Kriteria Hadits Shahih (Bag ke-3)
Pada bagian yang pertama terdahulu telah disampaikan bahwa kriteria atau persyaratan hadits shahih ada 5, yaitu:
1. Sanadnya bersambung.
2. Para perawinya adil.
3. Para perawinya kokoh dalam periwayatan (dhobth).
4. Tidak syadz
5. Tidak memiliki illat (penyakit/ cacat) yang tercela
Tulisan pada bagian ini masih akan membahas kriteria hadits shahih yang ke-2 dan ke-3, yaitu perawinya adil dan kokoh dalam periwayatan
Perawi Adil dan Kokoh (Dhobith)
Salah satu syarat hadits dikatakan shahih adalah jika semua perawinya adil dan kokoh (dhobith) dalam meriwayatkan.
Al-Imam al-Baiquniy rahimahullah menyatakan:
يَرْوِيهِ عَدْلٌ ضَابِطٌ عَنْ مِثْلِهِ … مُعْتَمَدٌ فِي ضَبْطِهِ وَنَقْلِهِ
Diriwayatkan oleh orang yang adil, kokoh (dalam periwayatan) mendapatkan (khabar dari orang) yang semisal dengannya…yang diakui dalam kekokohan dan penukilan (Mandzhumah al-Baiquniyyah)
Adil artinya lebih dominan kebaikan dibandingkan keburukannya, juga menghindari dosa-dosa besar maupun kebid’ahan. Sedangkan dhobith artinya kokoh dalam meriwayatkan, baik secara hafalan atau tulisan. Benar saat menerima riwayat dan tepat pula saat menyampaikan riwayat.
Jika seorang perawi memenuhi kriteria adil dan kokoh (dhobit), disederhanakan penyebutannya menjadi tsiqoh. Perawi yang tsiqoh artinya dia adil dan kokoh dalam periwayatan.
Ada beberapa kondisi perawi yang tidak memenuhi adil dan dhobith, di antaranya:
1. Tidak dikenal.
Kondisi perawi yang tidak dikenal, di antaranya adalah:
a. Mubham, tidak diketahui nama perawinya.
b. Majhul (tidak dikenal). Bisa berupa majhul ain atau majhul haal.
Majhul ‘ain artinya tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali satu perawi saja (definisi al-’Iraqiy). Sedangkan majhul haal setidaknya ada 2 adil yang meriwayatkan darinya, tapi kondisi perawi itu apakah ada jarh (celaan) atau ta’dil (pujian) tidak diketahui.
2. Perawi tidak adil, misalkan karena kefasikan (suka mencuri, minum khamr, dan sebagainya), atau berpemikiran bid’ah (khawarij, qodariy, dan sebagainya).
3. Perawi tidak dhobith, misalkan karena lemah dalam hafalan atau sering salah dalam periwayatannya.
4. Perawi mudallis
Perawi tersebut suka menyamarkan kondisi perawi di atasnya. Dalam riwayat mu’an-’an bisa ternilai sebagai riwayat yang sanadnya tidak bersambung.
Berikut ini adalah contoh hadits yang lemah karena perawi yang mubham:
Hadits dalam Sunan Abi Dawud:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الزُّهْرِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنِي ِإسْمَعِيلُ بْنُ أُمَيَّةَ سَمِعْتُ أَعْرَابِيًّا يَقُولُ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَرَأَ مِنْكُمْ { وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ } فَانْتَهَى إِلَى آخِرِهَا { أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ } فَلْيَقُلْ بَلَى وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِين…
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad az-Zuhriy (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Sufyan (ia berkata) telah menceritakan kepadaku Ismail bin Umayyah (ia berkata): aku mendengar seorang Badui (pedalaman) berkata: Aku mendengar Abu Hurairah berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa yang membaca wattiini waz zaytuun kemudian sampai pada akhirnya kalimat: alaysallaahu bi ahkamil haaakimiin, hendaknya ia mengucapkan : Balaa wa ana minasy syaahidiin…. (H.R Abu Dawud).
Di dalam sanad hadits itu terdapat seorang yang tidak diketahui dengan jelas siapa namanya, sehingga tidak diketahui pula siapa orangnya. Hanya disebut seorang Badui yang mengaku mendengar dari Abu Hurairah.
Contoh lain hadits yang tidak memenuhi kriteria perawinya semua adil dan dhobith adalah hadits berikut ini, yaitu hadits yang mengandung perawi yang lemah (tidak dhobith) dan majhul (tidak dikenal).
Hadits Ali tentang bersedekap di bawah pusar saat sholat dalam Sunan Abi Dawud:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَحْبُوبٍ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ إِسْحَقَ عَنْ زِيَادِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ مِنَ السُّنَّةِ وَضْعُ الْكَفِّ عَلَى الْكَفِّ فِي الصَّلَاةِ تَحْتَ السُّرَّةِ
(Abu Dawud as-Sijistaniy menyatakan) telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mahbuub (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats dari Abdurrahman bin Ishaq dari Ziyaad bin Zaid dari Abu Juhaifah bahwasanya Ali radhiyallahu anhu berkata: Termasuk Sunnah adalah meletakkan telapak tangan di atas telapak tangan dalam sholat di bawah pusar (H.R Abu Dawud)
Abdurrahman bin Ishaq (al-Waasithiy) lemah. Sedangkan Ziyaad bin Zaid majhul (menurut adz-Dzahabiy dalam Miizaanul I’tidal fii Naqdir Rijaal).
✅Kitab Referensi Biografi para Perawi Hadits
Para Ulama menulis karya-karya yang berisikan biografi (taraajum) para perawi hadits. Kitab tersebut ada yang mengkhususkan pada perawi yang terpercaya (tsiqoh) saja. Ada pula yang hanya berisikan perawi lemah dan yang ditinggalkan periwayatannya. Ada pula yang berisi kumpulan perawi baik yang lemah maupun yang terpercaya.
Berikut ini akan ditampilkan beberapa di antara karya para Ulama tersebut berdasarkan klasifikasi masing-masing.
☑Kitab biografi para perawi hadits khusus untuk yang terpercaya saja
1. ats-Tsiqoot karya Ibnu Hibban.
2. Ma’rifatus Tsiqoot karya Ahmad bin Abdillah bin Sholih Abul Hasan al-‘Ijliy
☑Kitab biografi para perawi hadits yang lemah dan ditinggalkan periwayatannya
1. adh-Dhu’afaa’ al-Kabiir karya al-Uqailiy.
2. adh-Dhu’afaa’ ash-Shoghir karya al-Bukhari.
3. adh-Dhu’afaa’ wal Matrukiin karya Ibnul Jauziy.
4. adh-Dhu’afaa’ wal Matrukiin karya anNasaai.
5. adh-Dhu’afaa’ karya Abu Nuaim al-Ashbahaaniy.
6. al-Majruuhiin karya Ibnu Hibban.
7. al-Mughniy fid Dhu’afaa’ karya Syamsuddin Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabiy.
☑Kitab biografi para perawi hadits baik yang terpercaya maupun tidak
1. al-Jarh wat Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim.
2. Tahdziibul Kamaal karya Yusuf bin az-Zakiy Abdurrahman Abul Hajjaaj al-Mizziy.
3. Taqriibut Tahdziib karya Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqolaaniy.
4. Miizaanul I’tidaal fii Naqdir Rijaal karya Syamsuddin Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabiy.
5. atTaariikh al-Kabiir karya al-Bukhariy.
(dikutip dari naskah buku “Mudah Memahami Ilmu Mustholah Hadits (Syarh Mandzhumah al-Baiquniyyah), Abu Utsman Kharisman)