Ditulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman
Apa yang Dimaksud dengan Junub/ Janabah?
Jawab:
Janabah secara bahasa artinya jauh.
Secara istilah, janabah adalah keadaan seseorang setelah mengeluarkan mani atau berhubungan seksual, yang mengharuskan mandi wajib.
Makna janabah secara bahasa tersebut memiliki keterkaitan dengan makna secara istilah, karena seseorang yang mengalami junub/ janabah sebelum mandi ia berada ‘jauh’ dari tempat –tempat peribadatan sholat.
Apa Saja yang Tidak Boleh Dilakukan Oleh Orang yang Junub?
Jawab:
Hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang junub adalah:
1.Sholat (Q.S al-Maidah:6).
2.Thowaf di Baitullah, sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas bahwa thowaf adalah seperti sholat kecuali di dalamnya boleh berbicara.
3.Memegang atau menyentuh mushaf al-Quran, sebagaimana dijelaskan pada pembahasan wudhu’.
4.Membaca al-Quran meski tanpa menyentuh mushaf.
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad menjelaskan bahwa hadits-hadits tentang larangan membaca al-Quran bagi seorang yang junub mengandung kelemahan, namun jika digabungkan bisa dijadikan sebagai hujjah (Syarh Sunan Abi Dawud li Abdil Muhsin al-Abbad (2/175)).
5.Tinggal/ berdiam diri di masjid.
Seseorang yang junub dilarang untuk berdiam diri di masjid, kecuali jika sekedar lewat. Seperti yang disebutkan dalam al-Quran:
وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا
Dan tidak boleh bagi seorang junub kecuali jika sekedar lewat, sampai ia mandi (Q.S anNisaa’:43)
Disebutkan dalam hadits:
فَإِنِّي لَا أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلَا جُنُبٍ
Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita haid dan orang yang junub (H.R Abu Dawud, dishahihkan Ibnu Khuzaimah, dihasankan Ibnul Qoththon, dilemahkan sebagian Ulama’)
Larangan berdiam diri di masjid bagi wanita haid dan orang yang junub ini adalah pendapat al-Imam Malik dan asy-Syafi’i (Syarhus Sunnah karya al-Baghowy (2/45)).
Namun, diperbolehkan bagi seseorang yang junub untuk berdiam di masjid jika ia berwudhu’.
عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَار ، قَالَ: رَأَيْتُ رِجَالًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْلِسُونَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمْ مُجْنِبُون؛ إِذَا تَوَضَّئُوا وُضُوءَ الصَّلَاةِ
Dari Atha’ bin Yasaar beliau berkata: Aku melihat para lelaki dari kalangan Sahabat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam duduk di masjid dalam keadaan junub jika mereka (terlebih dahulu) berwudhu sebagaimana wudhu’ sholat (H.R Said bin Manshur)
Apakah Seorang Wanita yang Mengikat Rambutnya Harus Mengurainya Saat Mandi Janabah?
Jawab:
Pada mandi janabah, seorang wanita tidak harus mengurai rambutnya yang terikat. Asalkan dipastikan air sampai pada pori-pori pangkal rambut.
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِي فَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ قَالَ لَا إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ
Dari Ummu Salamah beliau berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah wanita yang lebat rambutnya. Apakah aku harus mengurainya saat mandi janabah? Nabi bersabda: Tidak. Sesungguhnya cukup bagimu untuk menciduk air 3 kali cidukan di atas kepalamu kemudian engkau alirkan (air) ke sekujur tubuhmu, maka engkau akan suci, atau beliau bersabda: maka saat itu engkau menjadi suci (H.R Muslim)
Sedangkan pada mandi haid/ nifas, seseorang wanita hendaknya mengurai rambutnya yang terikat.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا وَكَانَتْ حَائِضًا انْقُضِي شَعْرَكِ وَاغْتَسِلِي (رواه ابن ماجه)
Dari Aisyah –radhiyallahu anha- bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda kepada beliau saat beliau haid: urailah rambutmu dan mandilah (H.R Ibnu Majah, asalnya dari riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Hanya saja hal itu tidak wajib, karena dalam hadits Asma’ yang diriwayatkan Muslim, Nabi tidak menyebutkan keharusan mengurai rambut saat Asma’ bertanya tentang tata cara mandi haid.
<
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ أَسْمَاءَ سَأَلَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ غُسْلِ الْمَحِيضِ فَقَالَ تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا حَتَّى تَبْلُغَ شُؤُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا الْمَاءَ ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا فَقَالَتْ أَسْمَاءُ وَكَيْفَ تَطَهَّرُ بِهَا فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ تَطَهَّرِينَ بِهَا فَقَالَتْ عَائِشَةُ كَأَنَّهَا تُخْفِي ذَلِكَ تَتَبَّعِينَ أَثَرَ الدَّمِ وَسَأَلَتْهُ عَنْ غُسْلِ الْجَنَابَةِ فَقَالَ تَأْخُذُ مَاءً فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ أَوْ تُبْلِغُ الطُّهُورَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ حَتَّى تَبْلُغَ شُؤُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تُفِيضُ عَلَيْهَا الْمَاء (رواه مسلم)
Dari Aisyah –radhiyallahu anha- bahwasanya Asma’ bertanya kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam tentang mandi haid. Nabi bersabda: Salah seorang dari kalian mengambil air dan daun bidara dan bersuci dengan sebaik-baiknya kemudian mengguyurkan air di atas kepalanya dan mengurutnya dengan keras hingga sampai pada pangkal rambutnya. Kemudian mengguyurkan air, kemudian ia mengambil kapas/ pembalut yang diberi wewangian kemudian membersihkan (kemaluannya) dengannya. Asma’ bertanya: Bagaimana bersuci dengannya. Nabi mengatakan: Subhanallah, bersuci dengannya. Aisyah mengatakan: sepertinya ia tidak memahaminya. Nabi menyatakan: hendaknya ia ikutkan bekas-bekas darah (haid). Asma’ juga bertanya kepada Nabi tentang mandi janabah. Nabi bersabda: Ia ambil air kemudian bersuci dengan sebaik-baiknya kemudian mengguyurkan air di atas kepalanya, kemudian mengurut bagian kepala hingga air sampai pada pori-pori pangkal rambut di kepala. Kemudian mengguyurkan air (ke sekujur tubuh) (H.R Muslim).
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni berpendapat bahwa mengurai rambut pada mandi haid itu tidak wajib.
Pembedaan antara mandi janabah dengan mandi haid bagi wanita tersebut berdasarkan pendapat al-Imam Ahmad. Sedangkan al-Imam asy-Syafi’i dalam al-Umm tidak membedakan antara mandi janabah dengan haid pada wanita.
Apakah Seseorang Ketika Junub Wajib untuk Segera Mandi?
Jawab:
Tidak wajib untuk bersegera mandi jika memang dalam waktu dekat ia tidak melakukan ibadah yang mengharuskan suci, seperti sholat atau membaca al-Quran dan semisalnya.
Contoh: jika seseorang junub setelah sholat Isya’, maka tidak harus baginya untuk bersegera mandi hingga ketika ia akan sholat. Baik sholat sunnah ataupun sholat wajib Subuh.
Nabi shollallahu alaihi wasallam tidak mengharuskan Abu Hurairah untuk bersegera mandi ketika bertemu dengan beliau. Abu Hurairah sendiri merasa tidak suka jika duduk bersama Nabi dalam keadaan tidak suci. Namun, sebenarnya Nabi tidak mengharuskannya. Nabi menyatakan: Subhaanallah, sesungguhnya seorang mukmin tidaklah najis (H.R al-Bukhari).
Ibnu Hajar al-Asqolaany menyatakan: di dalam hadits tersebut terdapat dalil bolehnya mengakhirkan mandi dari awal kewajibannya (Fathul Baari (1/391))
Hanya saja seseorang yang junub jika akan makan atau tidur disunnahkan (sebaiknya) berwudhu’ terlebih dahulu.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ جُنُبًا فَأَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ أَوْ يَنَامَ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ
Dari Aisyah –radhiyallahu anha- beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam jika beliau junub dan ingin makan atau minum beliau berwudhu sebagaimana wudhu dalam sholat (H.R Muslim)
Nabi shollallahu alaihi wasallam juga pernah tidur dalam keadaan junub tanpa berwudhu atau mandi. Hal itu menunjukkan boleh.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنَامُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَمَسَّ مَاءً
Dari Aisyah-radhiyallahu anha- beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam tidur dalam keadaan junub tanpa menyentuh air (sebelumnya)(H.R Abu Dawud, dishahihkan al-Albany)
Namun, keadaan junub tanpa mandi atau berwudhu’ tersebut semestinya tidak dilakukan sering. Karena Malaikat rahmat menjauh dari seorang yang junub, demikian juga kita akan kehilangan keutamaan tidur dalam keadaan suci (sebagaimana disebutkan pada bab Berwudhu’)
ثَلَاثَةٌ لَا تَقْرَبُهُمُ الْمَلَائِكَةُ: الْجُنُبُ، وَالْكَافِرُ، وَالْمُتَضَمِّخُ بِالزَّعْفَرَانِ
Ada 3 kelompok yang tidak didekati Malaikat: junub, kafir, dan seorang laki-laki yang memakai (minyak) za’faran (H.R atThobarony dari Ibnu Abbas dengan sanad yang shahih)
wa al ‘itisom