HADITS KELIMA
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ : « لا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لا يَجْرِي , ثُمَّ يَغْتَسِلُ مِنْهُ »
وَلِمُسْلِمٍ : « لا يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ ».
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian kencing pada air yang tidak mengalir, lalu mandi darinya.” [HR. Al Bukhari dan Muslim, ini adalah lafadz Al Bukhary]
Dalam riwayat muslim: “Janganlah salah seorang di antara kalian mandi dalam air yang menggenang (diam), sedang dia dalam keadaan junub.”
Faedah yang terdapat dalam Hadits:
1. Dilarang kencing pada air yang menggenang (tidak mengalir), baik airnya sedikit maupun banyak.
Adapun dari sisi hukumnya maka para ulama berselisih pendapat:
Madzhab Malikiyah berpendapat makruh, baik airnya sedikit maupun banyak.
Madzhab Syafi’iyah berpendapat haram jika airnya sedikit. Adapun jika airnya banyak maka makruh.
Madzah Hanabilah dan Dzahiriyah berpendapat haram, baik airnya sedikit maupun banyak.
Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat terakhir. Haram bagi seseorang kencing pada air yang menggenang, baik airnya sedikit maupun banyak. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh An Nawawy, Al Qurthuby, Ash Shan’any, Syekh Al Albany dan juga Syekhuna ‘Abdurrahman Al ‘Adeny.
Dalil dalam masalah ini hadits Abu Hurairah diatas dan juga hadits Jabir:
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُبَالَ فِي الْمَاءِ الرَّاكِدِ
“Dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau melarang kencing pada air yang menggenang.” [HR. Muslim]
Hukum asal sebuah larangan dalam Al Quran maupun Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah menunjukan keharaman pada hal tersebut.
Catatan: jika air yang menggenang melimpah ruah yakni banyak sekali seperti danau, maka jumhur ulama berpendapat tidak mengapa kencing pada air tersebut. Karena air yang melimpah ruah tersebut tidak akan ternajisi dengan air kencingnya.
Masalah: Bagaimana dengan hukum air yang sudah terkencingi tadi? Apakah dia najis ataukah suci?
Jika airnya banyak, kemudian jatuh kedalam air tersebut benda najis, maka apabila benda najis tersebut merubah salah satu sifatnya (warna, bau, atau rasanya) maka air tersebut dihukumi najis.
Jika airnya banyak, kemudian jatuh kedalam air tersebut benda najis, namun tidak berubah salah satu sifatnya, maka air tersebut dihukumi suci.
Jika airnya sedikit, kemudian jatuh kedalam air tersebut benda najis, maka apabila benda najis tersebut merubah salah satu sifatnya maka air tersebut dihukumi najis.
Tiga gambaran diatas adalah perkara yang telah disepakati oleh para ulama.
Masalah: Sekarang, jika benda najis tersebut jatuh kedalam air yang sedikit, misalnya cuma satu ember atau satu bak kecil, namun tidak merubah salah satu sifatnya, apakah air tersebut najis ataukah suci?
Disini para ulama berbeda pendapat.
Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah jika air tersebut tidak berubah salah satu sifatnya maka air itu tetap suci. Ini adalah pendapat Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Al Hasan Al Bashri, Ibnul Musayyib, Ats Tsaury, Dawud, Imam Malik dan Imam Al Bukhary. Dan pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Ash Shan’any, Asy Syaukany, Syekh Bin Baz, Syekh Al ‘Utsaimin dan juga Syekhuna ‘Abdurrahman Al ‘Adeny.
Dalil mereka:
a. Hadits Abu Sa’id Al Khudry berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْمَاءُ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
“Air itu suci, tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya.” [HR. Abu Dawud, An Nasai dan At Tirmidzy, dishahihkan oleh Syekh Al Albany]
b. Hadits Anas, berkata:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ
“Seorang ‘Arab badui datang lalu kencing di sudut Masjid, maka orang-orang pun ingin mengusirnya, tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mereka. Setelah orang itu selesai dari kencingnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam minta setimba air lalu menyiram pada bekasnya.” [HR. Al Bukhary dan Muslim]
Sisi pendalilan dari hadits ini: Setimba air jika ditumpahkan ke bekas air kencing dan tidak lagi meninggalkan bekas najis, maka sungguh telah mensucikannya.
✒ Kesimpulan: Tidak dibedakan antara air sedikit maupun banyak, kapan saja benda najis jatuh kedalam air kemudian merubah salah satu sifatnya maka air tersebut dihukumi najis. namun jika tidak merubah salah satu sifatnya maka dihukumi suci.
Masalah: hukum berak pada air yang menggenang?
Berkata Imam An Nawawy: “Berak pada air tersebut hukumnya seperti kencing pada air tersebut, bahkan lebih jelek. Demikian juga jika kencing pada sebuah bejana kemudian dituangkan pada air (yang menggenang) tersebut, atau kencing disungai yang kecil yang mana air kencingnya mengalir padanya, maka semua ini tercela, buruk dan dilarang.”
2. Larangan mandi dalam air yang menggenang, sedang dia dalam keadaan junub yaitu dengan cara berendam didalamnya. Ini adalah perbuatan yang haram. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hazem, dan pendapat ini dipilih oleh Asy Syaukany dan juga Syekhuna ‘Abdurrahman Al ‘Adeny. Karena hukum asal sebuah larangan dalam islam adalah menunjukan keharaman, sampai ada dalil yang memalingkan hukum ini kepada hukum makruh.
3. Barangsiapa yang menyelisihi larangan ini maka mandinya tetap sah. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam, Asy Syaukany dan Syekhuna ‘Abdurrahman Al ‘Adeny.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa [21/46]: “Larangan mandi dalam air yang menggenang, terkadang disebabkan karena bisa membuat orang lain jijik terhadap air tersebut, bukan karena air itu menjadi najis, bukan pula karena menjadi air bekas (yang tidak bisa untuk mensucikan), karena telah datang dalam hadits yang shahih: “Sesungguhnya air itu tidak junub (tidak najis).” [HR. Ashab As Sunan, dishahihkan oleh Syekh Al Albany]
Dan hal ini juga ditunjukan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudry yang telah lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
« الْمَاءُ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
“Air itu suci, tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya.” [HR. Abu Dawud, An Nasai dan At Tirmidzy, dishahihkan oleh Syekh Al Albany]
4. Orang yang junub, hendaknya ketika mandi dengan cara menciduknya, bukan berendam dalam air yang menggenang tersebut. Sebagaimana yang ditunjukan dalam hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
« لَا يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ »، فَقَالَ كَيْفَ يَفْعَلُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟ قَالَ: يَتَنَاوَلُهُ تَنَاوُلًا
“Janganlah salah seorang di antara kalian mandi dalam air yang menggenang (diam), sedang dia dalam keadaan junub.” Seseorang lalu bertanya, “Apa yang mesti dia perbuat wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab, “Hendaklah dia dengan menciduk (untuk menyiramkannya).” [HR. Muslim]
Catatan: Apabila airnya melimpah ruah seperti danau atau airnya mengalir seperti sungai yang besar maka tidak mengapa bagi orang yang junub untuk mandi berendam didalamnya. Karena keadaan junubnya tidak berpengaruh pada orang lain yang akan menggunakan air tersebut. Namun jika air yang menggenang tersebut tidak sampai melimpah ruah maka masuk dalam larangan diatas. Wallahu ‘alam.
5. Dijelaskan oleh Syekhuna ‘Abdurrahman Al ‘Adeny: “Barangsiapa yang kencing pada air yang menggenang, maka tidak boleh baginya mandi dan juga berwudhu dengan air tersebut, meskipun dengan cara menciduknya. Hal ini sebagai hukuman atas perbuatannya. Sebagaimana yang ditunjukan dalam hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
« لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ مِنْهُ »
“Janganlah salah seorang di antara kalian kencing di air yang menggenang kemudian dia mandi darinya.” [HR. Al Bukhary dan Muslim]
Dalam riwayat lain:
« لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ مِنْهُ »
“Janganlah salah seorang di antara kalian kencing di air yang menggenang kemudian dia berwudhu darinya.” [HR. At Tirmidzy, An Nasai dan Abu ‘Awanah, dishahihkan oleh Syekh Al Albany].”
Wallohu a’lam wal muwaffiq ila ash showab.
[✏ ditulis oleh Abu ‘Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy_12 Muharram 1435/16 Nov 2013_di darul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah ]