Hal-hal yang mengiringi masalah besar ini ialah bahwa tidak semua orang yang mengaku mengikuti sunnah, diterima pengakuannya. Tetapi harus (dibuktikan pengakuan itu) dengan ittiba’nya kepada sunnah baik sebagai hujjah maupun dalam pendalilan.
Maka sebagian orang ada yang berdalil dengan sunnah dalam keadaan men-tahriif-nya, atau mentakwil dengan interpretasi yang menyimpang jauh dari pemahaman salaf. Ada pula diantara mereka yang menganggap suci akal pikirannya dan menempatkannya sebagai hakim pemutus terhadap sunnah bahkan menentangnya.
Pensyarah Ath Thahawiyah mengatakan:
“Masing-masing kelompok dari bid’ah-bid’ah yang ada menghadapkan nash-nash Al-Quran dan as Sunnah kepada bid’ah mereka. Jika dianggapnya sebagai sesuatu yang ma’qul (masuk akal) dan sesuai dengan keyakinannya, maka dikatakannya nash tersebut muhkam (pasti, tidak bisa ditakwil) lalu dia terima serta berhujjah dengannya. Dan apabila tidak sesuai dikatakannya mustasyabih (tidak jelas ma’nanya), lalu ditolak dan penolakan itu dinamakannya tafwiidl. Atau mentahriif nash-nash tersebut, yang mereka istilahkan sebagai takwil. Mereka memahami berita tentang sifat-sifat Allah tidak sebagaimana yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Bahkan tidak pula salah seorang dari imam-imam islam.”
Di antara mereka ada yang menjadikan tanda-tanda al haq menurut dia adalah hawa nafsu dan fanatik terhadap tokoh atau ra’yu (pendapat, pemikiran) tertentu yang menyimpang. Dan dalam hal ini Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan mengatakan:
“Sebagaimana dimaklumi bahwa al haq tidak akan diterima kecuali oleh orang yang betul-betul mencarinya. Adapun ahli bid’ah, hati mereka dipenuhi oleh kesesatan dan bid’ah yang mereka tenggelam padanya. Mereka membantah dengan yang batil untuk melenyapkan yang haq.”
Orang-orang yang tenggelam dalam kebatilan, tidaklah berdalil dengan Al Quran dan as sunnah melainkan karena pegangan di dalam batin mereka adalah pemahaman guru-guru mereka yang diikuti dengan fanatik.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan:
“Ketika muncul berbagai perpecahan dan perselisihan, maka jadilah orang-orang yang berpecah belah itu berkelompok-kelompok. Pegangan mereka di dalam batin bukanlah Al Quran dan As Sunnah serta iman. Tetapi prinsip yang dibuat-buat oleh para guru (tokoh) mereka.”
Ada di antara mereka yang buruk pemahamannya dan jahil tentang al haq, akhirnya bertindak serampangan dalam manhaj dan pemahamannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan hal ini sebagai berikut:
“Adapun bid’ah yang pertama muncul seperti khawarij, sebetulnya disebabkan karena buruknya pemahaman mereka terhadap Al-Quran.”
Kesimpulan dari pembahasan ini, ialah:
Ahli bid’ah dan orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu tidaklah mengarahkan perhatian dan pendalilan mereka sesuai menurut jalan para imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah para pengikut salaf, baik dalam ilmu maupun istidlal. Akhirnya, jalan yang mereka tempuh justru membingungkan dan menjerumuskan mereka kepada kesesatan dan penyelewengan.
Seperti yang telah diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
“Tatkala mereka semakin jauh dari mutaba’ah salaf maka semakin terkenal mereka dengan kebid’ahan.”
Maka wajib bagi setiap jama’ah yang keliru dalam memahami dakwah yang benar, untuk mempelajari kembali sejarah dakwah generasi pertama dari kalangan sahabat dan tabi’in yang telah dipaparkan oleh Al Quran dan mereka berbicara (berdakwah) dengannya. Juga orang-orang yang menyebarkan islam melalui dakwah mereka. Bahkan wajib atas mereka untuk memahami ajaran agama ini sebagaimana dipahami oleh para pemimpin ummat tersebut. Berjalan sesuai dengan apa yang mereka gariskan dengan memperhatikan pula metode yang sesuai dengan situasi dan kondisi zaman serta manusianya.
Jika mereka tidak mau menempuh jalan ini, tidak mungkin dakwah tersebut akan berhasil dan maju. Karena itu adalah perbuatan yang tidak sempurna bahkan bukan (terhitung) amalan shaleh.
( Dikutip dari buku Manhaj Dakwah Salafiyah, Pustaka Al HAURA)