan ‘iddah dengan perhintungan haid yang tidak dalam kondisi hamil. Firman allah

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ

“…sesungguhnya hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).”(At Talaq : 1)

Oleh karena itu tidaklah haram bagi suami untuk mentalaq istrinya ( yang sedang hamil tersebut) sesudah menggaulinya.

                B. ‘iddah wanita yang sedang hamil.

                Iddah wanita yang sedang hamil tidaklah berakhir kecuali dngan terlahirnya janin, sama saja wanita tersebut  (di talaq) sedang dalam keadaan haid atu tidak. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala :

ولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ

“dan perempuan – perempuan yang hamil, waktu iddahnya mereka itu ialah sampai mereka melahirkanyan yang di kandungnya” (At – Talaq :4)

 ( dikutip dari buku Probelem Darah Wanita, Penulis Asy Syaikh Muhammad Utsaimin, Ash Shaf Media)