Kajian Kitabut Tauhid “Tafsir Tauhid dan Syahadat Laa ilaaha illallah”

Kajian Kitabut Tauhid “Tafsir Tauhid dan Syahadat Laa ilaaha illallah”

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Oleh Ustadz Kharisman

 

DALIL  PERTAMA :

 

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا (57)

“Makhluk-makhluk yang mereka seru (justru) mengharapkan wasilah (kedekatan dengan taat) kepada Tuhan mereka, siapa yang paling dekat kepada Allah,  mengharapkan rahmatNya, dan takut terhadap adzabNya, sesungguhnya adzab Tuhanmu adalah suatu hal yang harus ditakuti” (Q.S al-Israa’: 57). 

 

Makna Secara Umum:

Para Ulama’ tafsir menjelaskan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan sikap orang-orang musyrikin yang menyembah Jin, Malaikat, Isa, Uzair, matahari, dan bulan, padahal makhluk – makhluk yang mereka sembah tersebut justru berusaha mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya, takut dan berharap kepada Allah (Lihat Tafsir Ibnu Katsir dan Zaadul Masiir karya Ibnul Jauzi)

Riwayat Penjelas dan Ucapan Sahabat

قال ابن مسعود :كَانَ نَاسٌ مِنْ الْإِنْسِ يَعْبُدُونَ نَاسًا مِنْ الْجِنِّ فَأَسْلَمَ الْجِنُّ وَتَمَسَّكَ هَؤُلَاءِ بِدِينِهِمْ

“Ibnu Mas’ud berkata: Sebagian manusia ada yang menyembah jin, kemudian jin (yang disembah) masuk Islam, tetapi para penyembahnya tetap pada agamanya (tetap menyembah jin tersebut dan tidak menyadari bahwa jin itu telah masuk Islam dan beribadah hanya kepada Allah) (riwayat al-Bukhari).

 

Sedangkan Ibnu Abbas berpendapat bahwa yang disembah tersebut adalah Nabi Isa, ibunya (Maryam), ‘Uzair, matahari, dan bulan (Ibnu Katsir menyatakan bahwa itu pendapat Ibnu Abbas dari jalur As-Suddi dari Abu Sholih, dan Mughiroh dari Ibrohim).

 

Makna ‘al-Wasiilah’

القربة إليه بالعمل بما يرضيه

Wasilah adalah upaya mendekatkan diri kepada Allah dengan menjalankan amalan yang diridlaiNya (penjelasan Ibnu Jarir atThobary dalam tafsirnya).

 

Beberapa Faidah dari Ayat ini:

 

  1. Bantahan bagi syubhat yang menyatakan bahwa kesyirikan itu hanyalah menyembah berhala (patung) saja. Terbukti dari tafsir Sahabat di atas bahwa orang musyrikin tersebut ada yang menyembah jin, malaikat, Nabi, orang sholeh/sholehah (Maryam), matahari, dan bulan.
  2. Tidak sempurna ibadah kecuali harus diiringi dengan perasaan takut dan berharap. Tidak benar jika ibadah hanya disertai perasaan cinta kepada Allah semata.
  3. Barangsiapa yang Allah beri hidayah, tidak ada yang bisa menyesatkannya. Hidayah taufiq hanya Allah semata yang bisa memberikan. Sesuai penafsiran Ibnu Mas’ud tersebut Allah memberikan hidayah kepada jin yang disembah, sedangkan orang-orang yang menyembahnya tidak menyadarinya, tetap berada dalam kesesatan dan kekufuran.

DALIL KE-DUA :

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ(26)إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِي(27)وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ [الزخرف:26-28]

Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri terhadap apa yang kamu sembah”, kecuali Tuhan Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.” Dan (lbrahim) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu” (Q.S Az-Zukhruf :26-28)

 

Makna Secara Umum:

Ibrahim berkata kepada bapak dan kaumnya, bahwa ia berlepas diri dari yang mereka sembah seluruhnya, kecuali Allah (Rabb mereka) yang juga mereka sembah. Karena Allahlah yang memberikan hidayah ke jalan yang lurus. Kemudian Ibrahim menjadikan kalimat tauhid tersebut (laa ilaaha illallaah) diwariskan dan tetap kekal berada pada keturunannya. Sehingga, akan selalu ada dari kalangan keturunannya yang mengucapkan dan menjalankan konsekuensinya. (Lihat Tafsir atThobary dan Tafsir Ibnu Katsir).

 

Kesamaan Ayat ini dengan Ayat Lain:

 

قَالَ أَفَرَأَيْتُمْ مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ (75) أَنْتُمْ وَآَبَاؤُكُمُ الْأَقْدَمُونَ (76) فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِي إِلَّا رَبَّ الْعَالَمِينَ (77) الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ (78)

Ibrahim berkata: “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah, kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu?, karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan Semesta Alam, yaitu Tuhan Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku “(Q.S Asy-Syu’aroo’:75-78).

 

Riwayat Penjelas dari Ucapan Salaf

 

Qotadah (murid Ibnu Mas’ud) berpendapat bahwa kaum Nabi Ibrahim menyatakan bahwa Allah adalah Rabb mereka. Sebagaimana diriwayatkan Ibnu Jarir atThobari:

كانوا يقولون: إن الله ربنا( وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ) فلم يبرأ من ربه

“ Mereka (kaum Ibrahim) berkata: Sesungguhnya Allah adalah Rabb kami.

“ Kalau seandainya engkau bertanya kepada mereka siapa yang menciptakan langit dan bumi, niscaya mereka sungguh-sungguh berkata: Allah!” (Q.S Luqman:25).

Maka Ibrahim tidak berlepas diri dari Tuhannya” (atThobary meriwayatkan dari Basyar dari Yazid dari Sa’id).

 

Makna ‘Kalimat yang Kekal’

Kalimat yang kekal yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Laa Ilaaha Illallaah (Lihat Tafsir atThobary).

 

Beberapa Faidah yang Bisa Diambil dari Ayat-ayat tsb:

  1. Laa Ilaaha Illallah artinya hanya menyembah Allah dan meninggalkan seluruh sesembahan lain selainNya.
  2. Kaum musyrikin di masa Nabi Ibrahim juga meyakini bahwa Allah adalah Rabb mereka (sebagaimana perkataan Qotaadah), tapi mereka tidak dianggap bertauhid secara benar karena tidak beribadah hanya kepada Allah semata. Mereka beribadah kepada sesembahan lain bersamaan dengan peribadatannya kepada Allah.
  3. Dasar persatuan dalam Islam adalah mencintai dan membenci karena Allah.
  4. Tuhan yang berhak disembah hanyalah Tuhan Yang Menciptakan dan Memberikan Hidayah, yaitu Allah Azza Wa Jalla.
  5. Akan selalu ada di kalangan keturunan Ibrahim yang merealisasikan kalimat Laa Ilaaha Illallaah, hal ini sekaligus petunjuk tentang keutamaan Nabi Ibrahim sebagai Bapak Tauhid.

<<disampaikan pada Kajian Kitabut Tauhid di Surau Thariqul Huda Kota Probolinggo 28 Syawwal 1430 H Ba’da Maghrib>>