Fatwa Puasa Bagi Musafir

Fatwa Puasa Bagi Musafir

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Pertanyaan: Jika saya (penanya) dalam keadaan safar di bulan Ramadhan, kemudian berbuka di dalam perjalanan, maka ketika sampai di kota yang aku akan tinggal di dalamnya beberapa hari aku berpuasa pada sisa hari yang ada dan di hari yang berikutnya. Apakah ada keringanan bagiku untuk berbuka di waktu siang di hari-hari itu, sedangkan aku berada di kota yang bukan tempat tinggalku atau tidak ada keringanan?

Jawaban: Jika seorang musafir melewati sebuah kota yang bukan kotanya dan dia dalam keadaan berbuka, maka tidak mengapa baginya untuk tetap dalam keadaan berbuka apabila menetapnya di kota itu selama empat hari atau kurang. Adapun jika ia berkeinginan tinggal di kota tersebut lebih dari empat hari, maka hendaknya ia menyempurnakan puasa pada hari kedatangan / berada di kota itu dan menggantinya serta harus berpuasa di hari-hari berikutnya, karena dengan niatnya tersebut ia termasuk dihukumi sebagaimana orang yang mukmin dan bukan sebagai musafir.

Pertanyaan: Kami (penanya) sekelompok utusan yang ditugaskan ke negeri lain. Sebagian dari kami ada yang bertugas selama setahun dan yang lain dua atau tiga tahun, bahkan ada yang sampai empat tahun. Maka, apakah bagi kami terkena hukum sebagai musafir dalam berpuasa?

Jawaban: Dalam hal ini, para ulama dan jumhur berselisih pendapat. Di antaranya para imam yang empat berpendapat, bahwa mereka dihukumi sebagai orang mukim yang harus berpuasa dan tidak diperkenankan bagi mereka mengqashar shalat dan tidak pula mengusap kedua khuf-nya selama tiga hari, kecuali sehari semalam saja.

Sedangkan sebagian ahli ilmu mengatakan, bahwa mereka dihukumi sebagai musafir dan ini yang telah dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim dan dzahir dari nash-nashnya tidak membatasi masa waktu safarnya. Dan disebutkan pula, bahwa Ibnu ‘Umar pernah tinggal di Adzarbaijan selama enam bulan, beliau mengqashar shalatnya. Dan ini pendapat yang jelas rajih-nya. Akan tetapi bagi orang yang dalam dirinya ada keengganan dan memandang lebih baik untuk mengambil pendapat jumhur, yaitu menyempurnakan shalat dan kewajiban puasanya, dalam hal ini tidaklah mengapa dan ini yang kami berpandangan dan telah dirawikannya oleh Ibnu Taimiyah.

Pertanyaan: Manakah yang lebih utama bagi musafir berbuka atau berpuasa, khususnya safar yang tidak memberatkan, seperti safar dengan menggunakan pesawat terbang atau sarana modern lainnya?

Jawaban: Yang afdhal bagi orang berpuasa adalah berbuka di dalam safar secara mutlaq dan tidak ada larangan apabila ia tetap berpuasa. Karena Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam telah menetapkan kedua hal tersebut. Demikian pula para sahabat Radiyallahu ‘anhu, akan tetapi apabila panas menyengat dan perjalanan makin memberatkan, maka dalam hal ini berbuka bagi orang yang berpuasa sangat ditekankan, bahkan tidak disukai berpuasa bagi musafir (yang seperti ini keadaannya), karena Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam ketika melihat seseorang lelaki telah dipayungi di dalam safar karena kerasnya panas dan dia sedang berpuasa, beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Bukan merupakan kebaikan berpuasa di dalam safar.”

Dan terdapat juga riwayat, bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai orang yang mendatangi keringanan yang diberikan-Nya, sebagaimana Allah membenci orang yang mendatangi kemaksiatannya.” Dan di dalam lafadz: “Sebagaimana Allah menyukai didatanginya kemauannya yang teguh.”

Selanjutnya tidak ada perbedaan antara orang yang safar dengan menggunakan mobil atau onta atau kapal / perahu dan antara orang yang safar dengan naik pesawat terbang. Kesemuanya terkandung nama safar dan mendapatkan keringanan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mensyari’atkan untuk hamba-Nya hukum safar dan mukim di jaman Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dan juga untuk orang yang datang setelahnya sampai hari kiamat. Dan Dia Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui segala yang akan terjadi dengan perubahan keadaan dan beranekaragamnya sarana bepergian. Dan seandainya berbeda hukumnya, pastilah Allah akan memperingatkan kita. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami, bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (Q.S. An Nahl: 89).
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.” (Q.S. An Nahl: 8).

Rujukan:
1. Fatawa Islamiyyah li Majmu’atin minal Ulama Al Afaadhil, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Jibrin.
2. Fatawa Muhimmah Tata’allaq bish Shiyaam, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.
3. Suaal ‘an Ahkaamil Haidh fish Shalah wash Shiyaam wal Haj wal I’timar, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
(Sumber: “Tuntunan Ibadah Ramadhan & Hari Raya” halaman 172-173, penerbit Maktabah Salafy Press, September 2002)

Shaum bagi musafir yang berniat tinggal dalam waktu lama
Soal: Apa hukumnya shaum bagi musafir yang dia berniat untuk tinggal dalam waktu tertentu, seperti sebulan misalnya?
Jawab: Apabila ia berniat melebihi 20 hari maka hendaklah ia shaum dan tidak dianggap sebagai musafir. Dan barangsiapa yang mengatakan bahwa ia dianggap sebagai musafir maka telah menyelisihi keumuman manusia dan makna secara bahasa dari makna kata ‘safar’. Sedangkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam beliau tinggal di Tabuk selama 19 hari dan berkata Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu , “Apabila kami menetap setelah itu maka kami menyempurnakan shalat.” Yang berarti bahwa kami tidak lagi sebagai musafir dan ini adalah pendapat (ijtihadnya) Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu . Akan tetapi ini yang lebih dekat, insya Allah Ta’ala.

(Sumber: “Koreksi Amaliyah Ramadhan”, Kumpulan 44 Fatwa Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i halaman 57-58, Pustaka Ats TsiQaat Press, Oktober 2002)