Shalat lima waktu bersama jama’ah di masjid-masjid adalah sebesar-besar ibadah yang mulia. Telah disebutkan dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah tentang wajibnya shalat jama’ah tersebut. Diantaranya:
1. Perintah Allah ÓÈÍÇäå æÊÚÇáì untuk ruku’ bersama orang-orang yang ruku’:
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’. (al-Baqarah: 43)
Berkata Hafidz Ibnul Jauzi ÑÍãå Çááå ketika menafsirkan ayat tersebut: “Yakni shalatlah bersama orang-orang yang shalat”. (Zaadul Masir, 1/75)
Qadli al-Baidlawi ÑÍãå Çááå berkata: “Yakni bersama jama’ah mereka”. (Tafsir al-Baidlawi 1/59)
Berkata Imam Abu Bakar al-Kisani ÑÍãå Çááå: “Ini adalah perintah untuk ruku’ bersama-sama dengan orang-orang yang ruku’, dan ini menunjukkan adanya perintah untuk menegakkan shalat berjama’ah. Sedangkan perintah yang mutlak menunjukkan wajibnya perkara tersebut”. (Bada’iu ash-Shanai’i fi Tartiibi asy-Syara’ii, 1/155)
2. Perintah untuk shalat berjama’ah dalam keadaan khauf
Allah memerintahkan kepada Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã dan para shahabatnya untuk shalat berjama’ah walaupun dalam keadaan khauf (genting), yaitu dalam situasi perang. Hal ini menunjukkan kalau shalat jama’ah merupakan perkara yang penting dan wajib.
Allah berfirman:
Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat untuk mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu. (an-Nisaa’: 102)
Berkata Ibnul Mundzir : “Ketika Allah perintahkan untuk shalat berjama’ah dalam keadaan khauf, tentunya dalam keadaan aman lebih diwajibkan”. (Al-Ausath fie Sunani wal Ijtima’i wal Ikhtilafi, 4/135)
Kalau saja shalat berjama’ah tidak diwajibkan, tentu perang merupakan udzur yang sangat besar untuk meninggalkan shalat jama’ah.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ÑÍãå Çááå: “Sesungguhnya diperintahkannya shalat khauf bersama jama’ah dengan tata cara khusus yang membolehkan perkara-perkara yang pada asalnya dilarang tanpa udzur seperti tidak menghadap kiblat dan banyak bergerak -dimana perkara-perkara tersebut tidak boleh dilakukan jika tanpa udzur dengan kesepakatan para ulama-, atau meninggalkan imam sebelum salam menurut jumhur, demikian pula menyelisihi perbuatan imam seperti tetap berdirinya shaf belakang ketika imam ruku’ bersama shaf depan, jika musuh ada di hadapannya. Para ulama berkata: “Perkara-perkara tersebut akan membatalkan shalat jika dilakukan tanpa udzur. Kalau saja shalat jama’ah tidak diwajibkan namun hanya merupakan anjuran, niscaya perbuatan-perbuatan di atas membatalkan shalat, karena meninggalkan sesuatu yang wajib hanya karena sesuatu yang sunnah. Padahal, sangat mungkin shalat dilakukan oleh mereka secara sempurna jika mereka masing-masing shalat sendirian (bergantian). Maka jelaslah shalat berjama’ah merupakan perkara yang wajib”.
3. Perintah Nabi untuk mendirikan shalat berjama’ah
Diriwayatkan dari Malik Ibnul Huwairits , dia berkata: Aku mendatangi Nabi Õáì Çááå Úáíå æÓáã bersama beberapa orang dari kaumku. Kami tinggal di sisi beliau 20 hari. Sungguh beliau adalah seorang yang sangat lembut dan penyayang. Ketika beliau melihat bahwa kami sudah rindu dengan keluarga-keluarga kami, beliau berkata:
Kembalilah kalian, tinggallah di tengah mereka, ajarilah mereka dan shalatlah. Jika telah datang waktu shalat, adzanlah salah seorang dari kalian dan hendaklah orang yang paling tua diantara kalian mengimami kalian! (HR. Bukhari dalam Kitab al-Adzan).
Dalam riwayat lain, bahkan beliau memerintahkan untuk shalat berjama’ah walaupun jumlah mereka hanya 3 orang.
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri ÑÖí Çááå Úäå, ia berkata: Berkata Rasulullah :
Jika mereka bertiga, maka hendaklah mengimami mereka salah seorang dari mereka. Dan yang paling berhak menjadi imam adalah yang paling pandai membaca al-Qur’an. (HR. Muslim dalam kitab al-Masajid wa mawadhi’us shalah)
Berkata Ibnul Qayyim ÑÍãå Çááå: “Sisi pendalilan hadits ini adalah perintah untuk berjama’ah. Dan perintah beliau Õáì Çááå Úáíå æÓáã menunjukkan wajib hukumnya”.
Yang lebih menunjukkan wajibnya shalat jama’ah adalah ketika Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã menyuruh orang yang safar untuk shalat berjama’ah sekalipun hanya berdua .
Jika kalian berdua bepergian, maka adzanlah salah seorang kalian kemudian dirikanlah shalat. Hendaklah mengimami kalian orang yang lebih tua diantara kalian! (HR. Bukhari dalam kitab al-Adzan)
4. Larangan keluar dari masjid setelah adzan
Diantara dalil yang menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah adalah diharamkannya seseorang keluar dari masjid setelah adzan dikumandangkan, kecuali setelah menunaikan shalat jama’ah.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ÑÖí Çááå Úäå, ia berkata: telah memerintahkan kepada kami Rasulullah :
Jika kalian berada di masjid, kemudian diseru untuk shalat (adzan), maka janganlah salah seorang kalian keluar hingga selesai shalat. (HR. Ahmad; berkata al-Hafidz al-Haitsami: “Rawi-rawi imam Ahmad adalah rawi-rawi yang dipakai dalam kitab Shahih (yakni shahih Bukhari dan Muslim -pent.) (Majma’ az-Zawaid, 2/5)
Oleh karenanya Abu Hurairah menganggap orang yang keluar dari masjid setelah adzan adalah orang yang bermaksiat. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu Sya’tsa:
Kami duduk-duduk di masjid bersama Abu Hurairah. Kemudian dikumandangkanlah adzan. Tiba-tiba ada seseorang berdiri dan berjalan keluar dari masjid, maka Abu Hurairah mengikuti dengan pandangannya, seraya berkata: “Adapun orang ini telah bermaksiat kepada Abul Qasim (yakni Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã). (HR. Muslim dalam kitab al-Masajid wa mawadhi’us shalah)
Bahkan Rasulullah menyebut orang yang keluar dari masjid setelah adzan -tanpa adanya keperluan- sebagai munafik sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Rasulullah bersabda:
Tidaklah seorang mendengarkan adzan di masjidku ini, kemudian dia keluar dari sana -kecuali ada keperluan-, kemudian tidak kembali lagi, kecuali ia munafiq. (HR. Thabrani; Berkata al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid 2/5: “Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu’jamul Ausath dan rawi-rawinya adalah rawi-rawi yang dipakai dalam kitab Shahih”)
Berkata Imam Ibnul Mundzir ÑÍãå Çááå mengomentari hadits Abu Hurairah di atas: “Kalau saja seseorang diberi kebebasan untuk meninggalkan shalat berjama’ah atau mendatanginya, maka orang yang meninggalkan sesuatu yang tidak wajib baginya tidak mungkin dihukumi demikian”. (Al-Ausath fie Sunan wal Ijma’ wal Ikhtilaf, 4/135)
Dikisahkan dalam Sunan Darimi, dari Abdurrahman ibnu Harmalah, bahwa dia menceritakan: Seseorang datang kepada Sa’id Ibnul Musayyib, untuk pamit pergi menunaikan haji atau umrah. Sa’id Ibnul Musayyib berkata: “Jangan engkau berangkat, sampai engkau shalat berjama’ah! Karena Nabi menyatakan: “Tidaklah keluar dari masjid setelah adzan, kecuali munafiq; kecuali orang yang keluar untuk keperluannya kemudian kembali lagi ke masjid”. Orang itu menjawab: “Tapi teman-temanku menunggu di Harrah (padang batu di pinggir kota –pent.)”. Maka orang itu memaksa keluar. Sedangkan Sa’id Ibnul Musayyib terus menyesalkan orang itu dan terus menyebut-nyebutnya dengan kekesalan. Hingga sampailah berita, bahwa orang tersebut jatuh dari untanya dan patah tulang pahanya (dalam Sunan Darimi, Kitabus Shalah, bab Ta’jilul ‘Uqubah Man Balaghahu minan Nabi falam yu’adzimhu; Lihat pula Mushannaf Abdul Razaq, bab ar-Rajulu Yahruju minal masjid).
5. Diantara yang menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah adalah tidak adanya rukhshah (keringanan) bagi orang yang buta. Maka bagaimana dengan orang-orang yang masih dapat melihat dengan normal?
Dikisahkan bahwa Abdullah bin Umi Maktum pernah meminta keringanan untuk tidak shalat berjama’ah di masjid dan mengemukakan berbagai macam udzurnya, diantaranya:
1. Buta matanya dan tidak adanya penuntunnya
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah bahwa seorang yang buta datang menemui Rasulullah seraya berkata:
“Wahai Rasulullah, sungguh aku tidak memiliki penuntun yang bisa menuntunku ke masjid”. Orang itu meminta keringanan kepada Rasulullah. Maka Rasulullah pun mengizinkannya. Namun kemudian ketika orang itu berpaling, Rasulullah memanggilnya seraya berkata: “Apakah engkau mendengar panggilan untuk shalat?” Dia menjawab: “Ya”. Maka beliau bersabda: “Kalau begitu penuhilah!” (HR. Shahih Muslim dalam kitabul Masaajid).
Dalam hadits di atas sangat jelas disebutkan bahwasanya Rasulullah tidak memberikan udzur bagi orang yang buta tersebut, jika ia masih mendengar panggilan adzan.
Syaikh Ibnu Utsaimin ÑÍãå Çááå menyatakan bahwa dapat mendengar adzan adalah ukuran jarak rumahnya dari masjid. Jadi selama dia masih mendengar adzan, dia masih dianggap dekat dan tidak ada keringanan baginya.
2. Jauh rumahnya
Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abdullah bin Umi Maktum bahwa dia meminta keringanan kepada Nabi Õáì Çááå Úáíå æÓáã dengan berkata:
Wahai Rasulullah, aku adalah orang yang buta dan jauh rumahnya. Sedangkan aku memiliki penuntun yang tidak selalu bersamaku. Apakah aku shalat di rumahku? Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã bertanya:”Apakah engkau mendengar adzan?” Ia menjawab: “Ya”. Maka beliau Õáì Çááå Úáíå æÓáã bersabda: “Kalau begitu aku tidak mendapatkan rukhshah untukmu”. (HR. Abu Dawud dalam Kitabus Shalah, bab at-Tasydid fii tarki ash-shalah, no. 548)
Dalam hadits ke-2 ini terdapat alasan yang ketiga di samping alasan buta dan tidak memiliki penuntun yaitu jarak rumahnya ke masjid jauh.
Ibnu Khuzaimah ÑÍãå Çááå ketika menukil hadits ini memberi judul babnya “Bab perintah bagi orang yang buta untuk mengikuti shalat jama’ah walaupun rumahnya jauh dari masjid, tidak ada penuntunnya yang mau menuntun ke masjid”: “Ini merupakan dalil bahwa shalat jama’ah adalah faridlah (wajib hukumnya)”.
3. Diantara rumahnya dengan masjid melewati kebun-kebun kurma dan semak belukar.
Dalam riwayat lain bahkan disebutkan diantara rumah Abdullah ibnu Umi Maktum dan masjid terdapat pepohonan kurma dan semak belukar. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dalam riwayat Imam Ahmad dari Abdullah bin umi Maktum, bahwa ia berkata kepada Rasulullah :
Wahai Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã: “Antara rumahku dengan masjid banyak pohon kurma dan semak belukar. Dan tidak ada orang yang dapat menuntunku. Apakah boleh bagiku untuk shalat di rumahku?” Rasulullah bertanya: “Apakah engkau mendengar iqamah?” Ia menjawab: “Ya”. Maka Rasulullah bersabda: “Kalau begitu datangilah panggilan tersebut!”. (HR. Ahmad)
4. Masih banyaknya binatang buas dan berbisa di sekitar kota Madinah
Dalam hadits lain masih ada udzur lainnya pada Abdullah bin Umi Maktum, namun tetap tidak menjadikannya mendapatkan keringanan yaitu diantara masjid dengan rumahnya masih banyak binatang buas atau binatang berbahaya sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Abdullah bin umi Maktum, bahwa ia mengatakan:
Wahai Rasulullah, sesungguhnya di kota Madinah ini masih banyak binatang-binatang buas dan binatang yang berbahaya. Maka Nabi bertanya: “Apakah engkau mendengar hayya ‘ala shalah, hayya ‘alal falah? Kalau ya, maka segeralah engkau penuhi panggilan itu!” (HR. Abu Dawud bab Tasydid fi Tarqil Jama’ah, no. 548; Hakim dalam Mustadrak kitab ash-shalah, dishahihkan oleh Dzahabi).
Ibnu Khuzaimah menyebutkan hadits ini dalam kitab shahihnya dengan judul “Bab perintah bagi orang yang buta untuk menghadiri shalat jama’ah walaupun ia khawatir terhadap binatang-binatang berbisa/buas jika menghadiri jama’ah”. (Shahih Ibnu Khuzaimah, kitab al-Imamah fi shalah 2/367).
5. Dalam keadaan tua dan sudah renta
Udzur lainnya bagi Abdullah bin Umi Maktum adalah umur beliau. Di samping beliau ÑÖí Çááå Úäå buta, ia adalah seorang yang sudah tua renta. Sebagaimana diriwayatkan oleh Thabrani dari Abu Umamah. Ia berkata: Ibnu Umi Maktum datang -ia adalah seorang buta yang turun tentangnya ayat ‘Abasa wa tawalla an ja’ahul a’ma-, ia adalah seorang dari Quraisy datang kepada Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã dan berkata:
Wahai Rasulullah, ayah dan ibuku sebagai jaminan untukmu. Sungguh aku –sebagaimana yang engkau lihat—adalah orang yang telah tua umurnya, rapuh tulangku (renta), hilang pandanganku (buta), dan aku memiliki penuntun yang tidak cocok denganku, apakah engkau memiliki rukhsah untukku agar aku shalat di rumah?” Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã bertanya: “Apakah engkau mendengar suara muadzin di rumah yang kamu tinggal di dalamnya?” Ia menjawab: “Ya”. Maka nabi pun bersabda: “Aku tidak memiliki keringanan untukmu. Sungguh kalau orang yang tidak hadir shalat jama’ah ke masjid itu mengetahui apa pahalanya orang yang berjalan menuju shalat jama’ah, niscaya ia akan mendatanginya walaupun merangkak dengan kedua tangan dan kakinya”. (Dinukil dari at-Targhib wa Tarhib oleh al-Hafidh al-Mundziri. Dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Shahih Targhib wa Tarhib, 1/247)
Berkata imam Ibnul Mundzir ketika memberi judul hadits-hadits ini dengan “Dzikrul Ijab Hudzuril Jama’ah ‘Alal ‘Umyan wain Ba’udat Manaziluhum ‘Anil Masjid wa Yadullu Dzalika ‘Ala anna Zuhudal Jama’ah Fardlu la Nadbun” (“Penyebutan tentang wajibnya menghadiri jama’ah atas orang yang buta walapun jauh rumahnya dari masjid. Yang demikian menunjukkan bahwa menghadiri shalat jama’ah adalah wajib, bukan anjuran)”. (al-Ausath fi Sunan wal Ijma’ wal Ikhtilaf, 4/132)
Beliau ÑÍãå Çááå juga berkata: “Jika orang yang buta tidak mendapatkan udzur untuk meninggalkan shalat jama’ah, maka orang yang memiliki penglihatan normal lebih-lebih lagi. Tidak ada keringanan sama sekali baginya. (al-Ausath fi Sunan wal Ijma’ wal Ikhtilaf, 4/132)
Imam al-Khathabi ÑÍãå Çááå berkata: “Dalam hadits ini ada dali bahwa menghadiri shalat jama’ah adalah wajib. Kalau saja shalat jama’ah itu hanya anjuran, maka yang lebih pantas untuk meninggalkannya adalah orang yang memiliki udzur dan kelemahan atau orang yang seperti Abdullah bin Umi Maktum. (Ma’alimus Sunan, 1/160).
Dari hadits-hadits di atas, kita melihat ketegasan hukum wajibnya shalat berjama’ah. Kita melihat udzur-udzur yang ada pada Abdullah bin Umi Maktum sangat banyak, seperti buta, tua umurnya (renta), tidak ada penuntun, jauhnya rumah dari masjid, banyaknya pepohonan dan semak belukar, dan banyaknya binatang buas/berbisa. Namun meskipun demikian, Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã tetap tidak memberikan keringanan untuknya meninggalkan shalat jama’ah.
Tidak mungkin bagi seorang rasul Õáì Çááå Úáíå æÓáã yang mulia dan sangat sayang kepada umatnya membiarkan seorang yang memiliki udzur-udzur di atas tanpa mendapatkan keringanan. Kecuali kalau perkara itu adalah suatu faridlah dan kewajiban yang telah Allah tetapkan.
Maka dengan alasan apa lagikah kaum muslimin meninggalkan shalat jama’ah ke masjid, padahal mereka dalam keadaan tidak buta, kuat badannya, muda umurnya, aman jalannya dan dekat rumahnya dengan masjid?
(Diringkas dari kitab Ahammiyyatus Shalatul Jama’ah, karya Dr. Fadl Ilahi hal. 42 – 51. Bersambung)
(Dikutip dari Bulletin Al Manhaj, Edisi 94/Th. III, 02 Safar 1427 H/03 Maret 2006 M, dan Edisi 95/Th. III 09 Safar 1427 H/10 Maret 2006 M, tulisan Al Ustadz Muhammad Umar as Sewed, judul asli Wajibnya Sholat Berjamaah)