Evolusi bid’ah dari masa ke masa

Evolusi bid’ah dari masa ke masa

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

Para pembawa bendera bid’ah dan kesesatan seakan tak pernah sirna mewarnai kehidupan ini, mereka tak henti-hentinya berganti cerita di hadapan ummat yang minim akan pengetahuan agamanya, kaum awam inilah yang kemudian menjadi sasaran empuk gerombolan para penjahat agama itu bak ladang subur yang siap untuk dibombardir pemikiran-pemikiran dan faham yang bukan berasal dari Islam alias tidak jelas asal-usulnya.

Ancaman regenerasi para penjahat agama adalah ancaman yang serius bagi Islam dan muslimin terlebih di era kebodohan ini.
Tidak diragukan bila masa-masa nubuwwah adalah masa kejayaan dan kesempurnaan dimana kebid’ahan dan kesesatan tak lagi ada di hati manusia, bahkan para aktivisnya pun terisolasi tiada daya menahan dahsyatnya gelombang petunjuk yang dibawa oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman (yang artinya), “Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap.” (QS Al Anbiyaa`: 18).

Semua ini menunjukkan semakin dekatnya satu generasi dari umat ini kepada masa nubuwwah semakin dekat pula kepada kebenaran, sebaliknya semakin jauh dari masa nubuwwah semakin jauh pula generasinya dari kebenaran. Tepatlah bila Imam Malik mengatakan, “Tidak akan menjadi baik generasi umat yang terakhir ini kecuali dengan apa yang telah menjadikan baik generasi pertamanya.” (Lihat At Tamhid – Ibnu Abdil Bar).

BID’AH DARI MASA KE MASA
Bid’ah yang pertama kali lahir di tengah-tengah umat adalah bid’ah khawarij. Khawarij adalah bentuk dari kata “khorij” artinya orang yang keluar. Awal mula munculnya bid’ah ini adalah ketika Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam sedang membagi-bagikan harta, tiba-tiba datang seorang laki-laki dari Bani Tamim yang dikenal dengan sebutan Dzul Khuwaisiroh dan berkata, “Berbuat adillah wahai Muhammad!” Kejadian ini menjadi saksi sepanjang sejarah tentang bagaimana pertama keluar dan berpaling dari syariat Islam, dimana Dzul Khuwaisiroh tidak puas dengan keputusan Nabi, akhirnya dia keluar dari ketaatan terhadapnya.

Fitnah yang timbul dari bid’ah ini semakin besar, terutama di masa akhir pemerintahan Utsman rodhiyallahu ‘anhu adanya orang-orang yang memberontak dan keluar dari ketaatan terhadapnya, bahkan sampai mengakibatkan beliau terbunuh. Lain lagi ketika Ali rodhiyallahu ‘anhu diangkat sebagai khalifah setelah Utsman, mereka mengkafirkan Ali dengan bersenandung yel yel “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah”. Kalimat yang hak, namun yang diinginkan darinya adalah batil, akhirnya pemerintahan Ali pun memberangus gerakan mereka.

Dari peristiwa-peristiwa ini, maka dikenallah sebutan kelompok Khawarij pengikut Dzul Khuwaisiroh. Pemikiran Khawarij ini terus berkembang selaras dengan berlalunya masa dan bergantinya generasi meski bermetamorfose dalam bentuk dan dalam nama yang lain. Pemikiran Khawarij sampai saat ini ada walau penggagasnya telah tiada.

Yang menjadi ciri khas mewarnai pemikiran Khawarij sepanjang sejarah yang kemudian diusung oleh para reformernya dewasa ini adalah:
1. Takfir – mudah mengkafir-kafirkan kaum muslimin, apalagi yang tidak seideologi dengannya – padahal ini adalah perkara yang berbahaya, pengkafiran adalah hak prerogatif Allah dan RosulNya, tidak bisa mengatakan si fulan kafir kecuali bila terpenuhi syarat-syaratnya dan hilangnya hal-hal yang mencegahnya untuk dikafirkan.
2. Memberontak atau keluar dari ketaatan (secara mutlak) terhadap penguasa muslim yang tidak berhukum dengan hukum Allah, kemudian mengkafirkannya (secara mutlak) dan mengkafirkan orang-orang yang berada di bawah kekuasaan penguasa tersebut.
Pemberontakan yang ditempuhnya melalui dua sektor. Sektor pemikiran yakni teror pemikiran, menyebarkan fikrah Khawarij dengan cara yang diplomatis. Sasaran utamanya adalah para pemuda, karena mereka sangat rentan untuk disulut semangatnya, menumbuhkan kebencian kepada pemerintah yang sah, semangat revolusi, pendirian daulah Islamiyyah, dan lain-lain. Yang keduanya lewat sektor fisik, yakni teror fisik, di antaranya dengan membuat kekacauan dengan gaya-gaya irhabi (terorisme), merusak instalasi-instalasi milik pemerintah, pengeboman di sejumlah tempat – tak peduli meski kaum muslimin yang menjadi korban, memanfaatkan instabilitas pemerintahan, dan seterusnya.

Salah seorang tokoh reformer faham Khawarij adalah Sayyid Qutb, banyak kalangan aktivis Islam saat ini yang terpengaruh dengan fahamnya, lewat doktrin-doktrin yang sangat tajam dari sejumlah karya dan tulisan-tulisannya yang mengarah kepada pengkafiran secara umum (tanpa memerinci) terhadap semua orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, ia mengatakan, “Sesungguhnya siapa yang mentaati manusia dalam undang-undang yang dibuatnya sendiri -biarpun pada sebagian kecilnya- maka dia telah musyrik! Dan kalaupun pada asalnya muslim, jika dia melakukannya (taat terhadap undang-undang itu) maka dia telah keluar dari Islam menuju kesyirikan pula, sekalipun setelah itu ia tetap mengatakan “Asyhadu allaa ilaaha illallaah” (Fi Zhilalil Qur`an: 3/1198).

Yang benar tentu tidak demikian, telah diketahui secara umum bahwa siapa yang mentaati seorang musyrik, yakin dan membenarkan segala ucapannya, maka dia musyrik. Adapun taat dalam hal perbuatan saja sedang keyakinannya / aqidahnya lurus, maka ini kemaksiatan bukan kesyirikan.
Tidak ragu bahwasanya hukum hanyalah milik Allah saja, inilah yang menjadi aqidah dan agama kita. Akan tetapi Allah jadikan waliyyul amri / penguasa bagi kaum muslimin yang akan mengayomi kemaslahatan-kemaslahatannya, mengharuskan taat kepada mereka dalam hal yang ma’ruf. Allah berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah (RosulNya) dan ulil amri di antara kamu.” (QS An Nisaa`: 59).

Pada halaman lainnya ia (Sayyid Qutb) berkata, “Semoga engkau jelas dari apa yang telah kami sisipkan tadi, bahwa jihad yang utama di dalam Islam adalah menghancurkan sistem undang-undang yang bertentangan dengan sumbernya, kemudian menegakkan hukum yang dibangun di atas kaidah Islam pada tempatnya. Inilah tugas utama mengadakan revolusi Islam secara umum / serempak.” (Zhilaalul Qur`an: 3/1451).

Ucapannya ini jelas-jelas provokasi yang mengarah kepada pemberontakan dan penggulingan suatu pemerintahan, tentu bagi orang yang berakal tidak akan luput apa akibat dari ini semua?! Sejarah Islam menjadi bukti dan apa yang ada / terlihat di sekitar kita ikut pula menjadi bukti, bahwa akhir dari sebuah revolusi pemberontakan adalah fitnah, fitnah yang semakin besar.

Makanya para ulama dari dulu telah mewanti-wanti akan bahayanya pemberontakan ini, Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Tidak dihalalkan memerangi penguasa tidak pula memberontak padanya karena seruan seseorang, siapa yang melakukan hal itu, maka ia seorang mubtadi’ (ahli bid’ah) tidak berjalan di atas sunnah dan petunjuk.” (Syarh Ushul I’tiqod Ahlussunnah wal Jama’ah 1/181). Al Imam Nawawi berkata, “Adapun memberontak dan memerangi mereka (penguasa), maka haram dengan kesepakatan kaum muslimin, meskipun mereka fasiq, zhalim. Telah banyak hadits-hadits yang semakna dengan apa yang kusebutkan, serta ahlus sunnah bersepakat tentang tidak bolehnya melepaskan ketaatan kepada penguasa karena kefasikan.” (Syarh Shohih Muslim: 12/229).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hampir setiap orang yang memberontak kepada pemimpin yang memiliki kekuasaan, melainkan hasil dari pemberontakannya itu adalah kerusakan yang lebih besar daripada kebaikannya, seperti pemberontakan yang terjadi pada pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah di Madinah (dimana bala tentaranya Yazid menyikat habis para pemberontaknya, membunuh kaum laki-lakinya dan merenggut kehormatan wanita-wanitanya… dan seterusnya), pemberontakan Ibnul Asy’ats pada pemerintahan Abdul Malik di Irak (dan sejumlah pemberontakan-pemberontakan lainnya, -pent.) (Lihat Minhajus Sunnah: 4/527-528).

Berkata Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, “Sesungguhnya kejelekan tidak akan mendatangkan kebaikan dan wasilah yang jelek tidak akan pernah menjadi jalan perbaikan selama-lamanya…” (Dari At Tahdzir minat Tasarru’ fit Takfir: 48).

Para pembaca, demikian itulah selayang pandang ikhwal Khawarij kelompok pertama yang menyimpang dari Islam, bahaya gerakannya akan terus mengancam kaum muslimin, sangat sedikit pemerintahan yang muslim yang selamat dari pengkafirannya.

Kemudian di masa-masa akhir generasi para shahabat, muncullah bid’ah yang baru setelah Khawarij, yakni bid’ah indeterminisme (Qodariyyah) yang dijuluki dengan Majusi umat ini. Abdullah ibnu Umar, Ubadah bin Shamit, Jabir bin Abdillah, Abdullah ibnu Abi Aufa dan sejumlah sahabat lainnya menjumpai mereka.

Orang yang mula-mula berbicara dengan bid’ah Qodariyyah ini adalah Ma’bad Al Juhaniy. Diriwayatkan dari Muhammad bin Syu’aib dari Al Auza’i bahwa yang pertama kali membawa bid’ah Qodariyyah ini adalah seorang laki-laki dari penduduk Irak yang dipanggil dengan nama “Susan”, ia seorang Nasrani lalu masuk Islam kemudian kembali jadi Nasrani. Ma’bad Al Juhaniy mengambil bid’ah ini darinya.

Ia (Ma’bad Al Juhaniy) dan para dedengkotnya mengatakan perbuatan-perbuatan hamba tidak diketahui oleh Allah, tidak tertulis di Lauhul Mahfuzh dan Allah tidak mengetahui apa yang akan diperbuat hamba kecuali bila telah terjadi perbuatan itu. Adapun para pengikut-pengikutnya yang muncul belakangan ini, menjadi aktor gerakannya, mereka mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak mentakdirkan perbuatan-perbuatan hamba dan tidak di bawah kehendakNya, tidak pula perbuatan hamba diciptakan oleh Allah. (Lihat Al Farqu bainal Firaq: 19, Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah: 448).

Adapun bedanya antara para penggagasnya, pendahulunya dengan para reformisnya dewasa ini adalah kalau pendahulunya mereka mengingkari ilmu Allah dan penulisan taqdir di Lauhul Mahfuzh, sedang para reformisnya mengakui ilmu Allah dan penulisan taqdir, namun mengingkari kehendak bagi Allah dan mengingkari kalau perbuatan hamba itu diciptakan Allah -alias makhluk bagi Allah- demikian itulah kelompok Qodariyyah dulu dan sekarang, dulu di kandang singa sekarang terperangkap di kandang serigala.

Abdullah ibnu Umar dan para sahabat lainnya yang menyaksikan dan mengetahui bid’ahnya Qodariyyah, mereka berlepas diri darinya dan memperingatkan ummat dari kesesatannya, mewasiatkan agar jangan menyolati jenazah seorang pun dari mereka, dan jangan menjenguk yang sakitnya dari kalangan mereka. (Al Farqu bainal Firaq: 18-20).

Sikap tegas para sahabat dalam membendung lajunya gerakan bid’ah Qodariyyah ini sangat nampak, mereka para pionir dalam membela Al Haq dan melumatkan kebatilan untuk kemudian menjadi contoh bagi generasi kita dalam hal ini, mereka tak mengenal basa-basi dalam menegakkan Al Haq, sepatutnya menjadi teladan generasi kita yang kebanyakan terbawa perasaan dan suka yang basi-basi.
Nampaknya nilai sikap tegas dari setiap kebatilan itu menjadi ideologi yang baku.

Inilah beliau Ibnu Umar, tatkala beliau mendengar adanya sekelompok orang yang berpemahaman Qodariyyah, dengan lugasnya ia berkata, “Sampaikan kepada mereka, bahwa aku berlepas diri dari mereka, dan mereka pun berlepas diri dariku. Demi Allah, jika salah seorang dari mereka berinfaq dengan emas sebesar gunung Uhud, niscaya hal itu tidak bermanfaat bagi mereka hingga beriman dengan taqdir.” (HR Muslim Abu Daud dan lainnya).

Generasi mayoritas para sahabat telah berlalu, namun kebid’ahan masih menyisakan babak yang baru. Bid’ah yang muncul di kurun kedua ini adalah bid’ah Al Irja` yang kemudian para pelakunya lebih dikenal dengan kelompok Murji`ah. Mayoritas kalangan para tabi’in dan sebagian kecil dari kalangan para sahabat yang masih ada menjumpai mereka.
Al Murji`ah adalah isim fa’il (dalam bahasa Arab) dari kata “arja`a” yang bermakna “akhara” (mengakhirkan). Orang-orang yang dicap berpemahaman Murji`ah titik tolak pemikirannya adalah melebihkan perhatiannya terhadap dalil-dalil yang berisikan harapan (roja`) hingga pada akhirnya seolah-olah menganggap tidak ada dalil-dalil yang memuat ancaman (wa’iid).

Selain daripada itu, mereka yang dicap sebagai Murji`ah adalah karena prinsipnya yang aneh dan nyeleneh, dimana mereka mengakhirkan amalan dari definisi iman, artinya bahwa amalan tidak ada sangkut pautnya dengan keimanan, iman adalah pengakuan dalam hati saja. Walhasil, para pelaku dosa besar seperti pezina, pencuri, pemabuk, perampok, menurut mereka, tidak berhak untuk masuk neraka baik untuk selama-lamanya ataupun sementara waktu, semua kemaksiatannya besar atau kecil tidak akan membahayakan iman, selama tidak sampai kepada kekufuran, yang taat dan maksiat keimanan mereka sama, wal ‘iyadzubillah. (Lihat Al Farqu bainal Firaq halaman 202, Syarh Aqidah Al Wasithiyyah 365).

Tentu saja pemahaman dan cara berpikir mereka keliru, menyelisihi nash-nash Kitab dan Sunnah yang sarat dengan penyebutan bahwa iman meliputi ucapan, keyakinan, dan amalan atau disimpelkan oleh istilah para ulama iman adalah ucapan dan amalan bertambah dan berkurang, lagi pula faham mereka tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak dikenal oleh seluruh para sahabat.

Berkata Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah: “Adalah ijma’ (kesepakatan) dari kalangan para sahabat dan tabi’in setelahnya serta orang-orang yang telah kami jumpai, semua mengatakan “Iman adalah ucapan, amalan, dan niat” (Majmu’ul Fatawa: 7/209 dari Taisirul Wushul: 76-77).
Berkata Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid 9/237, “Ahlul fiqh dan hadits bersepakat bahwa iman adalah ucapan dan amalan, dan tidak ada amalan kecuali dengan niat, serta iman bertambah dan berkurang.” (Dari Taisirul Wushul: 77).

Al Imam Al Barbahary berkata, “Siapa yang mengatakan bahwa iman adalah ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang, maka ia telah terbebas dari faham Irja` (Murji`ah) secara total, awalnya dan akhirnya.” (Syarhus Sunnah no. 159 halaman 128-129).
Kelompok Murji`ah tak jauh beda dengan ahlul bid’ah lainnya, yang pasti ciri khasnya berpecah belah. Allah berfirman,

Åöäøó ÇáøóÐöíäó ÝóÑøóÞõæÇ Ïöíäóåõãú æóßóÇäõæÇ ÔöíóÚðÇ áóÓúÊó ãöäúåõãú Ýöí ÔóíúÁò
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka.” (QS Al An’aam: 159).

Setidaknya ada dua aliran besar yang mengibarkan faham Murji`ah, satu di antaranya disebut dengan Murji`ah Qodariyyah yang dikampanyekan oleh tokoh-tokoh kondangnya seperti Abu Syamr, Muhammad ibnu Syabib, Ghailan, dan Shalih Qubbah. Kelompok ini adalah kelompok yang paling kufur di antara aliran yang berhaluan Murji`ah karena menyatukan antara dua kesesatan yakni Qodar dan Irja`.

Aliran lainnya terpecah menjadi lima, lain ladang lain belalang, lain pimpinan lain pula pemahaman, di antara lima aliran itu adalah:
1. Kelompok Yunusiyyah, pimpinan Yunus bin ‘Aun yang menyatakan bahwa iman ada di dalam hati dan lisan, yakni ma’rifat kepada Allah. Kelompok ini berpendapat bahwa sifat atau ciri-ciri keimanan, tidaklah dikatakan iman tidak pula dikatakan sebagian daripada iman.
2. Kelompok Ghosaniyyah, pimpinan Ghosan Al Murji` yang berpendapat bahwa iman adalah ikrar atau kecintaan kepada Allah, mengagungkanNya serta meninggalkan bersikap sombong terhadapNya. Menurutnya pula iman akan bertambah dan tidak akan berkurang.
3. At Tumaniyyah, pengikut Abu Mu’adz At Tumani yang menyatakan bahwa iman itu yang memelihara dari kekufuran, iman adalah sebuah nama bagi sifat-sifat atau ciri keimanan dimana siapa yang meninggalkan salah satu ciri darinya, maka telah kafir.
4. Ats Tsaubaniyyah, kelompok ini dipimpin oleh Abu Tsauban Al Murji`, pemahamannya adalah bahwa iman itu ikrar, ma’rifat kepada Allah dan RosulNya dan kepada setiap apa yang dituntut oleh akal untuk mengerjakannya, bila akal tidak menuntut untuk mengerjakan maka ma’rifat dengannya bukan bagian dari iman.
5. Kelompok Al Mirisiyyah, kelompok yang berhaluan Murji`ah dari negeri Baghdad pengikut Bisyr bin Ghiyats Al Mirisi, yang mengatakan bahwa Al Qur`an adalah makhluk. Dia juga mengatakan bahwa iman adalah pembenaran dengan hati dan lisan. (Lihat Al Farqu bainal Firaq 202-207).

Para pembaca, wali-wali Allah yang tampil sebagai pembela agamaNya tidak akan pernah surut dan lenyap, meski gempuran para wali syaithan datang bertubi-tubi dengan beragam senjata kesesatan dan kebid’ahan. Allah berfirman,

ÅöäøóÇ äóÍúäõ äóÒøóáúäóÇ ÇáÐøößúÑó æóÅöäøóÇ áóåõ áóÍóÇÝöÙõæäó
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur`an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS Al Hijr: 9). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

áÇó ÊóÒóÇáõ ØóÇÆöÝóÉñ ãöäú ÃõãøóÊöí ÙóÇåöÑöíäó Úóáóì ÇáúÍóÞøö
“Akan tetap ada sekelompok dari umatku mereka nampak di atas kebenaran.” (HR Muslim dari Tsauban).
Para tabi’in dan sebagian sahabat yang masih ada, mereka membantah habis syubhat-syubhat yang dibawa kaum Murji`ah. Ancaman regenerasi bid’ah ini sangat serius, terlebih di saat para pengusungnya berganti busana sehingga tak mudah untuk dikenali, tetapi perubahan busana ataupun nama tidak akan merubah hakikatnya.

Bid’ah-bid’ah yang telah lewat penyebutannya ternyata berbuntut, hingga setelah bid’ah Murji`ah, lahirlah bid’ah I’tizal. Bermula dari sebuah majlis ilmu yang dipimpin oleh Imam Al Hasan bin Yasar Al Bashri, didapati adanya dua orang yang membawa pemahaman menyimpang. Kedua orang itu adalah Washil bin ‘Atha` Al Bashri yang memproklamirkan faham baru, bahwa adanya satu kedudukan di antara dua kedudukan (al manzilah baina manzilatain), menurutnya orang yang fasiq menempati kedudukan tersendiri, bukan mu`min bukan pula seorang yang kafir.

Adapun keduanya adalah Amr bin Ubaid Al Bashri, ia berhaluan faham Qodariyyah, masing-masing menyimpang dari nash dan menuju akal.
Mereka berdua kemudian diusir dari majlisnya Hasan Al Bashri, akhirnya merekapun memisahkan diri bersama kebid’ahannya dari jalan Al Haq. Washil bin Atha` lalu menjadi pimpinan utama bid’ah I’tizal ini, dari peristiwa-peristiwa inilah maka lahir sebutan Mu’tazilah bagi gerakan Washil bin Atha` dan para pengikutnya. (Al Farqu bainal Firaq 20-21, lihat juga halaman 118-120).

Bid’ah ini terus merangsek dan berkembang di kalangan para adzkiyaa`, cendekiawan, dan ilmuwan, sampai akhirnya muncul sekumpulan kaum yang pinter namun keblinger, mereka mengelukan bahwa akal mempunyai peran yang independen di samping wahyu bahkan akal dinomorwahidkan di atas segalanya. Bila dibahasakan keadaan mereka di saat sekarang, mereka itu adalah kaum rasionalis sebuah pergeseran nama dari yang dulunya, yakni Mu’tazilah.

Kaum itu menyatakan pelaku dosa besar, ia bukan seorang mu`min -persis seperti ucapan Khawarij- namun bukan pula kafir, -mirip dengan ucapan Murji`ah- akan tetapi ia berada di manzilah baina manzilatain (di satu kedudukan di antara dua kedudukan), ibarat seorang yang mengadakan satu perjalanan dari kotanya menuju kota lainnya, maka ia berada di tengah jalan yang bukan di kotanya bukan juga di kota yang ia tuju tetapi ia berada di manzilah baina manzilatain. (Insya Allah bersambung).

(Sumber : Bulletin Al Wala’ wal Bara’ Edisi 33 & 34 Tahun ke 2. URL http://salafy.iwebland.com/fdawj/awwb/read.php?edisi=33&th=2 dan http://salafy.iwebland.com/fdawj/awwb/read.php?edisi=34&th=2.)